Nyi Ronggeng Penari Gentayangan

Nyi Ronggeng Penari Gentayangan


Ada sebuah cerita tentang seorang penari ronggeng yang sangat cantik. Ia merupakan sosok wanita yang mencintai kesenian dan menjalani hidupnya dengan penuh dedikasi terhadap seni tari. Dalam kesehariannya, waktunya dihabiskan untuk menarikan tubuh lentur dan anggunnya.

Keelokannya dalam menari membuat banyak orang terpikat setiap kali ia terlihat menari di rumahnya. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang yang tertarik menyaksikan gerakan tariannya yang memukau.

Hingga suatu hari, ia terinspirasi untuk mendirikan sebuah sanggar tari di desanya. Para warga pun mendorongnya untuk mengajarkan keahliannya kepada anak-anak muda, bahkan kepada anak-anak kecil di kampung tersebut. 

Tanpa ragu, ia menyetujui permintaan mereka. Dengan penuh semangat, ia mulai mengajarkan seni tari kepada warga di desanya dan mengelola sanggarnya sendiri. Setelah pembangunan sanggar selesai, tempat itu pun mulai ramai dikunjungi oleh anak-anak kecil hingga orang dewasa yang ingin belajar menari.

Karena kecantikan dan keanggunannya saat mengajar, ia akhirnya mendapat julukan istimewa dari para penari lain dan masyarakat setempat. Mereka memanggilnya dengan sebutan Nyai Ronggeng, sebuah nama yang melekat erat dengan dirinya berkat pesonanya dalam seni tari.

Sejak saat itu, murid-muridnya semakin terampil menari dan sanggarnya pun dipenuhi anak-anak perempuan dari berbagai kalangan. Mereka sangat menikmati proses belajar karena cara mengajarnya yang selalu lembut, sabar, dan penuh perhatian. Sanggar tari itu pun menjadi tempat yang penuh kehangatan dan keceriaan, dihiasi oleh semangat Nyai Ronggeng dalam melestarikan seni tari di desanya.

Mengelola sebuah sanggar tari adalah tantangan tersendiri, apalagi jika dihadapkan dengan konflik yang melibatkan pihak lain. Inilah yang dialami oleh Nyai, seorang pengajar tari yang dengan tulus mengabdikan dirinya untuk mengembangkan bakat anak-anak di desa. Namun, masalah tak terduga mulai muncul ketika sebuah sanggar lain di desa yang sama merasa tidak senang dengan keberadaan sanggar milik Nyai.

Masalah bermula ketika sanggar lain tersebut menuduh Nyai merebut anak-anak didiknya. Mereka bahkan datang mendatangi Nyai dengan amarah, menuntut agar sanggarnya ditutup. Meski tuduhan itu tidak benar—Nyai tidak pernah memaksa atau mengajak siswa pindah—situasi tetap menjadi tegang. Nyai dengan sopan berusaha menjelaskan bahwa kehadiran anak-anak di sanggarnya terjadi atas keinginan mereka sendiri. Namun, penjelasannya tidak mampu meredakan amarah pihak tersebut.

Merasa terpojok, Nyai akhirnya memutuskan untuk meminta perlindungan kepada kepala dusun. Sang kepala dusun, yang juga merupakan orang yang mendukung berdirinya sanggar Nyai sejak awal, memberikan dukungannya sepenuhnya. Ia percaya bahwa tuduhan perebutan murid hanya lahir dari rasa iri dan ketidakmampuan sanggar lain untuk menciptakan lingkungan belajar yang nyaman bagi murid-murid mereka.

Dengan dukungan kepala dusun, Nyai sempat merasa kuat untuk melanjutkan kegiatan mengajarnya. Namun, masalah belum selesai. Pihak yang merasa tersaingi mulai melakukan teror-teror yang mengganggu ketenangan Nyai dan membuatnya dilanda rasa takut. Hari-harinya mulai dihiasi oleh hal-hal menyeramkan seperti tanah kuburan yang disebar di sekitar sanggar, bangkai ayam, hingga belatung yang bertebaran di tempat latihan. Kejadian-kejadian ini sangat mengusik jiwa dan emosi Nyai hingga akhirnya ia merasa tidak sanggup lagi melanjutkan perjuangannya.

Keputusan Nyai untuk menutup sanggar membuat kepala dusun terkejut dan marah besar. Menyadari ketidakadilan yang dialami Nyai, kepala dusun dengan sigap bertindak. Ia mendatangi pihak sanggar lain tersebut dan menegaskan bahwa tindakan teror seperti itu tidak bisa diterima. Kepala dusun pun memberikan peringatan keras, bahwa jika teror kembali terjadi, ia tidak akan ragu untuk mengambil langkah serius, termasuk menutup sanggar yang terbukti melanggar norma dan aturan desa.

Pada akhirnya, konflik ini mengajarkan betapa pentingnya sikap tegas dalam menghadapi ketidakadilan. Meski tantangan terus berdatangan, dukungan dari pemimpin lokal seperti kepala dusun mampu memberikan harapan untuk keadilan dan kebaikan bagi komunitas. Kisah ini menjadi pelajaran bahwa dalam setiap perjuangan, akan selalu ada rintangan, namun keberanian dan kebenaranlah yang pada akhirnya mampu mengalahkan segala bentuk ketakutan.

Orang yang sebelumnya melabrak Nyai akhirnya merasa kesal dan takut setelah mendapat peringatan dari kepala dusun. Ia berjanji kepada kepala dusun untuk tidak lagi mengganggu atau meneror Nyai. Namun, kejujuran dari ucapannya masih diragukan, meski ia sempat menyanggupi bahwa bila melanggar, ia bersedia menerima hukuman dari kepala dusun.

Kepala dusun yang percaya pada janjinya kemudian meninggalkan orang tersebut dan memberi tahu Nyai agar tidak perlu takut lagi. Kepala dusun meyakinkan Nyai bahwa masalah itu telah ditangani. Dengan perasaan tenang, Nyai kembali mengajar anak-anak di sanggarnya.

Selama sebulan, suasana di sanggar berjalan damai dan aman. Bukan hanya murid tarinya semakin banyak, tetapi Nyai juga berhasil mengharumkan nama desanya melalui berbagai prestasi. Anak-anak yang dilatihnya mengikuti banyak perlombaan tari dan meraih banyak penghargaan.

Namun, sebuah peristiwa mengejutkan kembali terjadi. Suatu hari, ketika Nyai pulang dari sanggar setelah mengajar, seseorang tiba-tiba menabraknya hingga ia terluka parah dan pingsan. Warga bersama kepala dusun segera memberikan pertolongan kepada Nyai. Setelah diselidiki, terungkap bahwa pelaku yang menabraknya adalah anak buah dari sanggar desa lain yang sebelumnya pernah melabraknya.

Nyai merasa bingung sekaligus heran. Ia tidak mengerti apa salahnya hingga orang-orang itu terus menerornya sampai sejauh ini, bahkan mencederainya. Ia mencoba mencari jawaban atas kebencian tanpa alasan tersebut, meskipun ia yakin tidak pernah melakukan kesalahan atau mengusik kehidupan mereka.

Berpikir bahwa konfrontasi langsung mungkin membawa kejelasan, Nyai memutuskan untuk menemui mereka dan mencari tahu alasan di balik teror ini. Ia berharap jalur damai bisa menjadi penyelesaian persoalan tersebut.

Keesokan harinya, Nyai berangkat menuju sanggar desa tersebut dengan berjalan kaki. Namun, di tengah perjalanan, seseorang tiba-tiba mendorongnya hingga terjatuh ke jurang. Pelaku melarikan diri tanpa rasa tanggung jawab, seolah-olah kejadian itu telah direncanakan secara sengaja.

Tiga hari berlalu tanpa kabar dari Nyai. Kepala dusun yang khawatir mulai mencari Nyai karena ia tak kunjung hadir di sanggar untuk mengajar. Anak-anak yang biasa menunggu pelajaran dari Nyai pun merasa sedih. Karena tidak mendapati kejelasan, kepala dusun akhirnya memutuskan untuk mendatangi rumah Nyai demi mencari tahu penyebab ketidakhadirannya selama beberapa hari terakhir.

Namun, ketika rumahnya diperiksa, tampak kosong tanpa ada seorang pun di dalamnya. Kebetulan, tetangga mengatakan bahwa Nyai sudah tidak terlihat selama tiga hari sejak ia pergi ke sanggar pada pagi harinya. Kepala dusun, yang merasa ada sesuatu yang janggal setelah mendengar cerita dari para tetangga, akhirnya memerintahkan warga untuk mencari keberadaan Nyai saat itu juga.

Warga pun segera dikerahkan atas perintah kepala dusun untuk mencari Nyai. Kekhawatiran muncul karena Nyai sebelumnya mendapat banyak teror dan menghadapi berbagai masalah. Hingga siang hari, datang kabar dari desa lain bahwa ditemukan sesosok mayat perempuan di dasar jurang dalam keadaan sudah hancur. Salah seorang warga mengenali sosok tersebut sebagai Nyai, penari sanggar dari desa sebelah.

Kepala dusun dan warga yang mendengar kabar itu terkejut luar biasa. Semua merasa aneh, karena tidak mungkin Nyai sengaja menjatuhkan diri ke jurang yang letaknya sangat jauh dan sulit dijangkau. Kecurigaan kepala dusun semakin besar bahwa kematian Nyai bukanlah sebuah kecelakaan, melainkan ada pihak yang dengan sengaja mencelakainya.

Akhirnya, jenazah Nyai dibawa pulang, dibersihkan, lalu dimakamkan. Namun, sampai saat itu, pelaku di balik kematian Nyai belum diketahui. Anak-anak tari asuhan Nyai merasakan duka yang mendalam atas kehilangan gurunya, seorang pengajar berbakat penuh dengan ketulusan.

Kesedihan berubah menjadi rasa tidak terima jika benar Nyai meninggal karena dibunuh. Seminggu setelah kematiannya, muncul kabar mengejutkan bahwa arwah Nyai sering menampakkan diri kepada orang-orang, terutama kepada mereka yang dicurigai telah menyakitinya. Bahkan, ada salah satu pelaku yang dikabarkan meninggal mendadak setelah merasa dihantui oleh sosok tersebut.

Nyai diduga gentayangan karena tidak terima dirinya diperlakukan dengan kejam tanpa pernah berbuat salah kepada siapa pun. Arwahnya dipercaya menetap di sanggar tari tempat ia mengabdikan diri selama hidup. Pada malam-malam tertentu, warga sering mendengar suara langkah tarian hingga alunan gamelan dari sanggar tersebut.

Kepercayaan terhadap adanya sosok Nyai gentayangan semakin meluas di desa itu. Akibatnya, semua orang takut dan memilih mengosongkan sanggar tari. Sanggar itu pun sengaja dibiarkan tidak terpakai, seolah menjadi tempat abadi bagi Nyai menari dalam keabadiannya. Sejak saat itu, Nyai dikenal dengan julukan "Nyai Ronggeng Gentayangan."
Load comments