Kisah tentang hantu yang jatuh cinta dengan manusia

Kisah tentang hantu yang jatuh cinta dengan manusia


Pada suatu waktu, hiduplah seorang pemuda tampan bernama Idris yang memiliki kelebihan istimewa, yakni kemampuan melihat makhluk astral. Dalam kesehariannya, Idris bekerja sebagai penjual keliling. Ia tinggal sendirian di sebuah rumah kecil, sebab sejak masih belia, kedua orang tuanya telah meninggal dunia. 

Kehilangan keluarga sejak usia dini membuat Idris menjadi sosok yang mandiri. Ia berjuang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan berkeliling berjualan menggunakan sepeda yang setia menemani ke mana pun ia pergi.

Meski memiliki kelebihan yang jarang dimiliki orang lain, pesona dan kemampuannya membuat banyak wanita di desanya mengaguminya. Namun, Idris tidak pernah sekalipun tertarik untuk menjalin hubungan atau berpacaran. Baginya, ia masih kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, apalagi jika harus memikirkan kehidupan bersama seorang pasangan. Idris berpendapat bahwa menjalin hubungan pasti berujung pada pernikahan, sesuatu yang saat itu belum menjadi prioritasnya. Ia merasa perlu mencari penghidupan yang lebih stabil sebelum memikirkan hal tersebut.

Di desanya, Idris dikenal dengan julukan "pemuda kasat mata" karena kemampuannya melihat makhluk tak kasat mata. Selain itu, ia sering membantu warga menghadapi gangguan mistis yang terjadi di lingkungan mereka. Hal ini semakin membuatnya dihormati dan menjadi sosok penuh teka-teki di mata orang-orang sekitarnya.

Dia masih muda, tetapi pengalamannya membuat banyak orang dewasa di atas usianya merasa kagum padanya. Warga desa pun tidak pernah merasa risih atau terganggu meskipun Idris berasal dari keluarga yang kurang mampu. Bahkan, banyak yang mencoba menjodohkan anak-anak mereka dengannya. Ada yang sampai menawarkan pernikahan tanpa meminta syarat apa pun jika Idris bersedia menikahi putri mereka.

Mungkin, para warga melihat Idris sebagai sosok pria yang bisa diandalkan untuk menjaga anak-anak mereka. Bukan hanya pekerja keras dan mandiri, ia juga diyakini mampu melindungi keluarganya bahkan dari hal-hal gaib. Namun, Idris selalu menolak dan mengungkapkan bahwa ia belum cukup umur serta tidak siap untuk menikah dengan siapa pun.

Seperti biasanya, di pagi itu, Idris pergi berjualan dengan sepedanya. Namun, entah bagaimana, kali ini ia memiliki keinginan untuk membawa barang dagangannya ke tempat yang lebih jauh dari biasanya, ke sebuah desa di seberang yang dikenal memiliki banyak cerita tentang mahluk halus dan keanehan.

Meski begitu, Idris, yang tidak mudah cemas atau berpikir negatif, tetap melanjutkan perjalanannya dengan semangat untuk menawarkan barang dagangannya. Sesampainya di desa tersebut, dagangannya laris manis. Hingga siang hari, hampir semua baju yang dibawanya terjual habis.

Idris merasa sangat senang dan puas. Dia merasa keputusannya pergi ke desa itu adalah langkah yang tepat. Hanya dalam waktu singkat, sekitar pukul 2 siang, dagangan yang biasa hanya terjual dua atau tiga potong kini sudah hampir ludes. Kebahagiaan jelas terpancar di wajahnya saat melihat hasil jerih payahnya hari itu.

Idris merasa sore itu ia akan cepat pulang untuk memasak makan malam. Ketika jam menunjukkan waktu yang tepat, ia pun memutuskan untuk kembali ke rumah membawa sisa jualannya, tiga setel baju. Dengan semangat, ia mulai mengayuh sepedanya. Namun, tiba-tiba hujan deras mengguyur tanpa aba-aba.

Tidak ingin basah kuyup, Idris segera mencari tempat berteduh. Di perjalanannya, matanya menangkap sebuah rumah tua yang sudah lama tak dihuni. Di depan rumah itu terdapat semacam pendopo kecil dengan bangku kayu. Idris memutuskan untuk berhenti di situ, duduk sejenak sambil menunggu hujan reda.

Tak terasa, 15 menit berlalu. Dari arah yang tidak ia ketahui, seorang wanita muncul, berlari kecil menuju pendopo tersebut. Pakaiannya basah kuyup akibat derasnya hujan. Tanpa ragu, wanita itu mendekati Idris dan berkata santai, "Mas, aku ikut neduh di sini, ya?"

"Oh, iya, Mbak. Silakan saja. Saya juga cuma numpang berteduh kok," jawab Idris dengan ramah.

Setelah sedikit tenang dari udara dingin yang menusuk, wanita itu mulai membuka obrolan. "Masnya jualan, ya? Jualan apa sih kalau boleh tahu?" tanyanya penuh rasa ingin tahu, ekspresinya tampak manja.

"Eh, anu... saya jualan baju, Mbak," jawab Idris sambil menggigil kedinginan. "Kebetulan nih, masih ada tiga setel baju yang sizenya mungkin pas buat Mbaknya."

Wanita itu tiba-tiba tampak antusias. "Oh gitu ya? Kalau begitu saya borong saja semuanya. Boleh enggak?"

Mendengar itu, wajah Idris langsung sumringah. Rasa dinginnya seakan menguap digantikan kebahagiaan. "Wah, serius Mbak? Boleh banget! Saya senang sekali kalau dagangan saya diborong," ucap Idris semangat. "Tapi dicoba dulu deh, takutnya enggak cocok buat Mbaknya."

Namun wanita itu tampak yakin. "Enggak perlu dicoba, Mas. Saya beli semuanya," ujarnya sambil menyerahkan uang.

Idris menerima uang tersebut dengan hati berbunga-bunga. Setelah memberikan uang kembalian kepada wanita itu, ia hanya bisa tersenyum lega. Dagangan laku terjual dan hujan mulai mereda—sore itu benar-benar berubah menjadi berkah tak terduga bagi Idris.

Namun, pada saat itu, wanita tersebut berlari berpamitan untuk pergi, sambil mengatakan bahwa uang yang ia berikan hanya untuk Idris. Tak lama kemudian hujan pun berhenti. Idris merasa hari itu adalah hari keberuntungannya—segala dagangan habis terjual, bahkan ia diberi uang lebih. Sesampainya di rumah, Idris segera memasak makan malam, dan semua urusan pun selesai.

Setelah makan, ia tiba-tiba terus memikirkan wanita tersebut. Entah kenapa, bagi Idris, wanita itu adalah sosok yang begitu baik dan manis, berbeda dengan perempuan yang pernah ia temui sebelumnya. Hingga tanpa sadar, ia senyum-senyum sendiri, seperti seorang pria yang baru saja menemukan seseorang yang sangat ia kagumi.

Keesokan harinya, karena masih terbayang-bayang oleh sosok wanita itu, Idris memutuskan untuk kembali berjualan ke tempat yang sama dengan harapan bisa bertemu dengannya lagi. Namun, semangatnya hari itu bukan hanya untuk menjajakan dagangan, melainkan lebih kepada keinginannya bertemu dengan wanita tersebut.

Begitu sampai di tempat itu menggunakan sepeda tuanya, Idris belum melihat keberadaan wanita yang ada di pikirannya sejak kemarin. Semakin lama ia menunggu, rasa lemas mulai muncul karena ia menyadari kemungkinan bahwa wanita tersebut bukan orang asli desa itu; mungkin saja ia pendatang yang kebetulan berteduh saat hujan kemarin. Akhirnya, Idris memutuskan untuk pulang dengan rasa kecewa.

Ketika dalam perjalanan pulang sambil mendorong sepedanya, tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak dari arah sebuah rumah besar yang tampak kosong dan tak berpenghuni. Idris refleks menoleh ke arah suara tersebut dan menghentikan langkahnya. Betapa terkejutnya ia saat melihat sosok wanita yang selama ini ada di pikirannya sedang berdiri di sana. Perasaan malu sekaligus salah tingkah langsung menyelimuti Idris, tak mampu berkata apa-apa di hadapan wanita tersebut.

Seorang wanita mendekati Idris saat sedang berjualan dan menyapa dengan ramah. Ia bahkan melirik barang dagangan Idris yang sedang terpajang. Meski merasa heran dan agak ganjil melihat seorang wanita cantik tinggal di lingkungan kumuh yang tampak terbengkalai, Idris tidak terlalu memikirkannya karena hatinya sudah terpesona oleh pesona wanita tersebut.

Keesokan harinya, wanita itu kembali datang dan memborong lebih banyak barang dagangan Idris, bahkan lebih banyak dibandingkan hari sebelumnya. Hal itu membuat Idris sangat senang dan dipenuhi kebahagiaan. Dalam kesempatan itu, wanita tersebut mulai berkenalan dengannya.

"Oh iya Mas, kalau boleh tahu, nama Mas siapa? Biar saya ingat kalau Mas lewat lagi berjualan," kata wanita tersebut sambil mengulurkan tangan.

"Eh, iya Mbak... Saya Idris. Kalau Mbak sendiri namanya siapa?" jawab Idris dengan senyuman gembira.

"Saya Santi. Saya baru saja pindah ke sini, Mas Idris. Salam kenal ya," ujar Santi sambil memberikan senyum manisnya.

Sejak perkenalan itu, keduanya semakin akrab. Idris pun sering mampir ke rumah Santi hanya untuk sekadar minum kopi buatan Santi. Hari demi hari, ia mulai lebih sering mendatangi rumah tersebut daripada fokus berjualan. Lama-kelamaan, hubungan mereka semakin dekat hingga akhirnya mereka menjalin sebuah hubungan spesial. Untuk pertama kalinya, Idris merasakan kebahagiaan memiliki seseorang yang ia sukai.

Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Meski jarang berjualan, pakaian dagangannya selalu habis dan menghasilkan uang setiap harinya. Hal ini membuat Idris bingung tetapi ia memilih untuk tidak terlalu memikirkannya karena hatinya sedang berbunga-bunga.

Suatu hari, dengan sepeda di tangannya, Idris berniat mengunjungi Santi seperti biasa. Namun, ia terkejut saat sampai di rumah tersebut dan mendapati bahwa tempat itu kosong tanpa penghuni. Dalam kebingungannya, seorang tukang kebun menghampirinya dan bertanya alasan ia datang ke rumah itu sambil terlihat seperti mencari seseorang.

Pada suatu pagi yang cerah, Idris tampak sibuk menelusuri jalan kecil yang jarang dilalui orang. Suasana sunyi menggantung di sekitar kawasan tersebut, hingga suara seorang tukang kebun tiba-tiba memecah keheningan. Dengan sedikit raut kebingungan, pria itu bertanya kepada Idris, "Mau ke mana, Mas? Kok jualan di sini? Di sini nggak ada jalan, loh, Mas."

Idris tampak bingung dan buru-buru menjawab, "Oh, maaf, Pak. Saya bukan berjualan. Sebenarnya saya sedang mencari Santi. Rumahnya katanya ada di sekitar sini. Dia baru pindah dari kota belum lama tinggal di sini." Nada suara Idris terdengar penuh harap, tetapi kekhawatiran mulai tersirat dari ekspresinya.

Mendengar nama itu, tukang kebun mengernyitkan dahi dan menjawab dengan nada heran. "Santi? Hmm, Santi yang mana, Mas? Rumah ini sudah lama kosong. Pemilik rumah pindah ke kota beberapa waktu lalu. Kabarnya mereka meninggalkan rumah ini karena dulu, sekitar 20 tahun lalu, anaknya meninggal dalam kecelakaan. Sejak saat itu, tidak ada siapa pun yang tinggal di sini." Raut wajah sang tukang kebun memancarkan kebingungan sekaligus keanehan terhadap keberadaan Idris.

Pernyataan itu membuat Idris gegar. Apakah mungkin dia salah tempat? Namun hatinya berkata lain. Semestinya Santi ada di sini—tempat inilah yang disebutkan dalam percakapan mereka sebelumnya. Tapi semakin dia berpikir, perasaannya justru diterpa kejanggalan yang sulit dimengerti. Idris mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak biasa. Siapa sebenarnya Santi? Tanpa ada tanda sedikit pun, ia teringat cerita aneh yang pernah ia dengar tentang rumah ini.

Apa yang membuat keadaan semakin menyeramkan adalah kenyataan bahwa Santi ternyata bukan manusia. Santi adalah arwah wanita yang meninggal beberapa tahun lalu di tempat tersebut. Idris merasa hatinya remuk, tak menyangka bahwa selama ini dia menjalin hubungan dengan sosok yang berbeda dunia. Rasa sakit hati dan ketidakpercayaan merayapi pikirannya, tetapi di sisi lain dia tak pernah bisa menghapus pesona Santi dan kenyamanan yang ia rasakan bersama gadis itu.

Ketika akhirnya memutuskan pulang dengan hati berat, Idris kembali menghadapi momen yang membuat dadanya sesak. Dari kejauhan, ia melihat sosok Santi berdiri membisu di depan rumah itu. Gadis itu melambai padanya, sebuah senyum terbit di wajahnya—senyum yang dulu selalu membuat Idris merasa bahagia.

Dalam perjalanan pulang, Idris mencoba keras untuk melupakan semua tentang Santi—meski itu tidak mudah. Gadis itu adalah cinta pertamanya yang membuatnya benar-benar merasa utuh sebagai manusia. Tetapi kenyataannya terlalu pahit untuk diterima, dan kini dia harus berjuang untuk melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang wanita misterius yang telah mencuri hatinya.
Load comments