Janda matre kecantol pegawai TKK
Cerpen PercintaanSeorang janda muda menjalani hidupnya dengan fokus pada pekerjaan, mengesampingkan kebahagiaan pribadinya. Ia terlalu sibuk untuk mencari pendamping baru hingga dikenal sebagai wanita pekerja keras dan memiliki pergaulan luas, termasuk dengan kalangan pesohor serta individu bermasalah.
Karena gaya hidup dan lingkup pergaulannya, ia sering diremehkan, bahkan menjadi sasaran pria-pria tak bermoral yang menganggapnya mudah dimanfaatkan. Statusnya sebagai wanita tanpa suami membuat banyak orang salah menilai, menyebutnya bukan wanita baik-baik.
Wanita ini lebih sering bergaul dengan pria daripada wanita, yang semakin memicu gosip negatif dari tetangganya. Namun, ia tidak peduli dengan semua itu. Baginya, kerja keras demi keluarga dan anak adalah prioritas, dan selama ia tidak meminta bantuan orang lain, ia merasa tidak ada yang salah.
Inilah kisahnya.
Wulan adalah seorang janda dengan satu anak yang telah lama tinggal di kampungnya. Kehidupannya sering menjadi bahan pembicaraan, bahkan tak jarang membuat orang sekitarnya merasa heran. Banyak yang menyebarkan gosip bahwa ia adalah seorang janda yang hidup dengan "simpanan". Karena berbagai tudingan ini, Wulan memutuskan untuk tidak lagi menikah atau menjalin hubungan dengan siapa pun.
Selain bekerja di sebuah perusahaan, Wulan memiliki hobi yang cukup berbeda dari kebanyakan wanita. Jika pada umumnya seorang janda sibuk mencari pasangan baru untuk menggantikan sosok laki-laki yang sebelumnya, Wulan memilih jalannya sendiri. Ia memiliki hobi unik yang jarang ditemui, yaitu mengikuti ajang balapan. Dari hobinya ini, ia berhasil menambah penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan sang anak yang telah ia rawat sejak usia empat bulan.
Meski bekerja di pagi hari, Wulan sering keluar malam hingga pulang menjelang pagi demi mencari penghasilan tambahan. Ia berusaha keras memberikan kehidupan layak untuk anak semata wayangnya, keluarganya, dan juga orangtuanya yang sudah tua. Sebagai seorang ibu tunggal, ia tidak pernah mendapatkan nafkah atau perhatian dari pihak lain untuk membantu merawat anaknya. Inilah yang membuatnya harus bekerja lebih keras.
Wulan memilih untuk memfokuskan seluruh energinya pada kebahagiaan keluarga dan anaknya. Ia tidak pernah memedulikan cemoohan ataupun gosip miring dari tetangga maupun rekan-rekannya. Baginya, mendengarkan apa kata orang bukanlah hal yang penting asalkan mereka tidak melibatkan anak dan keluarganya dalam fitnah tersebut. Jika itu terjadi, ia tidak akan segan membela diri untuk membuktikan kebenaran.
Sebelum menikah, Wulan merupakan sosok wanita yang populer dan dikagumi banyak orang, baik pria maupun wanita. Ia dikenal sebagai pribadi yang ramah, memiliki banyak teman, serta aktif dengan berbagai hobi. Oleh karena itu, tak heran jika banyak orang menyukai atau ingin dekat dengannya. Ada yang tulus mengaguminya, tetapi ada pula yang sekadar ingin ikut terkenal karena kedekatan dengannya dianggap dapat memberikan popularitas.
Wulan bukanlah sosok yang mudah untuk didekati, apalagi dimiliki dengan tulus. Hal ini disebabkan oleh kepribadiannya yang terkenal jutek dan sulit diajak serius saat berbicara. Dia tampak seperti pria yang tidak memedulikan hubungan atau perasaan, sebuah karakter yang membuatnya tampak tangguh di mata banyak orang.
Bahkan teman-teman satu tongkrongannya sering menyatakan cinta kepadanya, tetapi semua itu tidak pernah mendapat respons darinya. Wulan tidak menunjukkan minat untuk menjalin hubungan asmara. Semakin hari, semakin banyak pria yang mendekatinya, mulai dari yang sudah mapan hingga pengangguran. Mereka semua berlomba-lomba untuk mendapatkan hatinya, namun hasilnya tetap nihil.
Usaha mereka selalu gagal. Wulan tidak bisa dipikat dengan cara-cara sederhana yang biasanya berhasil untuk perempuan lain—seperti gombalan manis atau sekadar ajakan jalan-jalan. Dia adalah tipe wanita yang tidak tertarik pada iming-iming materi ataupun hadiah apa pun. Sebagai seseorang yang sudah terbiasa mencari uang sendiri, ia merasa semua itu tidak istimewa. Apa pun yang ditawarkan oleh pria, ia bisa membelinya dengan usahanya sendiri.
Karena sering ditolak, beberapa pria mulai merasa kesal hingga marah-marah, bahkan berani mengancam Wulan. Namun, sikap ini pun tak membuatnya gentar. Baginya, semua ancaman itu tak lebih dari angin lalu. Lama kelamaan, semakin banyak pria yang datang ke rumahnya atau menghubungi nomor teleponnya—orang-orang asing yang bahkan tidak dikenalnya. Situasi ini mulai membuat Wulan jengah dan terganggu.
Akhirnya, karena merasa risih, Wulan memutuskan untuk merespons mereka semua dan bertanya apa sebenarnya yang mereka inginkan. Walau begitu, dari sekian banyak pria tersebut, Wulan menyadari bahwa sebagian besar hanyalah laki-laki hidung belang. Mereka berpikir semua wanita bisa dibeli dengan uang dan dianggap murah untuk diperlakukan sesuka hati.
Awalnya, Wulan hanya ingin memberi pelajaran pada para pria itu agar kapok. Namun, lambat laun hal ini berubah menjadi sesuatu yang membuatnya candu. Ia mulai memanfaatkan mereka semua dengan tetap mempertahankan gaya bicara yang cuek dan dingin. Ironisnya, pria-pria itu tetap memberinya apa pun yang ia minta. Jika kebetulan ada pria yang bersikap sombong atau berpikir dirinya sangat superior, Wulan akan memanfaatkan mereka hingga menguras habis isi dompetnya. Pada akhirnya, setelah sadar telah dimanfaatkan, mereka pun pergi meninggalkan Wulan dengan perasaan kecewa.
Wulan dikenal cerdik memanfaatkan laki-laki yang mendekatinya. Ia hanya bersedia diajak pergi jika itu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya, terutama berbelanja. Tak ada satu pun laki-laki yang mampu menipu atau memaksanya melakukan sesuatu di luar keinginannya. Bahkan dengan berbagai alasan, Wulan selalu bisa mengetahui jika ada niatan buruk.
Setiap hari, pria-pria berbeda datang menjemputnya, membelikannya apa saja yang ia minta, lalu mengantarnya pulang. Tak ada pria yang dapat bertindak lebih dari itu. Hal ini membuat keluarganya bingung karena banyak barang dan bahan makanan masuk ke rumah tanpa jelas sumbernya. Mulai dari pegawai, mandor, polisi, tentara, anak motor, hingga pedagang sayur dan buah, semuanya pernah tercatat sebagai 'korban' kebaikan mereka kepada Wulan. Bahkan untuk membeli alat makeup atau kebutuhan lain, ia tak perlu bersusah payah. Uang pun selalu tersedia tanpa merisaukannya.
Pada masa itu, tren motor gede (MOGE) sedang ramai. Banyak laki-laki menggunakan kendaraan ini untuk menarik perhatian wanita. Motor mahal menjadi simbol populer di kalangan anak muda, dan wanita yang berhasil mendapatkan pria bermotor gede dianggap lebih berprestise.
Suatu hari, temannya menantang Wulan untuk taruhan siapa yang bisa mendapatkan pria dengan motor gede terbanyak. Wulan menyanggupi tantangan tersebut. Namun, sebelum ia mencari mereka, para pria itu justru datang sendiri. Hampir setiap saat ada pria dengan motor besar bergantian menjemputnya, sampai membuat para tetangganya merasa terganggu.
Bahkan setelah menjadi janda, situasi tak berubah. Wulan tetap menarik perhatian banyak pria tanpa alasan jelas. Meski tak merasa dirinya sangat cantik, kenyataan bahwa banyak pria mendekatinya tetap membuat tetangga iri dan membicarakannya. Wulan sendiri hanya bisa bingung kenapa hal ini terus terjadi seolah-olah dunia berputar di sekitar dirinya.
Wulan adalah seorang wanita yang memiliki masa lalu cukup berat sebagai seorang janda. Sampai-sampai, ada pria-pria yang sudah beristri tetap mendekatinya dengan niat untuk menjadikannya istri kedua. Namun, Wulan selalu menolak, bahkan tak jarang ia mengabaikan mereka. Dalam pikirannya, pria-pria tersebut hanya datang karena nafsu semata, bukan dengan niat tulus untuk menjalin hubungan yang serius, apalagi mengingat statusnya sebagai seorang janda.
Meski begitu, tak jarang statusnya malah membuat Wulan dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Para pria yang terus mengejarnya pun hanya bertindak berdasarkan nafsu belaka. Wulan, di sisi lain, pernah memanfaatkan situasi ini hingga akhirnya para pria itu merasa lelah dan dirugikan.
Perilaku Wulan ini akhirnya terungkap oleh ayahnya. Ayahnya mulai curiga karena sering melihat anaknya membawa uang atau makanan tanpa alasan yang jelas. Ia pun menyadari bahwa semua itu didapat dari pria-pria yang menyukai Wulan. Sang ayah kerap memberinya nasihat, "Kalau tidak suka, jangan memanfaatkan orang lain. Nanti kamu kena karma."
Kata-kata sang ayah terus terngiang di benaknya. Hal itu membuat Wulan perlahan menjauhi para pria yang sebelumnya dimanfaatkannya karena takut akan karma dari perbuatannya. Namun, melihat perjuangan Wulan bekerja keras setiap hari, ayahnya merasa iba. Ia menginginkan anaknya menemukan pendamping hidup dan menyerahkan hidupnya untuk menjadi seorang ibu rumah tangga saja.
Harapan sang ayah justru membuat Wulan semakin merasa terbebani. Bukan karena tidak mau mencari pasangan baru, tetapi trauma masa lalunya terus menghantuinya. Luka dari pengalaman tersebut sengaja ia kubur dalam-dalam agar bisa fokus menjalani hidup demi masa depan anaknya. Namun, desakan sang ayah justru membuka kenangan pahit itu kembali, mengingatkan mengapa ia merasa enggan untuk menikah lagi.
Meski banyak pria yang tertarik dan ingin serius menjalani hubungan dengannya, Wulan tetap ragu. Bahkan ayahnya sempat memperkenalkannya kepada beberapa rekan kerjanya, namun hal itu tak mengubah pikiran Wulan. Selain dirinya yang merasa belum siap, anaknya pun menjadi penghalang besar untuknya membuka hati. Sang anak tidak pernah mau dekat dengan pria mana pun selain sosok almarhum ayah kandungnya, yang pernah merawatnya sejak kecil. Saat Wulan mencoba sekadar berbicara dengan teman laki-laki di luar rumah, anaknya sering menunjukkan ketidaksukaan dan mengajaknya segera pergi. Seolah anak itu paham bahwa ia harus melindungi ibunya agar tidak tersakiti lagi seperti sebelumnya.
Cobaan tak berhenti di situ. Ketika menjadi single parent, Wulan harus menghadapi berbagai masalah di dalam kehidupannya. Kondisi keuangannya memburuk saat sang ibu jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Biaya pengobatan dan kebutuhan keluarga terus menipiskan tabungannya. Keadaan semakin sulit ketika Wulan kehilangan pekerjaannya akibat ulah pihak yang tak bertanggung jawab. Demi mencukupi kebutuhan hidup, ia sempat mencoba peruntungan di bidang balapan dan menjadi peserta kontes motor, namun akhirnya hal itu juga terhenti karena meningkatnya razia pada saat itu.
Dengan keadaan keuangannya yang semakin menipis sementara kebutuhan susu dan makanan anak terus ada, Wulan merasa kebingungan di tengah kesulitan mencari pekerjaan menjelang waktu Idul Fitri yang hanya tinggal dua bulan lagi. Di tengah keterpurukannya, muncul kesadarannya untuk tidak lagi memanfaatkan lelaki demi materi. Terlebih lagi, ia tidak rela menggunakan uang semacam itu untuk anaknya karena ingin menjaga kemurnian kehidupan sang buah hati.
Seiring waktu berjalan, Wulan mulai fokus mencari pekerjaan yang menghasilkan rezeki halal demi anaknya. Salah seorang temannya sempat memberikan saran terkait bakat baru yang bisa digali olehnya. Ternyata, salah satu pamannya memiliki grup musik dan menyarankan Wulan untuk mencoba bernyanyi. Walau awalnya kurang percaya diri dan tidak memiliki pengalaman tampil di panggung, paman Wulan melihat potensi yang besar dalam dirinya. Paman tersebut melatih vokalnya dengan beragam genre seperti dangdut, pop, hingga gambus, dan ternyata suara Wulan cocok untuk berbagai jenis musik tersebut.
Paman Wulan menyadari bahwa masalah utama yang perlu diatasi sebenarnya hanyalah kepercayaan diri. Oleh karena itu, ia terus memberikan dukungan kepada Wulan agar berani mencoba tampil di hadapan penonton dan menunjukkan bakatnya kepada dunia. Masa depan memang belum jelas baginya, namun perjalanan Wulan menghadapi berbagai ujian hidup telah membuat
Jika semua yang dilakukan masih halal dan demi kebaikan anaknya, Wulan tetap menjalaninya dengan penuh dedikasi. Pada masanya, Wulan berkeliling dari panggung ke panggung, menyanyi dengan segala kemampuan hingga ia mahir menyanyikan berbagai lagu dalam beragam bahasa. Syukurnya, ia selalu dikelilingi oleh orang-orang baik, mendapatkan hasil luar biasa yang dapat ia bawa pulang untuk keluarga.
Seiring perjalanan waktu, jadwal menyanyi Wulan makin padat. Ia bersyukur karena pekerjaan ini dapat membantu memenuhi kebutuhan anak dan keluarganya. Namun, setelah sebulan bernyanyi, Wulan mulai menghadapi kebingungan. Pekerjaan menyanyi mulai sepi, tidak ada lagi tawaran panggung, apalagi mendekati masa Lebaran di mana acara pernikahan pun menjadi jarang.
Merasa cemas dan bingung, Wulan mulai memikirkan bagaimana cara mendapatkan penghasilan, terutama menjelang Lebaran. Meski sedang berpuasa, ia tetap mencari pekerjaan untuk membiayai kebutuhan anak dan keluarganya. Sepanjang waktu, Wulan selalu memprioritaskan mereka di atas dirinya sendiri.
Dalam usahanya mencari pekerjaan, Wulan bertanya kepada teman-temannya tentang lowongan yang tersedia, walaupun harus bekerja jauh dari rumah. Salah seorang temannya memberitahukan bahwa ada posisi kosong di tempat kerjanya—sebagai penyanyi—dengan gaji bulanan serta disediakan mes sebagai tempat tinggal. Setelah berdiskusi dengan keluarganya, Wulan memutuskan untuk menerima kesempatan tersebut.
Berbekal keberanian, ia berangkat untuk pertama kalinya ke Jakarta Timur untuk melamar pekerjaan itu. Dengan bantuan temannya, ia dibawa langsung menemui pemilik usaha. Tak lama berselang, Wulan diterima bekerja dan mendapatkan tempat tinggal di mes yang disediakan. Di lokasi kerja barunya inilah cerita hidupnya berubah. Ia bertemu seorang pria yang hingga kini membuatnya bertanya-tanya mengapa ia bisa begitu cepat menerima kehadiran pria tersebut dalam hidupnya.
Wulan bekerja sebagai penyanyi untuk menghibur para pengunjung di sebuah kafe. Di sana, rekan-rekan kerjanya banyak yang juga memiliki kemampuan menyanyi. Tetapi Wulan berhasil mencuri perhatian sejak awal karena pengalamannya di panggung yang membuatnya tahu lagu apa saja yang cocok untuk situasi semacam itu. Banyak pengunjung menyukai penampilannya, bahkan memberikan uang tips di hari pertama ia bekerja.
Namun, kesuksesan itu juga menghadirkan rasa iri dari beberapa orang di tempat kerja. Wulan tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut karena ia merasa hanya melakukan pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa niat untuk menarik perhatian tertentu. Ia tidak pernah mendekati tamu secara langsung; justru para pengunjunglah yang menghampirinya dan memberikannya apresiasi.
Hari demi hari, Wulan semakin dikenal oleh pengunjung kafe. Meski ada banyak penyanyi lain, orang-orang tetap memilihnya karena kemampuannya menyanyikan berbagai macam genre lagu: dari lagu daerah seperti Batak, Papua, Aceh hingga lagu-lagu internasional berbahasa Inggris. Bakatnya yang luas ini menjadi pembeda di tengah para pemandu nyanyi lainnya.
Namun, kesuksesannya juga datang dengan tantangan berupa persaingan di tempat kerja. Bagi Wulan, selama masih dalam batas normal dan ia tetap profesional dalam bekerja, tak ada yang perlu ia takuti. Ia terus fokus menjalani pekerjaan tanpa memedulikan pandangan negatif dari rekan-rekannya.
Hingga suatu malam, pria yang membuat hatinya terpikat muncul untuk pertama kalinya. Pria itu rutin mengunjungi kafe tersebut dan mulai memperhatikan Wulan dari jauh. Bos kafe kemudian mengenalkan mereka satu sama lain sambil memuji suara indah Wulan yang dianggap dapat diajak berduet. Momen ini menjadi awal pertemuan mereka dan petualangan baru dalam kehidupan Wulan.
Wulan dipanggil untuk bertemu dengan seorang pria bernama Heru. Bosnya memperkenalkan Heru sebagai tamu termuda yang sering datang ke kafe tersebut. Saat mendekati Heru, Wulan duduk di sampingnya dan berkenalan. Namun, ketika Wulan menyapa, pria itu hanya diam dan tampak acuh pada kehadirannya.
Wulan merasa Heru berbeda dari tamu-tamu yang biasa ia temui sebelumnya. Biasanya, pria yang datang ke kafe sering kali genit dan memiliki maksud tertentu dalam berkenalan. Namun, Heru dengan sikap dinginnya hanya duduk dan tidak menunjukkan sikap yang berlebihan. Ini membuat Wulan berpikir kalau Heru adalah pria baik yang mampu menghormati wanita.
Di antara keheningan, Heru tiba-tiba berbicara dan bertanya kepada Wulan, "Eh, namamu siapa?" tanpa sedikit pun menoleh. Mendengar pertanyaan itu, Wulan segera menjawab, "Aku Wulan!" jawabnya singkat. Setelah mendengar jawaban Wulan, Heru mengajaknya untuk berpindah tempat duduk ke lokasi yang lebih luas.
Wulan mengikuti permintaannya dan pindah ke tempat baru. Saat mereka duduk, Heru memanggil seorang petugas keamanan yang juga temannya di kafe, meminta tolong untuk dibelikan camilan. Tak lama kemudian camilan itu datang, dan Heru menyuruh Wulan untuk mencicipinya. Wulan merasa bingung sekaligus aneh dengan perlakuan Heru yang berbeda dari tamu lainnya.
Biasanya, tamu-tamu yang dia temui sering bertingkah agresif dan kurang menghargainya, sehingga membuatnya trauma atau takut menghadapi mereka. Namun, Heru tidak sama seperti itu. Ia tidak pernah menyentuh Wulan atau bersikap kasar, bahkan berbicara dengannya pun jarang. Hal ini membuat Wulan kebingungan tentang bagaimana harus melayani tamu seperti Heru. Ketika Wulan mencoba mengajaknya berbicara, Heru sering kali hanya membalas dengan sangat lambat atau bahkan tidak menjawab sama sekali karena ia sibuk menatap layar ponselnya.
Wulan sempat merasa serba salah dan takut salah tingkah jika terus mencoba berbicara dengannya. Namun tiba-tiba, Heru memasukkan ponselnya ke dalam tas dan mulai melirik ke arah Wulan sebelum membuka obrolan. Ia bertanya, "Kamu udah lama kerja di sini?" masih dengan pandangan yang tidak langsung menatap Wulan.
"Belum, aku baru kerja di sini, baru dua minggu," jawab Wulan.
Heru menanggapi, "Oh, pantas saja aku baru lihat kamu."
"Iya, aku memang baru. Kamu orang sini asli?" tanya Wulan.
"Aku asli Bekasi. Kalau kamu?" tanya Heru kembali.
"Aku dari Karawang, Bogor," balas Wulan. Percakapan pun mulai mengalir dengan santai. Mereka menikmati minuman yang dipesan sambil terus berbincang ringan.
Tak lama kemudian, Heru yang awalnya tampak dingin tiba-tiba mengajak Wulan untuk bernyanyi dan berduet dengannya. Awalnya biasa saja, tetapi saat melihat Wulan mampu mengikuti lirik lagu yang ia pilih, ekspresi dingin Heru mulai berubah. Ia terlihat mulai menyukai keberadaan Wulan dan semakin ramah dalam interaksinya.
Sikap juteknya berubah menjadi lebih ramah, bahkan sesekali ia mencoba melucu di depan Wulan. Malam itu, ia merasa senang dan menikmati waktunya bersama Wulan yang melayaninya dengan sangat baik. Hingga fajar tiba, tanda waktu kerjanya selesai, Heru segera membayar minuman dan menemui Wulan.
Heru memberikan tip pada Wulan dan mengajaknya makan sebelum pulang ke mes kerja. Setelah meminta izin pada atasannya, Wulan mengikuti Heru ke sebuah tempat makan. Namun, sesampainya di sana, ia terkejut melihat Heru sudah duduk dengan banyak wanita lainnya, yang ternyata rekan kerja Wulan sendiri.
Wulan awalnya mengira Heru sosok bertanggung jawab, tapi pandangannya berubah. Ia merasa Heru bukan pria setia karena dikelilingi banyak wanita. Meski tidak nyaman, Wulan terpaksa duduk bersama mereka. Heru lalu meminta Wulan memesan makanan, tetapi ia kehilangan selera karena melihat para wanita itu bermesraan dengan Heru demi uang.
Perasaan jijik membuat Wulan segera menyelesaikan pesanannya dan meminta izin untuk pulang. Ia merasa tidak nyaman berada di situasi tersebut, terutama dengan wanita-wanita yang terus merajuk pada Heru demi uang. Akhirnya, Wulan memutuskan kembali ke tempat kerjanya dan meninggalkan tempat itu.
Wulan pulang kerja tanpa merasa tenang, bahkan sulit tidur, pikirannya masih terganggu oleh apa yang dilihatnya. Ia heran melihat seorang wanita di tempat umum bermesraan demi uang, yang menurutnya tidak sebanding dengan harga diri. Wulan akhirnya mencoba membiasakan diri dengan situasi seperti itu, menganggapnya sudah menjadi bagian dari kehidupan di kota, lalu berusaha tidak memikirkannya lagi.
Keesokan harinya, saat bekerja, bos Wulan tiba-tiba memanggilnya masuk ke dalam kafe. Ia merasa terkejut dan cemas karena tempat itu masih sepi—belum banyak tamu, juga teman-temannya masih berada di luar. Rasa takut semakin muncul karena setiap kali melayani tamu pria, ia sering merasa tidak dihargai. Jadi, Wulan ragu-ragu saat mendekati meja yang ditunjuk bosnya.
Setibanya di meja, ternyata tamunya adalah Heru. Wulan merasa lega melihatnya karena mengenalnya dari pertemuan sebelumnya. Ia menjabat tangan Heru dan menanyakan kabarnya. Kali ini, kesannya lebih baik daripada pertama bertemu, meski ia tetap waspada karena menganggap Heru memiliki banyak kenalan wanita. Ia khawatir dirinya hanya akan menjadi target berikutnya.
Seiring malam berlalu, mereka semakin menikmati suasana. Heru memesan banyak lagu untuk dinyanyikan, dan Wulan mendapati dirinya larut dalam perbincangan ringan dengannya. Heru sesekali tertawa dan terlihat lebih santai, membuat suasana terasa menyenangkan.
Namun, ketika Wulan sudah sedikit terpengaruh alkohol, Heru menantangnya untuk minum minuman paling mahal di tempat itu. Ia berjanji akan memberikan tip besar jika Wulan menerima tantangannya.
Wulan yang awalnya ragu, akhirnya menerima tantangan dari Heru saat itu. Padahal, ia sama sekali tidak tahu jenis minuman apa yang akan ia konsumsi, bahkan sekadar melihat bentuknya pun belum pernah, apalagi merasakannya. Ketika minuman mahal itu tiba di atas meja, dari bentuk botolnya yang terlihat mewah, Wulan mulai merasa gugup dan takut, khawatir jika dirinya mabuk berat setelah meminumnya.
Namun, karena situasi pekerjaannya, ia terpaksa menuruti tantangan tersebut. Botol pun dibuka, dan dari tuangan pertama ke gelas, tidak ada sesuatu yang aneh terjadi pada Wulan. Tapi tanpa ia sadari, tiba-tiba ia sudah berada di mes tempat ia bekerja. Saat mengenang kejadian itu, semuanya terasa samar. Belakangan baru ia sadari bahwa dirinya ternyata benar-benar mabuk berat hingga harus dibantu oleh seorang teman untuk menggantikannya.
Kondisi itu membuat Wulan tidak sepenuhnya sadar. Ketika akhirnya ia bangun, rasa pusing yang sangat berat masih menyelimuti kepalanya dan ia sama sekali tidak mampu mengingat dengan jelas apa yang terjadi malam itu. Seiring waktu, potongan-potongan ingatan mulai muncul, mengingatkannya pada peristiwa tersebut. Merasa dimainkan oleh Heru, Wulan memutuskan untuk menghindari pria itu selamanya. Ia bahkan berjanji tidak akan lagi menemaninya di tempat kerja jika Heru datang kembali. Keputusan itu diambil demi menjaga dirinya sendiri dari pengalaman serupa dan hal-hal tak diinginkan lainnya.
Namun anehnya, setelah peristiwa itu Heru tidak pernah lagi muncul di tempat hiburan tersebut. Pada awalnya Wulan enggan memikirkan Heru, tapi semakin lama ia merasa heran dengan ketidakhadiran pria itu. Suatu hari, Wulan teringat bahwa Heru sempat menuliskan nomornya untuk dihubungi bila diperlukan. Dengan penasaran, ia menghubungi nomor tersebut. Sayangnya, tidak ada jawaban sama sekali, bahkan hingga keesokan harinya ketika Wulan terus mencoba berkirim pesan.
Hal ini membuat Wulan mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia yang selama ini tidak pernah mendekati atau menghubungi laki-laki lebih dulu, tiba-tiba rela mencari tahu keberadaan Heru dengan mengirimkan banyak pesan dan mencoba meneleponnya beberapa kali. Meskipun Wulan mengetahui nomor Heru aktif dan pria itu terlihat menggunakan nomornya, Heru tetap tidak merespons sama sekali. Rasa penasaran Wulan terus membayanginya; ia terus mencoba menghubungi Heru meski tidak ada tanggapan sedikit pun.
Tanpa disangka-sangka, suatu hari Heru akhirnya memberi kabar dengan membalas pesan-pesan Wulan. Perasaan senang langsung menyelimuti hati Wulan saat melihat pesan tersebut. Ia pun tak ragu membalas setiap pesan dari Heru meski gaya bicara pria itu tetap dingin dan terkesan cuek. Anehnya, Wulan mulai merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Heru. Ia merasa nyaman berbicara dengannya dan tanpa sadar mulai menantikan kabar darinya, tanpa peduli bagaimana sikap dingin yang ditunjukkan Heru.
Seiring berjalannya waktu, komunikasi di antara keduanya pun semakin intensif. Hingga suatu hari, Wulan memberanikan diri meminta Heru untuk datang ke tempat kerjanya menemani dirinya agar merasa lebih tenang dan tidak takut menghadapi tamu baru yang belum ia kenal sifatnya. Namun, Heru dengan alasan sedang sibuk menolak permintaan tersebut. Meskipun kecewa, Wulan hanya bisa mengiyakan jawaban itu dan membiarkan percakapan mereka berhenti sejenak.
Malam pun tiba dan Wulan kembali bekerja seperti biasa. Di tengah malam, Heru tiba-tiba mengirimkan pesan balasan yang membuat Wulan merasa senang dan berharap bahwa pria itu akan berubah pikiran dan datang menemuinya di tempat kerja. Namun, saat pesan itu dibuka, harapan Wulan seketika runtuh setelah membaca isi pesannya. Dalam pesan tersebut, Heru mengatakan bahwa dirinya sudah berada di dekat tempat kerja Wulan, tetapi memilih ditemani oleh pemandu lain terlebih dahulu.
Wulan terpaku melihat pesan itu, hatinya mendadak penuh kecewa dan terluka. Entah mengapa tubuhnya terasa lemas, pikirannya kacau, apalagi mengetahui bahwa Heru memilih ditemani wanita lain selain dirinya. Tidak lama, Heru melintas di depan Wulan yang tengah duduk. Ia tampak menggandeng seorang wanita pemandu yang dijadikannya teman malam itu.
Melihat itu, hati Wulan dipenuhi kebencian. Ia enggan memandang Heru, perasaan kecewa dan marah begitu membuncah hingga membuatnya tak ingin membalas pesan dari pria itu. Meski Heru menyadari pesannya tidak mendapat balasan dan mencoba mengirimkan permohonan maaf, bagi Wulan, hatinya sudah telanjur sakit. Ia mengabaikan Heru dan memutuskan untuk tidak peduli lagi.
Tak lama kemudian, aku datang menemani seorang tamu muda, jauh lebih muda dibanding Heru. Sementara itu, Wulan menangkap pemandangan Heru yang asyik bercengkerama dengan pemandu lainnya. Perasaan marah dan kecewa kembali menyeruak dalam dirinya. Di benaknya, semua laki-laki tampak sama: tidak ada yang benar-benar setia. Meskipun begitu, Wulan tetap menjalankan tugasnya melayani tamu mudanya dengan sikap profesional di malam itu.
Di tengah suasana tersebut, Wulan secara sengaja menunjukkan kemesraannya dengan tamu barunya, yang ternyata diam-diam menarik perhatian Heru. Ia terus mengawasi Wulan yang bernyanyi dengan penuh keceriaan, sementara tamu-tamu lain antusias memberikan saweran. Heru tampak tidak senang, tatapannya tertuju penuh pada sosok Wulan. Hingga akhirnya waktu kerja selesai dan Wulan bersiap untuk pulang setelah berganti pakaian.
Saat hendak meninggalkan tempat kerja, tiba-tiba Heru memanggilnya dengan nada santai.
"Hei, ke sini," ucap Heru sambil menatap Wulan.
Dengan langkah mantap Wulan menghampiri, menjawabnya dengan dingin, "Ada apa?"
"Ayo ikut makan dulu," kata Heru mengajak.
Namun Wulan yang masih diliputi kekecewaan hanya menolak ajakan itu. Ia tahu bahwa bukan hanya dirinya yang diajak makan oleh Heru malam itu, tapi juga beberapa wanita lain. Keputusan itu kian mempertegas hatinya untuk tidak menerima tawaran tersebut. Tanpa banyak kata lagi, Wulan berbalik dan langsung pergi menuju mes untuk mengakhiri malam yang penuh rasa pahit.
Sesampainya di mes, Heru tiba-tiba mengirim pesan kepada Wulan, sesuatu yang jarang ia lakukan. Isi pesannya berbunyi, “Kamu marah ya? Karena aku tadi ditemani orang lain?” Wulan memilih untuk tidak membalas dan mengabaikannya, menunjukkan sikap tak peduli. Heru yang merasa tak direspons, semakin sering mengirim pesan dan aktif mengomentari status Wulan di media sosial.
Heru bahkan melarang Wulan mempublikasikan status yang dianggap terlalu mencolok atau mengandung tulisan kasar. Meski begitu, Wulan tetap diam atau membalas dengan kata-kata dingin dan ketus. Sikap sinis Wulan berlanjut hingga akhirnya Heru datang langsung ke tempatnya, meminta ia menemaninya malam itu. Wulan merasa malas dan ingin menolak, namun karena baru bekerja, ia takut menimbulkan masalah. Akhirnya, ia menemui Heru dengan ekspresi biasa saja, jauh berbeda dari awal pertemuan mereka.
Interaksi mereka berubah. Heru bersikap canggung, sementara Wulan dingin dan ketus. Heru pun menyadari perubahan sikap Wulan, menganggapnya menjadi aneh dan berbeda. Ia mencoba bicara, “Kenapa kamu diam saja dan jutek ke aku? Pesan-pesanku tidak ada yang kamu balas. Aku salah apa?”
Wulan hanya menjawab sinis, “Nggak ada apa-apa, aku masih seperti ini. Memangnya kenapa dengan sifatku?” Heru lalu mencoba membujuk, “Pasti karena aku ditemani pemandu lain waktu itu. Jadi kamu marah sama aku? Kan aku sudah izin sama kamu.”
Namun Wulan menanggapinya tanpa emosi, “Buat apa aku marah? Lagian kamu tamu, bebas memilih. Apa alasannya aku harus marah? Kita kan bukan siapa-siapa.”
Saat itu Heru mulai menyadari bahwa Wulan tampaknya memiliki perasaan terhadapnya. Perubahan ini membuat sikap Heru menjadi berbeda, sementara Wulan yang biasanya tampak santai, kini memunculkan kesan canggung yang semakin meyakinkan Heru tentang perasaannya.
Hari-hari berlalu. Heru semakin sering memberi kabar, bahkan ia menjadi lebih perhatian dibanding sebelumnya. Sikap yang biasanya dingin dan sulit untuk sekadar membalas pesan tiba-tiba berubah menjadi intens, seolah waktu-waktunya selalu diluangkan untuk Wulan. Tidak jarang Heru menelepon hanya untuk bertanya kabar. Namun, reaksi dingin Wulan yang terlihat biasa saja justru membuat Heru semakin penasaran. Bahkan, Heru mulai sering mendatangi tempat kerja Wulan dengan dalih ingin memantau, meski hal ini sering kali membuat Wulan merasa serba salah dan kebingungan.
Dengan kunjungan-kunjungan yang semakin sering, sikap Heru pun mulai berubah. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, ia tiba-tiba muncul di tempat kerja Wulan tanpa alasan jelas. Hal ini membuat Wulan sering kali dimarahi oleh Heru, meski dirinya merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Sebagai seorang pekerja yang berusaha melakukan tugasnya dengan baik dan sewajarnya, Wulan merasa bingung dengan sikap Heru yang suka marah tanpa alasan jelas, bahkan kadang tidak segan-segan melontarkan kata-kata yang menyakitkan.
Perilaku Heru ini semakin hari membuat Wulan tidak nyaman. Meski mereka tidak memiliki hubungan apapun, sikap mengatur dan amarah yang tidak jelas dari Heru membuat Wulan akhirnya memutuskan untuk menjauh darinya. Demi fokus pada pekerjaannya dan anaknya, Wulan menghapus nomor Heru dari ponselnya dan memilih untuk menjaga jarak.
Mengetahui bahwa nomornya telah diblokir, Heru mencoba menghubungi Wulan menggunakan nomor baru. Ia meminta agar blokiran tersebut dibuka seraya memohon penjelasan atas tindakan Wulan menjauhinya. Namun, Wulan tetap memilih untuk tidak meresponnya dan akhirnya memblokir nomor baru Heru.
Merasa frustrasi dengan situasi tersebut, Heru memutuskan untuk menemui Wulan langsung di tempat kerjanya. Kebetulan saat itu Wulan tengah menemani tamu di dalam ruangan, sehingga Heru harus masuk ke tempat tersebut tanpa kehadiran Wulan. Di dalam kafe itu, Heru juga sering kali enggan ditemani pemandu lain dan memilih untuk sendirian. Sesekali ia hanya memperhatikan Wulan dari kejauhan saat sedang bekerja. Menyadari kehadiran Heru yang terus memantau dirinya, Wulan sengaja membuatnya marah untuk mendorongnya berhenti mengikuti setiap langkahnya.
Wulan tiba-tiba bernyanyi dan bergoyang dengan tamunya, membuat Heru yang melihatnya marah dan langsung pergi keluar. Menyadari Heru pergi, Wulan kembali bersikap dingin dan melayani tamu seadanya. Setelah selesai bekerja, Heru memanggil Wulan, meminta waktu bicara, dan menyuruhnya naik ke motor.
Awalnya Wulan menolak, tapi Heru bersikeras hingga akhirnya ia setuju. Heru membawanya ke suatu tempat untuk berbicara serius. Ia bertanya kenapa Wulan seperti sengaja membuatnya marah setiap kali datang memantau. Wulan hanya diam, menyadari perasaan Heru. Perlahan mereka kembali akrab dan semakin dekat.
Seiring kedekatan itu, Heru sering meminta Wulan berhenti dari pekerjaannya, merasa tempat tersebut kurang baik untuknya. Namun, Wulan menolak karena masih membutuhkan penghasilan. Heru, yang semakin serius dengan perasaannya, akhirnya meminta dikenalkan kepada orang tua Wulan.
Wulan membawa Heru ke rumah dan mengenalkannya pada keluarga. Mengejutkan, keluarganya yang biasanya sulit menerima pria, justru mendukung mereka dan meminta agar hubungan segera dilanjutkan ke pernikahan. Wulan bingung dengan respons positif itu. Bahkan anak kecil di keluarga Wulan, yang biasanya malu atau takut pada orang asing, justru akrab dengan Heru.
Tanpa menunggu lama, Heru membawa keluarganya dan resmi melamar Wulan. Semua berjalan lancar dan menakjubkan bagi Wulan, seolah mimpi. Tapi ini kenyataan—Heru benar-benar serius. Pernikahan pun dilangsungkan dengan cepat, menjadikan mereka pasangan suami istri yang tak terduga berjodoh di tempat yang kurang baik.
Setelah menikah, hubungan mereka berjalan bahagia. Heru berubah menjadi pria bertanggung jawab, meninggalkan tempat hiburan malam dan kebiasaannya yang buruk. Mereka hidup bersama dalam kebahagiaan dan kasih sayang bersama anak mereka.
