Persahabatan Anak Manusia dengan Makhluk Gaib

Persahabatan Anak Manusia dengan Makhluk Gaib


Persahabatan bukan sekadar kata yang ditulis di atas selembar kertas tanpa arti, melainkan sebuah ikatan suci yang tak ternilai oleh materi.

Ikatan persahabatan tidak akan pudar kecuali semesta yang memisahkan jiwa dan raga kita.

Aku adalah Mantili, seorang anak yang lahir dari keluarga sederhana, jauh dari gemerlap dunia. Aku dilahirkan pada tahun sembilan puluhan, masa yang barangkali banyak orang mengenangnya sebagai periode penuh tantangan. Saat itu, kemakmuran masih menjadi impian bagi banyak keluarga yang hidup dalam kesusahan.

Sejak kelahiranku, kehidupan terasa cukup berat. Aku menyadari bahwa aku memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh anak-anak lain. Di saat anak-anak lain menikmati masa kecil mereka dengan bermain bersama teman-teman, aku menjalani masa kecil yang jauh berbeda. Aku tidak bisa bermain bebas seperti anak-anak pada umumnya atau menjalin banyak persahabatan.

Hal itu terjadi karena aku memiliki kemampuan berbeda: melihat makhluk yang tidak kasat mata—yang kini sering disebut INDIGO. Kehidupanku pun menjadi tantangan tersendiri. Banyak anak yang takut mendekatiku, bahkan jika ada yang ingin berteman, sering kali orang tua mereka melarang. Mereka khawatir aku akan membawa pengaruh tidak baik, mengingat aku kerap berbicara seorang diri atau tertawa tanpa alasan jelas.

Begitulah pandangan mereka terhadapku—seorang anak dengan sifat dan kemampuan yang dianggap aneh.

Selain menjalani kewajibanku sebagai pelajar, sebagian besar waktuku lebih banyak dihabiskan sendirian. Aktivitas sehari-hariku lebih sering ditemani benda mati atau sesekali berinteraksi dengan makhluk lain. Perasaan kesepian kerap menghampiri, apalagi saat melihat teman-temanku bebas bermain bersama siapa saja dan pergi ke mana pun mereka suka. Rasanya sulit untuk tidak merasa iri.

Ada masa dalam hidupku ketika aku benar-benar merasa hancur. Aku merasa berbeda karena lahir dengan kondisi yang tidak sama seperti anak-anak lainnya. Pikiran gelap pernah menyeberang di benakku, terpikir untuk mengakhiri semuanya. Aku membayangkan, mungkin dengan begitu aku akan terbebas dari semua beban yang harus kutanggung sendiri.

Namun, perlahan perasaan itu memudar dengan sendirinya. Aku justru mulai merasa nyaman dengan kesendirianku. Dari situ, aku menyadari bahwa aku punya kebebasan yang tidak dimiliki banyak orang. Tidak ada yang mengaturku, tidak ada yang memaksaku mengikuti kehendak mereka, dan aku pun merasa lebih leluasa menjalani semuanya tanpa khawatir menyakiti siapapun.

Sejak pengalaman itu, aku mencoba belajar menerima dan ikhlas atas kelebihan yang telah Tuhan berikan kepadaku. Meskipun jalanku berbeda, aku merasa semakin kuat karena dukungan tanpa henti dari orang tuaku. Mereka selalu menyemangatiku untuk tetap menjadi diriku sendiri dan menerima kenyataan bahwa aku punya cara hidup yang unik dibanding anak-anak lain di sekitarku.

Orang tuaku sering berkata bahwa keluargaku dari generasi ke generasi telah diwarisi keahlian yang istimewa. Sebuah kemampuan berupa pengetahuan spiritual atau hikmat yang bisa membantu mengobati banyak orang. Mereka mengingatkanku untuk selalu yakin dan ikhlas dalam menerima apa yang Tuhan titipkan. Katanya lagi, jika semua dijalani dengan rasa syukur, kemampuan ini bisa menjadi ladang ibadah, membawa manfaat besar bagi kehidupan orang lain.

Mungkin kami tidak selalu mampu berbagi dalam bentuk materi atau uang, tapi kami masih bisa membantu sesama dengan cara lain—contohnya seperti menangani orang yang kesurupan, diganggu makhluk halus, atau bahkan memberikan petunjuk melalui mata batin untuk hal-hal penting yang perlu diungkapkan. Semua itu adalah bagian dari pemberian Tuhan yang harus kumanfaatkan sebaik mungkin untuk kebaikan banyak orang dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Sejak saat itu, aku merasa bersemangat untuk terus mengenal diriku lebih jauh. Mulai menggali dan belajar bagaimana mengendalikan tubuhku, hingga semakin banyak makhluk yang kulihat, semakin banyak pula ilmu yang bisa kuserap. Saat itu, aku menjalani hidup tanpa keluhan sedikit pun, menikmati setiap langkah yang harus kulalui. Rasanya, semakin aku menyelami hidup ini, semakin aku memahami apa arti dari keberadaanku. Aku menyadari satu hal: manusia, sebagaimana sempurnanya mereka, tak akan mampu menghadapi segala masalahnya seorang diri. Bahkan makhluk tak kasat mata dengan segala banyaknya jenis dan keberadaan mereka, tak bisa benar-benar memberikan solusi seperti halnya manusia.

Setiap harinya, aku selalu diajarkan oleh ayahku untuk menolong orang lain. Ia ingin aku terbiasa dengan kemampuanku dan memahami bagaimana caranya menggunakan itu untuk menyembuhkan. Seiring waktu, perlahan aku mulai merasa nyaman dan bahagia saat membantu orang lain. Banyak yang menyukai apa yang kulakukan, beberapa bahkan menunjukkan rasa kagum padaku. Aku juga memahami bahwa memberikan kebaikan kepada orang lain tak hanya membantu mereka, tetapi sering kali kebaikan itu kembali kepada kita.

Ketika aku mulai memahami esensi dari membantu sesama, aku semakin rajin mengikuti orang tuaku ke mana pun mereka pergi. Setiap libur sekolah, aku selalu diajak oleh ayahku untuk mendampingi proses penyembuhan—atau seperti yang biasa ia sebut *bersareat*. Berbagai macam kasus selalu kami tangani bersama, mulai dari santet, guna-guna, pelet, kesurupan, hingga gangguan sejenis lainnya.

Ada satu pengalaman mendalam yang masih kuingat jelas hingga kini. Pada tahun 2008, ayahku mengajakku ke Kepulauan Seribu untuk membantu seorang ibu yang telah diganggu oleh makhluk halus selama lima hari berturut-turut. Kondisinya sangat memprihatinkan; ia terus mengamuk hingga rumahnya hancur karena ulahnya sendiri. Dengan tekad membantu semampu kami, aku dan ayah menuju pulau tersebut.

Perjalanan itu mengharuskan kami menyeberangi lautan menggunakan perahu kecil ke desa tempat pasien tersebut tinggal. Mendekati area tujuan, suasana menjadi semakin mencekam. Orang-orang di sekitar memperbincangkan bahwa desa tersebut dikenal angker, bahkan ada cerita beberapa orang sebelumnya pernah menghilang entah ke mana. Namun, ayahku tetap optimis. Ia meyakinkan kami dengan penuh keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja jika niat kami tulus.

Di tengah perjalanan, aku mulai merasakan hal ganjil. Sekujur tubuhku seperti diterpa hawa dingin dan berat, ciri khas saat kehadiran makhluk tak kasat mata mendekat. Tiba-tiba terdengar suara nyaring memanggilku dari arah tak pasti: "Heeeeeiiii... Mantiliiiii!" Suara itu membuat kami terdiam sesaat. Anehnya, tidak hanya aku yang mendengar panggilan itu—ayahku dan pengemudi perahunya pun menoleh kebingungan. Ayah hanya tersenyum sambil berkata agar tak perlu dihiraukan: "Mereka hanya ingin kenalan saja."

Namun, suasana semakin intens ketika suara bisikan lain muncul lagi. Kali ini terdengar seperti suara anak perempuan memohon bantuan. "Tolong..." Suaranya lemah namun begitu jelas di telingaku, membuat bulu kuduk meremang. Ketika aku ingin memberi tahu ayahku tentang bisikan itu, ia ternyata sudah lebih dahulu menyadarinya. "Tolong apa? Selama itu baik dan tidak macam-macam, kami akan bantu," ucapnya tegas namun lembut.

Tidak lama setelahnya, perahu kami tiba-tiba berhenti mendadak dan seperti tertahan sesuatu dari bawah air. Pengemudi perahu langsung panik. "Kenapa ini? Kapalnya tidak mau bergerak," katanya sambil memandang kami cemas. Ayahku meminta kami memeriksa situasi dan memastikan apakah ada sesuatu yang menyangkut di bawah perahu.

Ketika dicek lebih dalam, barulah kengerian nyata terungkap. Ada sesosok mayat bayi perempuan yang telah membusuk terapung di air, sebagian tubuhnya sudah tak utuh lagi—jari tangan dan kakinya hilang, entah termakan ikan atau terkoyak arus. Aku hanya bisa terpaku memandangnya, sementara hati bergemuruh dengan berbagai pertanyaan dan rasa pilu yang tak terjawab.

Perjalanan ini mengajarkan banyak hal bagiku—tentang keberanian di tengah ketidakpastian, tentang kekuatan niat baik, serta betapa kerap kali kehidupan mempertemukan kita dengan

Di tempat itu, aku sempat berhenti sejenak untuk memberi tahu aparat terdekat agar segera menangani jenazah bayi yang kutemukan. Tidak butuh waktu lama, warga dan aparat mulai berdatangan dan berkumpul melihat jasad bayi tersebut. Namun, di tengah kerumunan itu, ada sesuatu yang terasa janggal bagiku.

Aku melihat seorang anak perempuan di antara keramaian. Tapi yang membuatku bingung, dia tidak terfokus pada jasad bayi tersebut. Sebaliknya, dia malah memperhatikan aku dan bapakku sambil melambaikan tangan dan tersenyum. Hal ini terasa aneh karena aku bisa membedakan mana manusia dan mana makhluk lain—dan dia jelas bukan manusia.

Tak selang lama, anak itu tiba-tiba menghilang. Saat itu, aku makin yakin bahwa dia bukanlah manusia biasa. Namun, aku memilih untuk tidak terlalu memikirkannya. Aku harus segera melanjutkan perjalanan ke tempat seorang ibu yang perlu aku obati. Bersama bapakku, aku kembali berjalan menyusuri jalan.

Setibanya di seberang pulau, kami mulai memasuki sebuah kampung yang jaraknya sekitar lima kilometer. Untuk mengalihkan rasa lelah, aku berbincang santai dengan bapakku di sepanjang jalan. Lalu aku bertanya kepadanya, "Pak, kok bisa ya, tadi kita seperti dipertemukan begitu saja dengan kejadian itu?" 

Bapakku menjawab dengan tenang, "Ya, bisa saja, kalau kita ikhlas dan yakin ingin membantu orang lain, pasti jalannya akan dipermudah oleh-Nya."

"Ooooh, iya, Pak. Mantili paham sekarang," jawabku.

Kemudian bapak bertanya kepadaku, "Kamu capek nggak ikut bapak hari ini? Atau mungkin nyesel ikut bapak buat ngobatin orang?"

"Enggak capek kok, Pak," jawabku ringan. "Malah mantili senang. Banyak pengalaman baru yang mantili dapatkan. Belum tentu teman-teman Mantili bisa jalan sejauh ini seperti Mantili!"

Kami terus berjalan. Di tengah perjalanan, tiba-tiba ada kelapa dan pisang jatuh dari pohon. Rasanya seperti berkah kecil di saat perut kami lapar dan tenggorokan kering karena tak ada penjual makanan di sekitar tempat terpencil ini. Lalu aku bertanya kepada bapakku, "Pak, ini ada kelapa dan pisang. Apa boleh kita makan buat ganjel perut?"

Bapakku melihat sekeliling dan berkata, "Sepertinya kelapa ini jatuh sendiri, dan pisangnya juga tidak ada yang punya. Ya sudah, kita makan saja sambil baca bismillah."

Akhirnya kami meminum air kelapa untuk melepas dahaga dan mencoba mengganjal perut dengan pisang tersebut. Namun, saat aku hendak membuang bekas kulit kelapa dan pisang tadi, aku tiba-tiba melihat anak kecil yang sebelumnya muncul di kerumunan warga saat menemukan jenazah bayi.

Aku terkejut dan spontan berkata, "Haaahh! Hei! Kamu kan yang tadi di dermaga? Kamu siapa?"

Anak kecil itu hanya tertawa kecil sambil berkata lirih, "Maaf kalau aku lancang mengikuti kalian."

Aku langsung berlari ke arah bapakku dan memberitahu bahwa makhluk lain sedang mengikuti perjalanan kami. Ketika bapakku melihat ke arah anak itu, dia bertanya dengan suara tenang, "Kamu siapa, Nak? Dari mana asalmu? Kenapa kamu sendirian di sini?"

Anak itu menjawab dengan pelan tetapi jelas, "Maaf, Pak. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karena kalian sudah membantu menemukan jasadku tadi."

Bapakku tampak mengerti situasi itu dan berkata lembut kepadanya, "Oh, jadi kamu adalah anak kecil yang tadi mayatnya ditemukan mengapung di dermaga itu?"

Mendengar itu, spontan aku berbicara dengan nada ketus, "Jadi kamu SETAN? Ihh! Bener kan kalau kamu itu setan yang tadi aku lihat!"

Bapak langsung menoleh kepadaku dengan nada menenangkan, "Ssstt... Jangan bicara begitu, Mantili. Dia bukan setan, melainkan arwah yang belum tenang."

Kemudian aku menatap anak itu dengan pandangan serius dan bertanya, "Terus kenapa kamu bisa mengapung di situ? Dan kenapa pula kamu sampai dibuang seperti itu?"

Aku dibuang oleh ayah dan ibuku saat aku lahir. Mereka menyerahkanku karena aku dilahirkan dengan kekurangan dan merupakan hasil dari kehamilan di luar nikah. Mungkin ibuku merasa malu memiliki anak sepertiku, sehingga dia membuangku begitu saja. Sampai sekarang, aku berusaha keras menjaga prinsip hidupku agar tetap utuh dan selalu menjalani hidup dengan penuh kehati-hatian agar tidak dimanfaatkan oleh orang lain. Aku pun tidak nyaman berada di pulau ini. Banyak dari makhluk di sini jahat kepadaku, dan sebagian besar dari mereka menjadi budak kekayaan. Namun, ketika aku melihat kalian, aku merasa kalian adalah manusia baik yang bisa membantuku membawa prinsip hidupku ke jalan yang benar.

"Jadi itu cerita kenapa kamu ada di pulau ini. Tak apa-apa, jangan pernah membenci orang tuamu, ya. Mungkin mereka tidak punya pilihan lain pada waktu itu," ucap seorang bapak.

"Oh, iya... namamu siapa, Nak?" tanya bapak itu lembut.

"Apa itu nama, Pak?" balas anak itu polos.

Bapak itu tersenyum dan menjawab, "Nama adalah sebutan untuk manusia supaya punya identitas atau panggilan. Kamu mau kalau bapak beri kamu nama?"

Dengan mata berbinar, anak itu menjawab, "Maaaauuuuu, Pak! Mauuuuuu!"

"Baiklah, bapak akan memberimu nama Yanti, bagaimana? Dengan begitu, kalau ditanya orang lain, kamu sudah punya nama."

"Iya, Pak. Aku mau! Terima kasih banyak, Pak!" ucap anak itu sambil menundukkan kepala, terlihat sedikit raut kesedihan di wajahnya.

Melihat ekspresi anak itu, bapak bertanya, "Kenapa kamu sedih, Yanti? Kamu tidak suka dengan nama itu? Kalau begitu, bapak bisa menggantinya."

"Bukan begitu, Pak... Aku suka kok dengan nama itu. Hanya saja, aku bingung harus pergi ke mana hari ini. Aku tidak ingin terus tinggal di sini... Aku takut jika lama-lama di sini aku akan dijadikan budak pesugihan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Makhluk-makhluk di sini juga sangat jahat. Aku tidak suka, Pak," ujar Yanti dengan wajah muram.

Bapak itu pun menjawab dengan bijaksana. "Sudah, jangan sedih lagi ya. Mulai sekarang kamu ikut dengan bapak dan Mantili saja. Mantili jadi ada teman nantinya. Tapi kamu harus janji, jangan nakal dan dengarkan perkataan bapak. Kalau diajarkan kebaikan, kamu harus belajar dan mengikutinya."

Mendengar itu, Yanti langsung berseru kegirangan. "Horeee! Asyik! Yanti janji akan jadi anak yang baik dan teman yang baik untuk Kak Mantili. Aku juga akan nurut kalau bapak mengajarkan hal-hal baik."

Namun, Mantili yang mendengar perkataan Yanti langsung merespons dengan sinis. "Ya ampun... aku gak mau temenan sama kamu! Kalau kamu ikut ke rumahku, yang ada nanti malah bikin aku pusing doang. Lagian kamu kan bukan manusia?"

Bapak pun mencoba menengahi. "Sudah, sudah... Jangan bertengkar. Ayo kita jalan lagi sebelum kemalaman. Kita masih harus pergi ke tempat pasien yang perlu kita obati!"

Dengan rasa kesal karena perkataan Mantili tadi, aku memilih diam dan ikut berjalan bersama mereka menuju rumah pasien. Sesampainya di sana, sudah banyak orang yang menunggu kedatangan kami, berkumpul di sekitar seorang ibu yang sedang mengamuk dengan suara keras tak seperti wanita pada umumnya.

Tanpa membuang banyak waktu, bapak langsung menangani ibu tersebut dengan dibantu suaminya untuk menahan agar sang ibu tetap tenang selama pengobatan. Anehnya, hanya dengan menotok tangannya saja, ibu itu langsung sadar dan kembali tenang seperti sedia kala.

Orang-orang yang ada di sana—keluarga dan tetangga ibu itu—melihat kejadian ini dengan penuh takjub. Mereka mengatakan bahwa sebelumnya ibu tersebut sudah mencoba berobat ke berbagai tabib, ustad, dukun, hingga ahli syariat sekalipun—namun tak satu pun yang berhasil menyembuhkannya. Bahkan keluarga ibu itu sampai menjual sebidang sawah hanya untuk membiayai pengobatannya karena biaya yang diminta sangat besar.

Beginilah jika seseorang menolong hanya demi imbalan, tanpa mempertimbangkan apakah tindakannya akan merugikan orang lain atau tidak. Namun, jika bantuan diberikan dengan tulus dan ikhlas, insya Allah itu akan membawa manfaat dan kebaikan. Di mana pun kita berada, selalu akan ada perlindungan dari orang-orang baik.

Tidak membutuhkan waktu lama, ibu tersebut akhirnya sembuh dan sadar seperti sediakala. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Ada sosok yang mengaku sebagai siluman buaya muncul, mengungkapkan bahwa selama ini dia berdiam di tubuh si ibu. Sosok itu marah dan merasa terganggu karena dikeluarkan dari tubuhnya.

Siluman itu berteriak kepada Bapak Mantili sambil menunjuk dengan amarah, mengatakan, "Berani-beraninya kau mengusikku dan membuat keributan di tempatku!" Namun Bapak Mantili menanggapi dengan tenang, "Kenapa kau masuk ke tubuh anakku tanpa izin? Apa hakmu berada di sana? Aku di sini untuk membantu orang yang kesulitan. Kau yang mengganggu manusia, jadi aku wajib mengeluarkanmu. Apa salahnya orang itu hingga kau terus diam di tubuhnya?"

Dengan penuh dendam, siluman menjawab, "Aku akan terus melukai dia. Dia telah menyakiti orang-orangku. Jangan campuri urusanku jika kau ingin tetap hidup!" Tapi Bapak Mantili dengan tegas berkata, "Aku tak akan pergi jika kau masih mengganggu. Kalau ada yang harus pergi, maka itu adalah kau!"

Siluman itu tertawa terbahak-bahak, mengejek Bapak Mantili dengan sebutan manusia bodoh. Ia memperingatkan bahwa Bapak telah mencari masalah dengannya dan apa yang akan terjadi nanti adalah tanggung jawab Bapak sendiri. Namun, Bapak Mantili tetap tenang dan tak gentar. Ia berkata, "Aku tidak takut padamu. Aku punya Tuhan. Jika ada yang akan berakhir di neraka, maka itu adalah dirimu!"

Dengan niat jahat, siluman berkata akan membunuh sang anak. Ia terkekeh sambil menebar ancamannya. Tetapi, Bapak Mantili tak terpengaruh sedikit pun. Ia hanya memperlihatkan telapak tangan dan jarinya, membuat siluman merasakan kepanasan dan rasa sakit luar biasa. Sambil berteriak, siluman memohon agar Bapak tidak mendekatkan telapak tangannya lagi.

Kemudian Bapak Mantili melantunkan ayat-ayat suci yang membuat siluman menyerah dan pergi untuk selamanya dari tubuh ibu itu. Alhamdulillah, semuanya kembali aman. Bapak Mantili meyakinkan keluarga bahwa gangguan tersebut tidak akan terulang karena siluman telah dibuang ke neraka.

Setelah kejadian itu, Mantili terlihat kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat. Keluarga pun sempat khawatir apakah siluman itu akan kembali lagi. Namun, Bapak Mantili meminta mereka untuk berhenti memikirkan hal-hal aneh agar tidak memancing kehadiran makhluk-makhluk seperti itu lagi.

Yanti mendekati Mantili dan bertanya dengan nada perhatian, "Hei, kamu sakit ya?" Namun Mantili menjawab dengan nada judes, "Apa sih kamu sok tahu banget? Ngapain nanya-nanya gitu!" Yanti hanya tersenyum kecil dan berkata, "Kamu galak sekali, ya. Padahal aku peduli sama kamu. Aku kan temanmu, tentu aku harus menjaga kamu."

Mantili menjawab dengan ekspresi tegas, "Enggak usah kamu peduli, dan jangan berharap aku mau jadi temanmu, apalagi saudaramu." Tatapannya tajam, penuh penolakan.

Setelah itu, suasana kembali tenang. Kami dipersilakan untuk makan bersama. Hidangan melimpah, mulai dari berbagai makanan berat hingga buah-buahan segar, telah disiapkan untuk kami. Kabarnya, kami akan menginap semalam di desa itu sebelum pulang, karena perjalanan ke kota pada malam hari sangat berisiko dan tidak ada kapal yang beroperasi di jam tersebut. Perjalanan terlalu jauh dan gelapnya malam menambah bahaya.

Saat makan malam, kami duduk bersama keluarga dan berbincang akrab dengan warga sekitar. Namun, Yanti kembali membuat suasana tak nyaman. Ia terus saja memancing ketidaksukaan Mantili, seolah hubungan mereka seperti kucing dan anjing yang tak pernah bisa berdamai.

Setelah makan malam selesai, aku mencoba beristirahat di balai depan rumah warga yang menghadap langsung ke pantai. Hembusan angin laut menambah rasa tenang di malam itu.

Tapi rupanya Yanti muncul lagi. Kali ini dia berusaha mendekati dan mencoba berteman dengan Mantili. Namun seperti biasa, Mantili yang cenderung tertutup tetap menolak untuk akrab. Dia terbiasa sendiri dan merasa terganggu oleh pendekatan Yanti. Bagi Mantili, kehadiran Yanti hanya menambah rasa risih. Sebaliknya, Yanti tidak gentar. Meski berkali-kali ditolak, dia terus membujuk dan berusaha mendekati Mantili agar mereka bisa bermain dan berteman.

Dengan sikap humoris dan tingkah lucunya, Yanti mendekati Mantili sambil bercanda, "Heiii... saudaraku! Main yuk! Ayo kita main. Sampai kapan kamu mau jutek terus? Kita kan teman." Wajahnya menampilkan ekspresi manja yang seolah memaksa Mantili untuk membalas ucapannya.

Mantili merasa kesal dengan sikap Yanti. Saat emosinya memuncak, ia berkata dengan nada ketus, "Hehh… setan! Aku bilang jangan ganggu aku! Aku ingin sendiri, aku tidak membutuhkan teman. Kamu mengerti tidak?" Mantili masih menunjukkan sikap judes ketika berkata demikian.

Yanti, yang terlihat kecewa, menjawab dengan wajah sedih, "Ya sudah, kalau memang kamu tidak mau berteman denganku. Aku akan bilang kepada ayahmu kalau kamu mengusirku." Nada manjanya terdengar jelas.

Setelah Yanti pergi, Mantili berjalan sendiri di pinggir pantai, menyusuri pasir. Namun, tak lama kemudian, ia terkejut melihat banyak kecoa di kakinya. Mantili panik karena hewan tersebut merupakan kelemahannya. Rasa takut membuatnya lemas dan ia berteriak meminta tolong, tetapi tak ada yang membantu. Yanti, yang sedang bermain pasir di tengah pantai, pura-pura tidak mendengar teriakannya.

Mantili semakin panik dan berteriak dengan suara lantang, "Yanti! Tolong aku, jangan pura-pura tidak melihat! Aku lemas, tolong aku!"  

Dengan nada meledek, Yanti menjawab, "Katanya kamu tidak membutuhkan teman dan tidak mau berteman denganku. Ya sudah, aku juga sendiri saja!"  

Namun, kehancuran rasa takut membuat Mantili memohon, "Yanti! Cepat bantu jauhi hewan ini! Aku takut! Aku mohon... Aku janji akan berteman denganmu. Tolonglah aku!" Ekspresi wajahnya semakin lemas.

Melihat keadaan Mantili yang memelas, Yanti akhirnya berkata sambil tersenyum puas, "Oke deh, bos! Aku akan bantu."

Setelah berhasil membantu Mantili, ia akhirnya merasa lega dan berkata dengan kesal, "Huuuuhhhh… selamat! Lama banget sih kamu baru bantuin aku! Hampir saja aku pingsan di sini!"  

Yanti dengan nada menggoda menjawab, "Yee... bukannya terima kasih karena sudah ditolong, malah marah-marah. Makanya jangan sombong. Jadi orang itu butuh teman juga untuk membantu!"  

"Aku sudah bilang makasih! Puas kamu?" gerutu Mantili sambil kembali berlari menuju tempat mereka semula.

Setelah kejadian tersebut, hubungan Mantili dan Yanti pun berubah menjadi lebih baik. Mereka mulai saling mengobrol hingga menjadi teman bermain. Mantili bahkan merasa kehidupannya menjadi lebih berwarna dan tidak kesepian lagi. Meskipun sering kali terjadi keributan kecil di antara mereka, persahabatan mereka tetap terjalin erat.

Saat membawa Yanti ke rumahnya, Mantili memperkenalkannya kepada ibunya sebagai teman baru yang dapat ia andalkan. Meski sang ibu tidak bisa melihat secara fisik, ia memahami kehadiran Yanti melalui perasaan kasih yang hadir di rumah itu.

Sejak saat itu, Mantili dan Yanti dikenal sebagai anak-anak yang baik hati dan sering membantu orang lain. Berkat persahabatan tersebut, Yanti juga mulai memahami arti agama, bahasa, dan nilai-nilai sopan santun. Ia bahkan sering mengajarkan Mantili saat temannya melakukan kesalahan. Hubungan mereka seperti saudara kandung yang saling menjaga satu sama lain.

Mantili pun merasa bahagia karena kehadiran Yanti memberikan arti besar dalam hidupnya. Bahkan setelah dewasa dan berkeluarga, persahabatan mereka tetap kuat seperti dulu.  

Itulah kisah perjalanan mereka, sebuah persahabatan yang tak tergantikan.
Load comments