Gelandangan Bermoral
CerpenHidupku memang jauh dari kata layak, dan pekerjaan yang kulakukan sering kali dianggap sebelah mata, bahkan terkesan dipandang hina. Aku memang bukan berasal dari keluarga kaya raya, tapi aku begitu bangga karena aku mampu bekerja dan bertahan hidup tanpa harus menggantungkan diri dengan meminta belas kasihan orang lain. Meski pekerjaan ini hanya memilah barang-barang bekas yang dibuang mayoritas orang, aku tetap bersyukur dapat menghidupi keluargaku dari hasil kerja keras sendiri.
Aku tak pernah menyimpan dendam atau marah pada orang-orang berada yang kerap mengusirku. Aku juga tak marah ketika ada yang meremehkan atau bahkan melempariku dengan sampah yang mereka anggap pantas untukku. Aku tahu posisiku di masyarakat. Meski begitu, aku dan keluargaku tidak pernah merasa malu akan pekerjaan yang kulakukan, selama usahaku tidak merugikan orang lain.
Sering kali, aku harus menerima kenyataan diusir dari tempat di mana aku berteduh dan bekerja oleh aparat yang datang atas perintah pejabat yang lebih tinggi. Alasannya demi "ketertiban" dan agar tempat tersebut terlihat bersih karena akan digunakan untuk acara politik. Ironisnya, saat mereka menganggap kami kotor atau pekerjaan kami tak layak, tak ada satu pun yang memikirkan bagaimana jika sampah-sampah itu tetap berserakan tanpa kami yang memilahnya. Mereka sibuk mengutamakan estetika agar lingkungan tampak indah di depan mata, tapi hanya saat itu saja—pada momen-momen penting bagi mereka.
Kami para pemulung memang bukan siapa-siapa, tetapi sedikit banyak kami membantu mengurangi tumpukan sampah di sudut-sudut kota. Meski begitu, kami terus dipandang rendah, seakan-akan keberadaan kami tak berarti apa-apa, seperti sampah yang tak pantas dihargai. Menyedihkan rasanya, saat ada acara besar semua langsung diatur dan dibersihkan demi kepentingan tertentu. Tetapi ketika acara selesai, sampah kembali menumpuk tanpa ada yang memberikan perhatian.
Walaupun disebut gelandangan, kami masih memiliki moral dan rasa kepedulian terhadap sesama dan lingkungan. Aku tetap berusaha bertahan di antara gedung-gedung besar yang menaungi para orang kaya itu. Aku sering kali harus menahan kantuk, menghadapi dinginnya malam yang menusuk dan panasnya matahari yang membakar. Semua itu kulakukan demi sesuap nasi untuk keluargaku—tanpa harus meminta-minta dengan menjual kesedihan. Aku bertahan dengan harga diriku.
Berjalan dengan kaki penuh luka akibat kerikil setiap hari tentu berbeda dengan para pejabat yang memiliki kaki bersih, wangi, terawat, memakai sepatu kilat serta pakaian mewah. Berbeda dengan diriku, yang kau anggap manusia tak berguna, tanpa pernah merasakan hidup nyaman atau memakai jas, dasi, dan sepatu rapi berkilat.
Kau hidup enak, hanya duduk santai tanpa perlu mencari makan atau membawa karung berat puluhan kilogram di punggung seperti kami.
Pejabat tinggi hanya duduk di ruangan nyaman namun masih sering mengeluh lelah, tunjangan kecil, atau uang makan yang dianggap kurang layak. Coba rasakan hidupku sebagai gelandangan. Untuk makan saja, kami tak bisa mengeluh lelah. Tidak ada waktu bersantai atau tidur nyenyak. Kami terus berjuang demi sebungkus nasi, tanpa tahu rasa makanan yang bagi kalian "tidak enak."
Jangan menjadi pejabat yang menghancurkan hati rakyat kecil. Tugasmu adalah melindungi, bukan mengabaikan mereka yang berada di bawah. Jabatan bukan alasan untuk merendahkan. Jangan lupa, gaji yang kau terima berasal dari kerja keras mereka yang mungkin kau anggap tak berarti.
