Misteriusnya Rahasia Adikku

Misteriusnya Rahasia Adikku


Sudah sebulan sejak adikku meninggal karena sakit. Hingga hari ini, suasana rumah masih dipenuhi rasa duka dan kesedihan yang mendalam. Tidak ada satu pun anggota keluarga yang mampu melupakan sosoknya. Dia dikenal sebagai anak yang baik, pendiam, dan tak pernah merepotkan keluarga. Adikku memiliki kepribadian yang tertutup, jarang mengutarakan masalah atau perasaan yang tengah dia hadapi.

Namun, sejak ia mulai sakit, tidak ada satu pun dari kami yang tahu apa yang sebenarnya dia alami. Rasanya ada sesuatu yang ia sembunyikan mengenai penyakitnya, hingga akhirnya membuat kami harus merelakannya untuk pergi selama-lamanya. Hal ini memunculkan banyak pertanyaan dalam keluarga tentang penyakitnya—apa penyebabnya dan bagaimana bisa kondisinya menjadi begitu buruk hingga dokter menyebutnya sebagai penyakit mematikan.

Kehilangan adik laki-laki ini membuat keluarga terus bertanya-tanya. Kami semua terkejut, karena selama hidupnya, adikku tidak pernah sekali pun mengeluh sakit, apalagi menunjukkan tanda-tanda memiliki masalah besar. Kejadiannya terasa begitu mendadak. Ketika akhirnya diketahui bahwa penyakit itu telah lama bersarang di tubuhnya tanpa kami sadari, kami semua, termasuk aku sebagai kakaknya, merasa sangat terpukul. Siapa sangka ia memikul beban sebesar itu sendirian?

Sampai pada akhirnya, ketika tubuh dan hatinya tidak lagi mampu menahan rasa sakit itu, ia menyerah dalam kepasrahannya. Kepergiannya meninggalkan banyak kebingungan: apa yang sebenarnya ia alami? Seolah adikku membawa rahasia yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun selama hidupnya.

Sudah sebulan berlalu sejak kepergiannya, namun tidak ada seorang pun dari kami yang sanggup memasuki kamarnya. Kamar itu seolah menyimpan begitu banyak kenangan yang membuat kami kembali teringat padanya. Akhirnya, aku memberanikan diri meminta izin kepada ayah dan ibu untuk membersihkan kamar almarhum adikku. Dengan hati-hati, aku berniat membereskan barang-barang miliknya sambil berusaha menerima kenyataan yang masih begitu sulit untuk diterima.

Pada akhirnya, kakak yang pada saat itu diperbolehkan masuk ke kamar adiknya langsung mulai merapikan barang-barang yang masih banyak terpajang di kamar tersebut. Ia merasa sedih saat melihat foto-foto adik laki-lakinya yang masih tergantung di dinding, tidak percaya adiknya harus pergi begitu cepat, meninggalkan dunia ini. Meskipun mereka tidak pernah terlalu dekat, ia tetap sangat menyayangi adiknya, ungkapnya dalam hati.

Setelah selesai merapikan foto-foto milik almarhum adiknya, ia membuka laci lemari dan menemukan sesuatu yang membuatnya terkejut: barang-barang yang biasanya dimiliki oleh perempuan, seperti softlens, lipstik, maskara, bedak, dan perlengkapan makeup lainnya. Semua itu ditemukan di kamar adiknya, membuatnya merasa bingung dan bertanya-tanya tentang alasan keberadaan barang-barang tersebut.

Awalnya, ia berpikir bahwa mungkin adiknya menggunakan barang-barang tersebut untuk dirinya sendiri dalam kesehariannya. Namun kemudian muncul dugaan lain bahwa mungkin semua itu sebenarnya milik pacar adiknya, yang keberadaannya dulu tidak pernah diketahui oleh dirinya.

Kakaknya mencoba mengesampingkan pikiran negatif itu dan kembali melanjutkan tugasnya merapikan barang-barang almarhum. Ia pun mulai memilah pakaian-pakaian milik adiknya yang masih layak pakai untuk didonasikan kepada orang yang membutuhkan. Namun, saat mencari di dalam lemari, ia kembali dibuat terkejut oleh penemuan pakaian perempuan dalam jumlah banyak. Bukan sekadar pakaian biasa, beberapa di antaranya memiliki model yang cukup terbuka, hal yang semakin membuat kakaknya merasa curiga sekaligus heran dengan kehidupan adiknya yang ternyata penuh rahasia.

Rasa penasaran memaksanya mencari lebih dalam. Ketika membuka bagian lain dari lemari, ia menemukan obat-obatan tertentu yang disembunyikan di bawah tumpukan baju. Penemuan ini semakin menguatkan kecurigaan bahwa ada sesuatu yang selama ini disembunyikan oleh adiknya semasa hidupnya. Kakaknya benar-benar terkejut dan tidak habis pikir.

Puncaknya adalah ketika sebuah foto jatuh dari salah satu sudut lemari. Foto tersebut menunjukkan adik laki-lakinya sedang berdandan seperti perempuan, berpose mesra bersama seorang laki-laki. Penemuan ini menghancurkan perasaan kakaknya. Ia merasa kecewa sekaligus hancur mengetahui apa yang telah dilakukan oleh adiknya selama hidupnya. Lebih menyakitkan lagi, semua rahasia ini baru terbongkar setelah adiknya sudah tiada, membuat ia merasa tidak bisa menyelamatkan adiknya dari jalan kehidupannya yang selama ini ia anggap salah.

Dalam keadaan emosional dan menangis tak kuasa menahan beban, kakaknya keluar dari kamar adiknya untuk menemui kedua orang tua mereka. Dengan suara gemetar ia memanggil ibunya.

"Ibu... Ibu..." panggilnya dengan air mata bercucuran.

Ibunya segera datang mendekat dan dengan nada tenang bertanya, "Ada apa, Riska? Kenapa kamu menangis?"

"Ibu... aku menemukan sesuatu di kamar adik. Aku nggak percaya kalau adik meninggal karena dia menjalani kehidupan yang salah," kata Riska dengan suara bergetar, penuh perasaan.

Namun, reaksi sang ibu ternyata berbeda dari yang dibayangkan. Ia tampak biasa saja, bahkan cenderung tenang tanpa menunjukkan rasa duka mendalam atas kepergian anaknya. Sikap tegar sang ibu seolah menunjukkan bahwa ia sudah tahu semua rahasia yang disembunyikan oleh anaknya selama hidupnya. Sang ibu tampaknya menyimpan sesuatu yang tidak pernah ia ceritakan kepada siapapun, bahkan pada keluarganya sendiri.

Ketika anak perempuan itu menceritakan temuannya kepada sang ibu, ia merasa tak mendapatkan tanggapan yang diharapkan. Ibunya terlihat seperti tidak peduli, bahkan seolah tidak mendengar apa yang dikatakan. Temuannya tentang kondisi adiknya yang tampak mengkhawatirkan di kamar membuat emosinya memuncak. Ia pun meluapkan kemarahan dengan nada bicara yang lebih tegas, mencoba untuk mendapatkan perhatian penuh dari ibunya.

"Ibu, kenapa ibu seolah-olah santai saja dengan apa yang aku temukan di kamar adik? Apa ibu sudah tahu masalah ini dari dulu, makanya ibu kelihatan biasa saja?" Suaranya bergetar, dan air mata jatuh membasahi wajahnya. "Tolong ceritakan, Bu, tolong!" pinta anak itu dengan penuh emosi dan harap.

Namun, sang ibu hanya menunduk dalam diam, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Keheningan itu semakin membuat suasana terasa berat. Anak perempuannya yang mulai kehilangan kendali terus memaksa agar ibunya berbicara. Setelah desakan yang terus-menerus, akhirnya sang ibu mendesah panjang dan memberanikan diri untuk mengungkapkan semuanya—rahasia yang selama ini ia simpan tentang sang adik.

"Kamu ingin tahu kenapa adikmu seperti itu?" suara ibunya bergetar, namun mengandung kepedihan yang dalam. "Adikmu tidak kuat menjalani hidup yang penuh tekanan... dia selalu dibanding-bandingkan setiap hari denganmu. Ayahmu selalu menganggap adikmu sebagai figur kakak dalam keluarga ini. Karena dia laki-laki, ayahmu berpikir dia harus jadi sosok kuat, pelindung, yang mampu menjaga keluarganya, apalagi kamu."

Sang ibu berhenti sejenak, menarik napas berat seraya mencoba menenangkan dirinya. "Dan bukan hanya itu," lanjutnya, "ayahmu sering kali bersikap tidak adil. Dia hanya memberi perhatian lebih padamu, membuat adikmu merasa diabaikan. Sebagai anak laki-laki, bagi ayahmu, adikmu harus selalu mengalah dan menanggung beban tanpa keluhan."

Kata-kata itu akhirnya keluar, penuh rasa duka dan penyesalan di setiap ucapannya. Semua yang selama ini tersembunyi menjadi jelas—mungkin terlalu jelas—bagi anak perempuan itu. Kehidupan keluarga mereka, yang tampak biasa dari luar, ternyata menyimpan begitu banyak luka yang belum terungkap hingga hari itu.

Dalam perjalanan hidup adikmu, ia kerap merasa tidak adil atas apa yang dialaminya. Ada beban yang terus menghantui perasaannya—seolah ia kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari seorang ayah. Perasaan diabaikan ini membuatnya ingin merubah hidup, menjadi sosok yang hanya menginginkan perhatian dan kepedulian. Namun, di tengah pencariannya, ia kehilangan arah, hingga akhirnya memilih jalan hidup yang membuatnya jatuh cinta pada sesama jenis. Pilihannya ini membawa konsekuensi besar, sebab ia terjangkit penyakit mematikan yang kemudian merenggut nyawanya.

Kakakmu yang mendengar cerita ini benar-benar dirundung kesedihan dan kekecewaan. Ia merasa hancur setelah mengetahui bahwa sang ibu sebenarnya sudah lama mengetahui pergolakan batin adikmu, namun memilih menyimpannya rapat-rapat. Kakakmu merasa dikhianati oleh kenyataan tersebut, tetapi lebih dari itu, ia menyalahkan dirinya sendiri atas hal yang terjadi. Baginya, kepergian adikmu adalah akibat dari kurangnya perhatian selama masa hidupnya.

Dalam refleksi penuh penyesalan, kakakmu menyadari bahwa selama ini ia hanya sibuk mengejar kehidupannya sendiri, tanpa pernah melihat ke dalam hati adiknya—seorang anak laki-laki bungsu yang waktu itu hanya ingin dimengerti. Adikmu merasa iri karena kerap diabaikan, tanpa ruang untuk mengekspresikan dirinya.

Kakakmu kini dihantui rasa bersalah yang berat. Di hatinya, ia sadar, masalah ini bukan sepenuhnya salah adikmu. Justru dirinya dan sosok ayah yang dinilai kurang memberikan penghargaan maupun tempat bagi adikmu untuk menjadi diri sendiri. Seharusnya adikmu dianggap sebagai anggota keluarga yang setara, bukan sekadar “anak bungsu” yang dijadikan sandaran semata. Luka ini mungkin akan terus membekas di hati kakakmu sebagai pelajaran hidup yang tak terelakkan.
Load comments