Hilang nya anak gadis di gunung salak

Hilang nya anak gadis di gunung salak


Sebagai orang Jawa Barat, tentu banyak dari kalian yang sudah familiar dengan Gunung yang kerap menjadi incaran para pendaki.

Konon, banyak mitos seram menyelimuti gunung ini. Dari kisah tempatnya yang dianggap angker hingga pengalaman aneh yang sering dirasakan oleh mereka yang datang ke sana. Namun, cerita-cerita tersebut justru tidak membuat orang takut, malah semakin banyak yang datang untuk mengagumi keindahannya. Gunung ini menjadi salah satu spot dan jalur favorit para pendaki. Gunung tersebut adalah Gunung Salak, yang terletak di Jawa Barat. Gunung ini terkenal dengan keindahan alamnya yang masih asri, serta berbagai kisah mitos yang menyertainya. Banyak orang dari berbagai daerah senang menjelajahi Gunung Salak karena kealamiannya yang tetap terjaga.

Tidak heran jika Gunung Salak sering menjadi bahan pembicaraan mengenai cerita mistis atau kabar tentang orang-orang yang mengalami kejadian buruk di sana. Hampir setiap bulan atau tahun, kabar mengenai korban yang hilang atau meninggal di kawasan ini pun muncul. 

Masyarakat setempat percaya bahwa Gunung Salak dilindungi oleh sosok-sosok gaib atau makhluk halus yang menjaga kawasan tersebut. Oleh karena itu, setiap orang yang ingin mendaki gunung ini disarankan untuk mengikuti aturan yang ditetapkan oleh para penjaga atau "kunci" Gunung Salak. Aturan tersebut mencakup hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang selama berada di sana.

Banyak pendaki yang datang untuk menikmati keindahan Gunung Salak mengaku mengalami hal-hal aneh, bahkan ada yang berujung kehilangan nyawa. Kejadian seperti ini kerap dikaitkan dengan pelanggaran terhadap aturan yang telah diberitahukan oleh penjaga gunung.

Gunung Salak juga dikenal dengan tanaman buah salaknya yang subur, selain berbagai jenis tanaman buah lainnya. Menurut tradisi setempat, siapa pun yang ingin memetik atau mencicipi buah di gunung ini harus meminta izin terlebih dahulu—tidak sembarangan mengambil tanpa persetujuan.

Sayangnya, masih ada saja pendaki yang tidak percaya atau merasa terlalu percaya diri dengan menyepelekan keberadaan hal-hal mistis dan aturan adat setempat. Bagi kalian para pecinta alam dan pendaki, sebaiknya selain menikmati keindahan alam, tetap ingat untuk menjaga etika dan menghormati tempat yang dikunjungi. Tidak hanya menaruh hormat pada sesama manusia, tetapi juga pada makhluk tak kasat mata yang mungkin menghuni tempat tersebut.

Ada pula kisah menggemparkan yang pernah terjadi terkait Gunung Salak. Salah satunya adalah kejadian tragis saat sekumpulan murid dari sebuah sekolah mengadakan acara perkemahan di sekitar gunung. Anehnya, korban kali ini bukanlah pendaki atau wisatawan dari luar daerah, melainkan warga pribumi di lingkungan sekitar gunung tersebut. Peristiwa semacam ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu berhati-hati dan menghormati tempat-tempat sakral seperti Gunung Salak.

Seorang guru membawa enam kelompok anak didiknya untuk mengenal alam dan belajar cara melestarikannya. Setiap kelompok terdiri dari enam orang anak. Saat itu, penjaga kunci Gunung Salak sudah menjelaskan banyak hal kepada guru dan anak-anak terkait gunung tersebut. 

Meskipun diizinkan untuk melakukan kegiatan di gunung, penjaga kunci melarang mereka mendaki ke puncak karena jumlah peserta yang cukup banyak dan sebagian besar masih anak-anak. Penjaga khawatir anak-anak tersebut belum cukup kuat secara fisik. Oleh karena itu, mendaki hanya diizinkan hingga Pos 4, yang meski cukup menantang, dianggap aman untuk siswa. 

Guru dan panitia dengan ketat mengawal para siswa selama perjalanan menuju pos yang telah ditentukan. Di sepanjang perjalanan, mereka memantau kondisi setiap anak, memastikan siapa yang masih kuat atau membutuhkan bantuan. Walaupun semua siswa merasa kelelahan saat tiba di pos terakhir, perjalanan mereka berjalan lancar tanpa kendala berarti.

Setelah tiba, para guru dan panitia mulai mendirikan tenda untuk beristirahat. Mereka juga membagi tugas kepada enam kelompok siswa. Saya kebetulan menjadi bagian dari kelompok 5—kelompok yang terdiri dari enam anak, yang sebagian besar dikenal sebagai anak-anak manja. Bahkan kelompok saya hanya memiliki satu anak laki-laki, berbeda dengan kelompok lain yang mayoritas pesertanya laki-laki, lebih tangguh, dan jarang mengeluh.

Sebagai seseorang yang sudah terbiasa mendaki, saya cukup tenang menghadapi situasi di gunung, termasuk jika terjadi insiden seperti terjatuh atau menghadapi hewan liar, karena saya sudah tahu cara mengatasinya. Namun, salah satu anggota kelompok kami, seorang anak bernama Hera, sering kali menjadi perhatian khusus. Ia sulit diatur dan tidak pernah mendengarkan arahan baik dari panitia maupun guru. Hera kerap bersikap manja dan keras kepala, bahkan menganggap segala nasihat penjaga kunci tentang mitos dan kisah-kisah gunung itu sebagai takhayul.

Guru kami sudah berusaha keras mendidik Hera—mulai dengan nada lembut hingga tegas—namun semuanya tampak sia-sia. Saya pribadi sering khawatir sesuatu akan terjadi padanya, tapi ia tidak pernah mau mendengarkan peringatan apa pun dari saya ataupun yang lain.

Suatu hari, saat kelompok kami mendapat tugas mencari kayu bakar dan air di sekitar hutan, Hera lagi-lagi menjadi orang pertama yang berjalan penuh percaya diri. Padahal ia sudah tahu soal berbagai cerita tentang makhluk tak terlihat di area tersebut. Rasa penasarannya begitu besar, sementara sikap angkuhnya terus terlihat. Sebaliknya, saya mencoba menjaga grup tetap bersama dan tidak terpisah karena menurut saya hal itu sangat penting.

Namun Hera menunjukkan sikap keras kepala yang semakin parah. Dengan suara tinggi dan kemarahan, ia berjalan semakin menjauh sambil mengatakan bahwa ia bisa mencari kayu bakar seorang diri. Kami semua memutuskan untuk mengabaikannya karena tidak ingin membiarkan satu anggota pun berjalan sendiri. Meski sikapnya membuat kami merasa serba salah, saya terus meyakinkan diri bahwa menjaga kebersamaan kelompok adalah prioritas utama.

Hera terus berjalan lebih jauh dengan kemarahannya, menolak ditemani siapa pun meskipun kami sudah mencoba memanggilnya kembali ke kelompok.

Hari itu, aku bersama teman-temanku terus mengikuti langkah Hera, meski rasa lelah mulai mendera. Yang membuatku heran, Hera tampak berjalan dengan ritme yang berbeda, seolah ada sesuatu yang membantunya. Dia seperti tidak merasa lelah sama sekali, berjalan santai seperti sedang menyusuri jalan biasa.

Namun yang benar-benar mengejutkan, di tengah perjalanan, bukannya mencari kayu bakar seperti yang diminta, Hera malah memetik buah anggur liar dan buah salah yang tumbuh di sekitar. Padahal kami tahu jelas bahwa buah itu tidak seharusnya diambil tanpa izin dari "Kunci Gunung". Tapi Hera, dengan sikap keras kepala dan penuh pembangkangan, justru memakan buah itu dengan ekspresi bangga—seolah menantang semua aturan.

Bukan hanya satu buah, Hera terus memakannya tanpa peduli. Aku dan teman-teman mencoba menghentikannya. Kami memperingatkannya agar tidak melanggar aturan atau bersikap sompral di kawasan gunung ini. Sayangnya, Hera tak menggubris peringatan kami. Ia malah melangkah lebih cepat sambil tersenyum sendiri, seolah mengabaikan segalanya.

Yang lebih mengkhawatirkan, tiba-tiba Hera berlari dengan kencang hingga akhirnya kami kehilangan jejaknya. Kami semua yakin dia masuk ke dalam sebuah gua. Keresahan mulai melanda saat kami memanggil-manggil namanya, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Karena tidak berhasil menemukannya, kami berlima memutuskan kembali ke tenda untuk melaporkan kejadian tersebut kepada panitia dan guru pendamping.

Sesampainya di tenda, laporan kami tentang Hera disambut dengan kabar aneh lainnya dari kelompok lain. Mereka sempat melihat Hera membuka jaketnya dan berlari ke arah puncak gunung dengan wajah pucat. Salah satu dari mereka mengira Hera hendak buang air kecil sehingga tidak melaporkannya lebih dulu kepada panitia.

Panik pun menyelimuti seluruh kelompok. Semua orang langsung bergerak untuk mencari Hera. Bahkan tim keamanan gunung dan "Kunci Gunung" dikerahkan untuk membantu pencarian. Upaya itu berlangsung dari pukul 5 sore hingga pukul 9 malam. Tapi sayangnya hujan deras memaksa pencarian harus dihentikan sementara. Guru kami khawatir situasi justru menjadi semakin berbahaya jika terus memaksa pencarian dalam kondisi gelap dan licin. Tim keamanan gunung kemudian meminta bantuan pihak berwenang serta mengajak masyarakat setempat untuk ikut mencari Hera. Guru kami juga menghubungi keluarga Hera dan mengabarkan situasi tersebut.

Keesokan paginya, aku dan semua orang kembali melanjutkan pencarian dengan semangat sekaligus kecemasan. Kami menunjukkan lokasi terakhir kali melihat Hera berlari untuk mempersempit area pencarian. Perasaan cemas makin menjadi ketika membayangkan apa yang mungkin terjadi pada Hera—apalagi mengingat hujan deras semalam yang bisa membuat siapa pun takut dan kesulitan bertahan di tengah gunung.

Hingga pukul 10 pagi, keberadaan Hera masih menjadi misteri. Bahkan gua yang sempat kami curigai sebagai tempatnya berlindung juga kosong dan sama sekali tidak menunjukkan jejak manusia di dalamnya. Kami hanya bisa bertanya-tanya, di mana sebenarnya Hera berada? Perasaan panik dan khawatir terus membayangi kami sepanjang hari itu.

Bahkan polisi dikerahkan dalam jumlah besar, yang membuatku sangat sedih adalah melihat keluarga Hera, terutama ibunya. Sang ibu sering pingsan dan tampak tidak kuat menerima kenyataan bahwa Hera hilang. Hera adalah anak tunggal dalam keluarga itu, sehingga wajar jika mereka merasa sangat hancur saat mendengar kabar tersebut.

Ibunda Hera sempat bercerita kepadaku bahwa pada waktu magrib, ketika ia hendak mengambil wudu, ia mendengar seseorang berteriak seperti suara Hera. Sang ibu pun mengira bahwa Hera sudah kembali. Namun ternyata, itu hanya halusinasi semata. Pada saat yang sama, Hera memang sudah dinyatakan hilang. Mungkin naluri seorang ibu memang kuat, sehingga kejadian seperti itu terasa tidak aneh.

Kedua orang tuanya juga mengakui bahwa Hera memiliki sifat keras kepala dan jarang mendengarkan nasihat mereka. Bisa dibilang, Hera kerap memberontak karena terlalu dimanjakan sejak kecil.

Pada hari ketiga pencarian, hasilnya masih nihil. Hingga akhirnya orang tua Hera memutuskan membawa seorang ustaz dan beberapa orang pintar untuk membantu menemukan keberadaan Hera, tetapi semua usaha tersebut tetap tidak membuahkan hasil. Hari keempat dan kelima berlalu dengan kondisi yang sama, tak ada kemajuan.

Sampai akhirnya, penjaga Gunung Salak memberikan saran agar pencarian dilakukan di puncak gunung. Ia meminta agar pencarian dilakukan hanya bersama keluarga Hera dan sebagian kecil kepolisian. Dengan tekad mencari anaknya, orang tua Hera pun mendaki Gunung Salak.

Sesampainya di puncak, penjaga gunung menyarankan keluarga Hera untuk meminta maaf dengan tulus kepada makhluk tak kasat mata atau entitas lainnya yang mungkin ada di sana, demi kebaikan dan kelancaran proses pencarian. Dengan hati yang penuh harap, mereka mencoba mengikuti saran tersebut.

Kala itu, dilakukanlah pencarian dengan penuh keberanian dan keteguhan hati demi menemukan sang anak. Namun, kejadian aneh pun terjadi, disaksikan oleh banyak orang yang hadir. Tiba-tiba, angin kencang menghampiri, menggoyangkan semua pepohonan dengan suara gemuruh.  

Pasir-pasir beterbangan, dan tak lama kemudian, tubuh Hera ditemukan dalam kondisi mengenaskan, dilempar hingga tertancap di batang pohon salak.  

Orang tua Hera langsung histeris dan diliputi keterkejutan mendalam menyadari bahwa anaknya telah tiada, meninggalkan dunia ini dengan cara yang tak wajar.  

Sesaat setelah itu, terdengar suara harimau yang hampir seperti berjalan dengan langkah berat, menggetarkan suasana. Suara tersebut menyampaikan pesan mendalam, "Membesarkan anak bukan hanya soal materi, namun tanamkanlah nilai agama dan sopan santun kepada sesama."  

Kemudian suara itu perlahan menghilang menjauh. Mayat Hera akhirnya dibawa oleh pihak kepolisian. Ketika jenazahnya dimasukkan ke dalam kantong, kami semua terkejut dan menangis penuh kesedihan. Teman kami telah pergi untuk selamanya.  

Rasa duka menyelimuti kami, teman-temannya. Dari kejadian itu, sebuah pelajaran berharga tertanam dalam diri kami: sopan santun bukanlah sesuatu yang sulit atau mahal untuk dilakukan.  

Materi saja tidak cukup untuk membuat seseorang bernilai, karena tidak semua hal bisa dihargai dengan uang.  

Itulah kisahnya.  
Load comments