Ku Kira manusia
CerpenKehadiranmu membawa senyum, keramahan, dan perhatian, membuat semua terharu meski tak pernah diundang. Kau terlihat peduli, menggali kesulitan mereka, memenuhi kebutuhan, hingga dianggap seperti malaikat penolong.
Setiap kali dibutuhkan, kau hadir, bahkan mengutus teman-temanmu untuk membantu. Segala kekurangan, masalah, hingga kesulitan mereka kau atasi tanpa ragu. Tak heran banyak yang menyukai dan menyayangimu karena kebaikan itu.
Namun waktu berlalu, aroma penghianatan mulai tercium. Ternyata kepedulianmu tak tulus, bukan dari hati, melainkan demi mencari dukungan untuk jabatanmu. Semua yang dulu bangga dan mencintaimu kini merasa dikhianati.
Kau memikat hati mereka dengan kepedulian palsu, sedikit demi sedikit membujuk mereka mengikuti alurmu. Awalnya mereka bersorak, merasa akhirnya ada yang memahami kesulitan dan mendengar keluhan mereka.
Tetapi semua itu hanya kepura-puraan. Setelah berhasil meraih hati banyak orang, kau menunjukkan wajah aslimu, memainkan strategi bermuka dua dan memenangkan permainan ini di awal.
Setelah semua yang kau peroleh, kau hanya memberikan janji-janji kosong dan harapan palsu yang tak pernah kau tepati. Waktu demi waktu mereka menanti janjimu, juga ucapanmu yang sebelumnya mengklaim akan mengikuti kehendak rakyat dan membawa kemajuan bagi mereka, terutama setelah kau meraih apa yang kau inginkan.
Namun, pada akhirnya rakyat mulai menyadari bahwa kedatanganmu bukan sekadar untuk meminta dukungan, melainkan mencari pujian atas apa yang kau lakukan ketika hadir tanpa diperintah ataupun diberi imbalan.
Rasa peduli tulus yang dahulu diberikan kepadamu perlahan sirna. Mereka menyadari bahwa semua yang kau ucapkan sejak saat kemenanganmu hanyalah dusta, hanya janji-janji palsu yang mengecewakan dan membuat mereka merasa tertipu.
Awalnya, rakyat mengira kau adalah sosok yang baik, seseorang yang tulus dan peduli kepada sesama. Mereka percaya bahwa kehadiranmu bukan semata karena jabatan atau kekuasaan, melainkan untuk membantu dengan hati terbuka.
Namun, semua itu terpatahkan. Kau bukanlah manusia utusan yang membawa kebaikan, melainkan manusia berwajah iblis yang seolah-olah diutus oleh penjaga neraka untuk memperdaya rakyat biasa demi memuaskan nafsumu sendiri, hanya untuk kesenangan pribadimu.
Hari demi hari, kekayaanmu bertambah. Namun, rakyat yang telah memilihmu semakin terpuruk, semakin tercekik oleh kesulitan. Engkau bersorak dalam kegembiraan dengan gajimu yang bernilai ratusan juta per bulan, sedangkan rakyatmu hanya menerima gaji kecil yang bahkan belum dipotong dengan pajak-pajak yang kau tetapkan berdasarkan janji manismu dulu.
Dengan gaji sebesar itu, kau masih merasa kurang. Kau terus meminta tambahan anggaran maupun jatah hak-hak lainnya. Tetapi sedikit pun kau tidak melihat realitas: apa yang sebenarnya didapatkan rakyat dari kebijakan anggaranmu? Pernahkah kau memberi mereka hak-hak yang semestinya? Pernahkah kau memahami kesulitan mereka menghadapi anggaran dan keputusan-keputusan yang tidak masuk akal?
Kau hanyalah pejabat rakus; bagai tikus berdasi yang bermodal jas rapi, duduk nyaman di kursi mewah sambil dengan mudah menikmati gaji besar. Bahkan bonus-bonusmu dengan cepat disetujui meski pekerjaan yang kau lakukan sama sekali tidak sepadan.
Ada pula di antara kalian yang menerima gaji tanpa pernah bekerja, tanpa tahu apa tanggung jawabnya. Sementara itu, rakyat miskin yang memilihmu semakin terlilit kesulitan dan mencapai kemiskinan terparah. Hidup dalam penderitaan, dilanda bencana, dihadapkan pada masalah-masalah—namun tak satu pun dari kalian peduli.
Gerakan peduli baru muncul ketika semua penderitaan terekspos oleh media. Atasan dan pejabat lainnya seakan berlomba mencari perhatian, ingin kembali dipandang baik dan peduli kepada rakyat. Mereka mulai turun ke tempat-tempat kumuh hanya untuk pencitraan dan validasi, demi mendapat pujian dari banyak orang.
Sayangnya, tindakan itu tidak tulus. Semua hanyalah sandiwara untuk menciptakan kesan peduli. Mereka tidak benar-benar berkeinginan mengubah nasib rakyat kecil menjadi lebih baik.
Karena pada kenyataannya, setelah mereka meraih jumlah kekayaan besar tanpa perlu banyak usaha, mereka malah menjadi malas. Janji-janji yang dahulu diucapkan saat masa pemilihan pun terlupakan. Tidak ada lagi perhatian atau tanggung jawab terhadap rakyat yang sebelumnya percaya dan menaruh harapan besar pada mereka. Rakyat yang dulu setia menunggu perubahan kini hanya mendapatkan kekecewaan mendalam.
