Bermain Kedunia Kurcaci

Bermain Kedunia Kurcaci


Di sebuah kampung, hiduplah seorang anak perempuan bernama Tamara yang setiap harinya merasakan kesepian. Hal ini terjadi karena ia tidak seperti teman-temannya yang bisa berteman dan bermain dengan siapa saja. Hidup Tamara selalu diliputi kesendirian, tanpa satu pun teman. Anak-anak seusianya enggan berteman dengannya karena menganggapnya aneh dan sering membuat masalah.

Setiap hari, Tamara menghabiskan waktunya dengan bermain sendiri di rumah pohonnya. Kebetulan, Tamara berasal dari keluarga yang sangat sibuk. Ia jarang mendapatkan perhatian atau waktu dari kedua orang tuanya. Ayah dan ibunya lebih fokus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan sejak kecil, Tamara sudah terbiasa sendirian karena ibunya sering meninggalkannya, membuatnya merasa jauh dan tidak punya hubungan dekat dengan kedua orang tuanya.

Satu-satunya orang yang mendampinginya sehari-hari hanyalah seorang pengasuh. Pengasuh itu bertugas mengantar Tamara ke sekolah dan merawatnya, tetapi hanya sampai Tamara selesai sekolah. Setelah itu, Tamara kembali bermain sendirian di rumah hingga menunggu kedua orang tuanya pulang.

Tamara sering merasa sedih. Ia merasa ibunya lebih mementingkan pekerjaannya daripada dirinya. Bagi Tamara, ia adalah anak yang juga membutuhkan perhatian seorang ibu. Namun, setiap kali ia meminta ibunya untuk tidak terlalu sibuk bekerja, ibunya selalu memarahinya dengan mengatakan bahwa kalau bukan ibunya yang bekerja, siapa yang akan mengurus kebutuhan rumah tangga dan membayar sekolah Tamara. Sejak saat itu, Tamara memilih untuk tidak lagi mengeluh kepada ibunya agar lebih banyak di rumah.

Walaupun Tamara sering merasakan kesedihan, ia adalah anak yang sangat kuat dan pemberani. Meski anak-anak lain tidak mau berteman dengannya, Tamara selalu menemukan cara untuk bermain sendiri. Ia bahkan jarang merasa bosan atau kesepian.

Teman-teman Tamara sering merasa heran melihat dirinya yang bisa bermain sendiri dengan penuh keceriaan di rumah pohonnya. Tampak seperti sedang bermain bersama banyak orang. Namun, tidak ada yang berani mendekatinya karena Tamara dikenal memiliki mata batin, dan kabarnya siapa pun yang bermain dengannya akan mengalami hal buruk. Oleh karena itu, Tamara selalu sendiri tanpa teman.

Suatu hari, Tamara melihat dari kejauhan sekelompok anak laki-laki bermain sepak bola di lapangan dekat rumah pohonnya. Ia memperhatikan betapa senangnya mereka bermain bersama-sama. Saat itu, bola mereka terpental hingga masuk ke dalam rumah pohon Tamara. Beberapa anak kemudian memintanya untuk mengambil bola tersebut. Tamara keluar dari rumah pohon dan mengiyakan permintaan mereka.

Ketika Tamara menendang bola itu kembali, bola meluncur dengan sangat keras, hingga langsung masuk ke gawang. Semua anak terkejut menyaksikan keahlian Tamara. Salah satu dari mereka akhirnya mengundangnya untuk bergabung dengan permainan, karena kebetulan mereka kekurangan pemain. Awalnya, Tamara menolak, namun setelah dibujuk, ia pun setuju untuk bermain.

Ternyata, Tamara sangat mahir bermain bola. Lawannya kesulitan mengejar setiap gerakannya, dan ia terus mencetak gol tanpa henti. Timnya merasa sangat senang atas kemenangan yang mereka raih berkat Tamara. Anak-anak lain mulai memuji kehebatannya, membuat Tamara merasa bahagia karena akhirnya mendapatkan teman, meski semuanya adalah anak laki-laki.

Namun, setelah permainan usai, ibunya pulang dari bekerja dan mencari Tamara untuk pulang bersamanya. Tamara pulang dengan penuh kebahagiaan dan berharap bisa bermain lagi keesokan harinya.

Keesokan hari, saat anak-anak itu berkumpul kembali untuk bermain bola, Tamara meminta izin untuk bergabung lagi. Sayangnya, mereka menolak karena khawatir akan keselamatannya sebagai seorang perempuan. Mereka takut jika ia cedera atau terjatuh, mereka harus bertanggung jawab kepada orang tuanya.

Tamara yang tadinya sudah senang memiliki teman kembali merasa sedih. Ia pun kembali bermain sendiri di rumah pohonnya, mencoba menghibur diri meski hatinya sedikit terluka.

Tamara merasa begitu sedih hingga ia tertidur lelap di rumah pohonnya tanpa menyadari bahwa malam telah larut. Ia bangun dengan perasaan aneh saat melihat lapangan di dekatnya sudah sepi; tidak ada satu pun orang yang bermain seperti biasanya. Saat ia menatap langit malam, hanya suara burung-burung yang beterbangan yang menemani, menambah atmosfer sunyi di sekelilingnya.

Namun yang lebih membuat Tamara gelisah adalah kenyataan bahwa tidak ada tanda-tanda orang tuanya mencari keberadaannya. Ia berpikir bahwa mungkin ibunya belum pulang, sehingga ia memutuskan untuk menunggu di dalam rumah pohonnya, ditemani beberapa cahaya redup dari lampu kecil yang ada di sana.

Waktu berlalu, dan Tamara merasa harus memastikan apakah ibunya sudah pulang atau belum. Dengan langkah perlahan, ia keluar dari rumah pohonnya untuk melihat rumahnya dari kejauhan. Namun, dalam perjalanan itu, ia mendengar suara riuh anak-anak yang bermain di balik rerimbunan pohon dan semak-semak—tempat yang selama ini dikenal masyarakat sebagai kawasan misterius dan tak seorang pun berani mendekatinya.

Penasaran dengan suara itu, Tamara melangkah lebih dekat. Semakin ia maju, semakin jelas terdengar kelakar anak-anak tersebut. Rasa ingin tahu membawanya untuk memanjat tebing kecil yang ditumbuhi ilalang dan semak-semak tak terurus. Tanpa ragu, ia terus mendekati asal suara itu hingga ia melihat sekumpulan anak kecil lucu sedang masuk ke lubang besar di bawah sebuah pohon tua. Tak ingin kehilangan jejak, Tamara pun mengikuti mereka, berharap untuk tahu apakah mereka manusia biasa atau mungkin sesuatu yang lain.

Tamara mulai masuk ke dalam lubang itu. Awalnya sempit, tetapi semakin ia maju, semakin luas dan besar ruang tersebut, hingga tampak seperti rumah manusia dengan tatanan yang unik. Langkah kakinya terus membawa Tamara lebih dalam, diiringi suara percakapan riang dari anak-anak tadi yang kini terdengar semakin jelas.

Namun, saat hendak masuk lebih jauh, Tamara kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke lubang yang jauh lebih dalam! Terdengar suara keras akibat jatuhnya tubuh Tamara, yang dengan cepat mengejutkan penghuni tempat tersebut. Anak-anak kecil yang dari tadi menjadi rasa penasaran Tamara tiba-tiba muncul mengerumuni. Wajah mereka tampak tak biasa — tidak seperti anak manusia pada umumnya.

Salah satu anak itu berkata dengan nada tinggi sambil menunjuk Tamara, “Hei! Siapa kamu? Berani-beraninya masuk ke tempat kami! Kamu pasti manusia, kan? Yang selalu mengganggu kami dengan candaan dan tawa kalian? Tempat ini sering bergetar karena ulah kalian bermain di atasnya!”

Tamara gugup mendengar tuduhan itu dan segera menjawab, “Ma-ma-maaf! Aku tidak sengaja masuk ke sini. Aku sama sekali tidak pernah bermain atau merusak tempat kalian!” ucapnya dengan suara bergetar.

Namun kurcaci kecil ini tidak percaya begitu saja. Matanya tajam memandang Tamara sambil berkata dengan nada curiga, “Jangan bohong! Tidak mungkin kamu tidak bermain! Kalau begitu, apa maumu di sini? Kamu pasti ingin menangkap kami untuk dijadikan bahan memanfaatkan dunia kami demi uang keluargamu?!”

Tamara hanya bisa diam sementara semua kurcaci di sekitarnya makin gencar mengarahkan tatapan penuh tuduhan kepadanya. Rasa takut dan penasaran kini bercampur menjadi satu. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Di manakah sebenarnya ia berada sekarang? Banyak pertanyaan memenuhi benaknya tanpa jawaban.

Tamara termenung dengan wajah sedih. "Apa aku harus berbohong? Memang benar aku bermain di tempat dekat sini, tapi aku tidak pernah punya teman, apalagi sampai tertawa atau mengusik keberadaan kalian. Jangankan teman, bahkan teman-temanku yang ada malah menjauh dan tidak mau bermain denganku," ucap Tamara lirih.

Seorang kurcaci wanita kemudian bertanya, "Kenapa kamu tidak punya teman? Apa kamu nakal? Atau mungkin kamu sering mengganggu mereka, sehingga teman-temanmu tidak mau dekat denganmu?"

"Tidak, bukan karena itu," jawab Tamara cepat. "Teman-temanku bilang aku menyeramkan. Mereka takut karena aku sering berbicara sendiri dan kadang bertemu dengan makhluk lain. Karena itu, mereka menganggap bermain denganku membawa keanehan. Bahkan, orang tua mereka pun melarang mereka berteman denganku," lanjutnya dengan nada penuh kesedihan.

Kurcaci wanita itu menatap Tamara dengan rasa iba. "Oh begitu... kasihan sekali kamu. Jadi setiap hari kamu bermain sendirian? Lalu, orang tuamu di mana? Kenapa kamu ada di sini tengah malam begini? Apa orang tuamu tidak mencarimu?" tanyanya penuh kepedulian.

Tamara menghela napas panjang. "Aku tahu ini sudah larut malam. Sebenarnya tadi aku sedang menunggu ibuku di rumah pohon. Tapi tanpa sadar aku tertidur di sana. Saat bangun, lapangan tempat biasa kami bermain sudah sepi, tidak ada siapa pun. Aku pikir ibuku masih bekerja dan belum sempat menjemputku," jelas Tamara perlahan.

Kurcaci itu mengangguk kecil sambil berkata, "Kalau begitu, sementara kamu diam saja di sini sampai pagi. Jika ibumu mencarimu nanti, kamu bisa pulang. Untuk sekarang lebih baik kamu makan dulu, pasti kamu lapar."

"Tidak perlu repot-repot," balas Tamara, merasa tidak enak. "Aku tidak ingin merepotkan kalian. Datang ke sini tanpa izin saja aku sudah merasa bersalah. Terima kasih banyak atas kebaikan kalian."

Kurcaci itu tersenyum lembut. "Sudahlah, jangan sungkan. Aku tahu kok kamu anak baik." Ia lalu berteriak memanggil yang lainnya. "Semuanya, siapkan makanan untuk anak ini sekarang! Bawakan buah-buahan dan makanan terbaik untuknya, cepat!"

Para kurcaci segera membawakan berbagai hidangan lezat untuk Tamara. Tindakan ramah mereka membuat hati Tamara sedikit lega dan merasa senang. Dia menikmati makanan sambil bermain-main bersama para kurcaci tersebut. Untuk sesaat, ia melupakan rasa takut dan kecemasan; bahkan ia sampai lupa bahwa orang tuanya pasti sedang mencarinya.

Namun, di luar sana, suasana menjadi ramai karena orang tua Tamara, dibantu warga sekitar, tanpa henti mencarinya. Sudah hampir lima hari Tamara dinyatakan hilang, membuat ibunya menangis putus asa. Semua upaya pencarian dilakukan, tetapi tak juga membuahkan hasil.

Di antara kurcaci yang ada, salah satu dari mereka mendekati Tamara dan berkata dengan pelan, "Hei, anak manusia... aku kira ini saatnya kamu kembali pulang. Ibumu dan ayahmu terus mencarimu bersama banyak warga lainnya. Mereka sangat mengkhawatirkanmu. Jangan sampai kamu terlalu nyaman di dunia kami hingga tak bisa kembali ke keluargamu."

Kata-kata kurcaci itu membuat Tamara terdiam. Ia merenung sejenak dan mendadak teringat bahwa dia sebenarnya hanya menunggu ibunya saat tertidur di rumah pohon waktu itu. Namun anehnya, semua ingatan itu seperti memudar selama dia berada di tempat para kurcaci.

Dengan perasaan campur aduk, Tamara memutuskan untuk pulang tanpa memberitahu raja kurcaci terlebih dahulu. Dengan hati-hati ia menyelinap keluar dari tempat itu, berharap bisa kembali ke rumah dengan selamat.

Pada siang yang terik itu, kerumunan orang di lapangan sibuk mencari Tamara yang menghilang. Di tengah kecemasan, tiba-tiba suara lantang terdengar. Tamara berteriak dengan nada penuh emosi, memanggil kedua orang tuanya. "Ibu, Bapak! Tamara pulang!"

Ibunya yang mendengar suara itu langsung berlari menghampirinya. Dengan pelukan erat dan air mata yang deras mengalir, sang ibu berkata sambil terisak, "Kemana saja kamu, Nak? Ibu mencarimu ke mana-mana. Ibu takut sekali... Ibu pikir kamu diculik..."

Rasa lega menyelimuti suasana saat itu. Semua aparat dan warga bersyukur Tamara berhasil ditemukan. Melihat kondisinya yang tampak lemah, wajahnya pucat, dan seperti bingung, mereka segera membawanya pulang. Warga kemudian perlahan membubarkan diri, kembali ke rumah masing-masing setelah pencarian panjang yang melelahkan.

Namun, ada satu pertanyaan besar yang masih mengganjal di benak semua orang, terutama ayah Tamara. Ia bertanya-tanya mengapa anaknya muncul begitu saja di lokasi yang sebenarnya sudah digeledah berkali-kali selama proses pencarian. Tempat itu tidak menunjukkan tanda-tanda keberadaan Tamara sebelumnya.

Keluarga Tamara akhirnya memutuskan untuk tidak memperpanjang pikiran tentang misteri tersebut. Yang paling penting adalah Tamara kini telah kembali dengan selamat. Sang ibu pun mulai menata ulang prioritas hidupnya. Ia berjanji untuk tidak lagi terlalu sibuk dengan pekerjaan dan akan lebih fokus merawat Tamara di rumah layaknya seorang ibu rumah tangga.

Tamara merasa sangat bahagia mendengar janji ibunya. Sejak saat itu, ia tumbuh menjadi anak yang ceria dan lebih perhatian kepada keluarganya. Pengalaman ini memberinya pemahaman mendalam bahwa mengejar materi semata tidak akan berarti jika tidak disertai rasa syukur atas setiap pemberian hidup.

Bagi kamu yang masih mempertanyakan apakah dunia kurcaci itu benar-benar ada atau tidak, itulah perjalananku yang nyata.

Demikianlah kisahnya!
Load comments