Kisah Padepokan Jawa
CerpenAda kisah tentang seorang putri kerajaan yang diusir oleh orang tuanya. Ia dikenal sebagai sosok cantik dan ramah, selalu rendah hati meski berasal dari kerajaan terkenal di tempatnya.
Berbeda dengan adik-adiknya, mereka justru menunjukkan sifat arogan dan menuntut penghormatan dari warga. Sikap sombong ini membuat mereka dibandingkan dengan sang kakak, yang jauh lebih disukai karena kepribadiannya.
Kerajaan tersebut dipimpin Raja Fadrikha dan Ratu Ayunda, pasangan yang mendambakan anak laki-laki untuk melanjutkan takhta. Meski lama menanti, mereka tak pernah dikaruniai anak laki-laki.
Dari ketiga anaknya, yang semuanya adalah perempuan, Raja Fardikha pernah merasa kecewa pada istrinya karena belum juga dikaruniai seorang anak laki-laki. Karena itu, Raja Fardikha meminta izin kepada istrinya untuk menikahi wanita lain demi mendapatkan anak laki-laki. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh istrinya, Ayunda, yang bersikeras dan berjanji bahwa jika ia hamil lagi, anak keempat mereka pasti akan laki-laki.
Meskipun begitu, Raja Fardikha tetap merasa ragu pada janji istrinya. Ia meminta kepastian darinya bahwa anak berikutnya benar-benar akan berjenis kelamin laki-laki. Istrinya lalu berucap bahwa jika anak keempat mereka ternyata masih perempuan, ia akan merelakan suaminya menikahi wanita lain. Mendengar janji tersebut, Raja Fardikha memutuskan mengikuti perkataan istrinya.
Tanpa disadari oleh keduanya, putri pertama mereka, Dewi Sri, mendengar percakapan tersebut. Perkataan sang ayah membuat Dewi Sri terkejut sekaligus sedih. Ia merasa hancur mengetahui ayahnya ingin mencari wanita lain hanya karena menginginkan anak laki-laki.
Perasaan itu terus membekas di hati Dewi Sri, hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya langsung pada ibunya. Dewi Sri mendekati ibunya dengan rasa penasaran bercampur kesedihan. Ia mempertanyakan mengapa ayahnya sangat terobsesi memiliki anak laki-laki sampai rela menyakiti hati ibunya dengan keinginan untuk menduakan pernikahan mereka.
Biyung, bolehkah aku bertanya sesuatu? tanya Dewi dengan suara lembut sembari duduk di belakang ibunya.
Ada apa, Dewi? Tumben kamu masuk ke kamar Biung, jawab ibunya dengan nada penasaran.
Dewi, sebagai anak sulung, merasa cemas dan gelisah oleh apa yang ia lihat dan dengar tentang orang tuanya belakangan ini. Akhirnya, ia memberanikan diri untuk berbicara dengan ibunya demi menghapus keraguan dan rasa was-was yang menghantui.
Maaf, Biung, jika Dewi lancang... Kemarin tanpa sengaja aku melihat Biung dan Ayahanda bertengkar... Namun, ada sesuatu yang Ayahanda katakan yang membuatku susah tidur, jadi aku nekat bertanya ini pada Biung, ucapnya dengan suara gemetar.
Ayunda, sang ibu, terkejut mengetahui anaknya menyadari adanya perselisihan dengan sang suami. Kebingungan melingkupinya—jujur terhadap anak sulungnya bisa membuat Dewi kehilangan rasa hormat terhadap ayahnya, namun berbohong pun berisiko mengecewakan anaknya.
Itu hanya salah paham saja, nak, ujar Ayunda dengan raut wajah yang berusaha menutupi kebohongannya.
Jangan bohong, Biung. Aku mendengar semuanya dengan jelas. Benarkah Ayahanda meminta anak laki-laki dan istri baru? tanya Dewi dengan penuh keseriusan.
Terdesak oleh desakan Dewi yang terus menerus meminta kejujuran, Ayunda akhirnya memberanikan diri untuk menjelaskan alasan di balik keinginan suaminya kala itu.
Pada akhirnya, singkat cerita, Dewi Sri—anak perempuan pertama—menyadari bahwa ayahnya memerlukan sosok pewaris takhta kerajaan. Kesadaran itu membuatnya semakin gigih dan bertekad untuk berubah. Ia berupaya menjadi seorang putri yang kuat, tangguh, dan memiliki keberanian seperti seorang prajurit. Dalam pikirannya, seorang pewaris takhta tak selalu harus laki-laki. Wanita pun mampu meneruskan titah kerajaan jika memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuannya.
Dewi Sri juga tidak ingin melihat ibunya terluka atau ayahnya menikah lagi demi mendapatkan keturunan laki-laki. Dengan penuh keberanian, ia memutuskan untuk menjadi seorang putri kerajaan yang tegas dan pantang menyerah dalam menghadapi segala tantangan. Ia selalu hadir di tengah berbagai persoalan, bahkan kericuhan, meskipun tindakannya tersebut akhirnya diketahui oleh ayahnya. Sang raja, yang merasa tidak nyaman melihat putrinya bertindak seperti pemimpin, marah besar. Baginya, wanita hanya pantas menjadi permaisuri dan tinggal di istana, bukan melibatkan diri dalam bahaya atau urusan seperti seorang raja.
Ayahnya bersikeras bahwa hanya anak laki-laki yang layak mewarisi takhta dan melanjutkan kepemimpinan. Rasa kecewa pun menyelimuti Dewi Sri. Ia tenggelam dalam kebingungan, memikirkan cara untuk meyakinkan ayahnya agar berhenti mencari seorang pewaris laki-laki. Dalam usahanya itu, ia harus melihat kenyataan bahwa kedua adiknya justru berbeda jauh darinya. Kedua adik perempuannya hanya sibuk mempercantik diri dan menghabiskan harta orang tua tanpa peduli dengan keadaan kerajaan.
Tidak hanya hidup bermewah-mewahan dan manja, mereka juga dikenal sombong dan sama sekali tidak menghargai orang lain. Sikap ini membuat banyak orang di kerajaan tidak menyukai mereka. Bahkan, tingkah laku mereka sering kali menimbulkan masalah dan memicu keributan di sekitarnya. Dewi Sri pun semakin merasa tanggung jawab besar berada di pundaknya.