Pesugihan Gunung Kelud

Pesugihan Gunung Kelud


Pada zaman dahulu di Jawa Timur, terdapat sebuah tempat yang terkenal dengan Gunung Kelud. Mitos yang beredar menyebut lokasi tersebut sebagai tempat pesugihan yang menjadi bahan pembicaraan hangat di berbagai kalangan. Konon katanya, tempat itu dijaga ketat oleh banyak makhluk halus. Banyak wisatawan lokal maupun asing yang tersesat dan bahkan kehilangan nyawa apabila berani masuk ke wilayah gunung tersebut tanpa menunjukkan rasa hormat atau meminta izin.

Inilah kisahnya.

Suatu hari, di Jawa Timur, hiduplah sebuah keluarga yang mengalami kemiskinan luar biasa dibandingkan warga desa lainnya. Kepala keluarga tersebut adalah Pak Joyo, seorang pria yang tinggal bersama istrinya, Martiem, serta kedua anak mereka, Nawi yang berusia lima tahun dan Nawang yang baru berusia tiga bulan kala itu. Mereka tinggal di sebuah gubuk sederhana yang berada jauh dari pemukiman warga lainnya, tepat di kaki gunung.

Kesulitan hidup membuat keluarga Pak Joyo sering kali tidak bisa makan. Demi bertahan hidup, ia bekerja keras mencari tumbuhan liar dan buah-buahan di sekitar kaki gunung untuk menyambung hidup keluarganya. Kemiskinan yang berkepanjangan membuatnya memiliki niatan untuk pergi ke kota mencari pekerjaan agar dapat memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya. Namun, ia merasa berat meninggalkan istri dan kedua anaknya, terutama Nawang yang masih bayi. Ia khawatir mereka akan kesulitan menjalani hari-hari tanpa dirinya.

Pak Joyo terjebak dalam dilema. Jika ia tetap diam dan tidak berbuat apa-apa, keluarganya akan terus berada dalam kemiskinan dan anak-anaknya tidak akan mendapatkan gizi yang cukup. Dengan rasa berat hati, akhirnya ia meminta izin kepada sang istri untuk pergi ke kota mencari pekerjaan demi mengubah nasib keluarganya.

Pagi itu, meskipun awalnya sempat melarang, istri Pak Joyo akhirnya memberi izin bagi suaminya untuk pergi ke kota. Ada kekhawatiran yang tersirat, tetapi apalah daya, keputusan sudah dibuat. Pak Joyo memutuskan akan berangkat esok pagi dengan satu tujuan: mencari pekerjaan. Ia berjanji kepada istrinya bahwa begitu mendapatkan uang, ia akan kembali secepat mungkin.

Dengan berat hati, istrinya menyetujui rencana itu. Sambil memendam rasa cemas, ia memilih percaya pada suaminya. Tak lupa, ia mendoakan yang terbaik untuk perjalanan Pak Joyo. Hatinya penuh harapan agar semua berjalan lancar.

Keesokan paginya, Pak Joyo mulai mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang ke kota. Waktu sangat berharga; jika terlalu lambat, perjalanan akan memakan waktu lebih lama, terlebih rute yang harus dilalui cukup berat. Desa mereka berada di kaki gunung yang jauh dari akses transportasi umum. Satu-satunya cara menuju kota adalah dengan berjalan kaki.

Setelah siap, Pak Joyo berpamitan kepada istri dan anak-anaknya. Penuh semangat bercampur haru ia berkata, “Bu, Bapak pamit ya. Doakan Bapak selamat di jalan dan cepat mendapatkan pekerjaan.” 

Mariem, istrinya, menahan kesedihannya sambil menjawab lembut, “Iya Pak, aku selalu mendoakanmu. Jaga dirimu baik-baik, hati-hati di jalan. Kalau sudah dapat pekerjaan, cepat kabari aku, ya.”

Pak Joyo pun menganggukkan kepalanya mantap. “Iya Bu, Bapak janji akan segera pulang begitu pekerjaannya didapat,” katanya meyakinkan. Sebelum pergi, ia berpamitan juga kepada kedua anaknya yang masih kecil. Dengan penuh kasih sayang, ia mencium mereka satu per satu, seolah berusaha menyimpan kenangan hangat itu di hati untuk membantunya melewati perjalanan yang tak mudah. 

Dengan langkah pasti, Pak Joyo mulai perjalanannya ke kota, membawa doa dan harapan keluarga tercinta. Ada tekad besar yang kini mengiringinya; usaha untuk mengubah nasib dan memberi kehidupan yang lebih baik untuk mereka semua.

Pada pagi buta, Pak Joyo berangkat berjalan kaki menuju kota. Sang istri dan anaknya turut mengantarnya hingga depan rumah, memberikan doa terbaik demi keberhasilan usaha Pak Joyo.

Perjalanan menuju kota bukanlah hal mudah bagi Pak Joyo. Rutenya menuntut pengorbanan besar, melewati jalan berbatu besar yang sulit dilalui, sungai yang menantang, serta hutan yang kerap kali terasa menyeramkan. Tak hanya itu, kehadiran hewan buas menjadi ancaman nyata jika ia tidak berhati-hati.

Di tengah perjalanan menuju kota, langkah Pak Joyo terhenti ketika ia melihat seorang wanita duduk di bawah pohon, menangis dengan penuh kesakitan. Pemandangan itu membuatnya terkejut dan waspada.

Tanpa sadar, Pak Joyo bergumam lirih sambil mengamati dari kejauhan. Ia mencoba mencari tahu apa yang terjadi, tetapi kebingungannya segera terjawab saat wanita tersebut mulai merengek meminta pertolongan.

Wanita itu berkata dengan suara lemah, memohon bantuan karena ia tersesat di tengah hutan dan mengalami kecelakaan hingga terjatuh. Tanpa ragu, Pak Joyo mendekati wanita tersebut meski dengan rasa takut yang menggelayuti pikirannya.

Pak Joyo bertanya dengan penuh kehati-hatian soal kondisi wanita dan alasannya berada di tempat itu. Wanita tersebut lantas menjelaskan bahwa ia butuh bantuan untuk diantar pulang ke rumahnya.

Meski merasa bingung, Pak Joyo berusaha menanggapinya. Namun, ia juga menjelaskan bahwa tujuan utamanya adalah menuju kota untuk mencari pekerjaan. Dengan nada ragu-ragu, ia mencoba mengetahui lokasi rumah sang wanita sebelum memutuskan tindak lanjut.

Di tengah kesejukan pagi di hutan, seorang wanita yang tersesat tampak berbicara dengan raut wajah sedih kepada Pak Joyo. Ia mengatakan bahwa jika Pak Joyo sedang terburu-buru, ia tidak perlu mengantarnya pulang. Wanita itu berencana meminta bantuan orang lain yang mungkin melintas di area tersebut.

Namun, rasa empati dan kasihan menyeruak di hati Pak Joyo. Ia merasa tak tega membiarkan seorang wanita tersesat sendirian di hutan. Meski sedikit ragu karena perjalanan dan tujuannya ke kota, Pak Joyo akhirnya memutuskan untuk membantu wanita itu pulang terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanannya.

Dengan sigap, ia menyampaikan, "Baiklah, Mbak. Saya akan antar." Pak Joyo membantu memapah dan merangkul wanita itu karena ia tampak kesulitan berjalan. Dalam perjalanan, Pak Joyo bertanya dengan nada ramah tentang lokasi rumahnya. Wanita itu menjawab bahwa rumahnya berada di ujung hutan, sebuah rumah kecil di pojok yang dihuni bersama simboknya.

Perjalanan semakin jauh masuk ke dalam hutan, namun Pak Joyo masih belum menemukan rumah yang dimaksud. Perasaan khawatir mulai hinggap di benaknya. Ia mulai cemas jika perjalanannya terlambat sehingga ia tak bisa sampai kota tepat waktu untuk melamar pekerjaan.

Dalam momen perjalanan itu, sang wanita kembali angkat bicara dengan senyum manis. Ia meminta maaf karena telah membuat Pak Joyo terlambat melanjutkan perjalanannya ke kota. Dengan hati besar, Pak Joyo menenangkan wanita itu sambil menceritakan alasan perjalanannya—ia mencari pekerjaan untuk memperbaiki kondisi hidup keluarganya yang berada dalam kesulitan.

Wanita itu mendengar kisah Pak Joyo dengan ekspresi iba sambil mengelus wajahnya dengan lirikan mata yang menggoda. Pak Joyo sesaat merasa terbuai oleh perhatian sang wanita. Namun, ia segera tersadar dan menolak halus dengan mengingatkan bahwa mereka bukanlah muhrim, apalagi ia sudah beristri.

Wanita tersebut pun terdiam sejenak, lalu meminta maaf atas tindakan lancangnya. Di sela percakapan, ia menawarkan bantuan kepada Pak Joyo. Wanita itu mengatakan bahwa keluarganya memiliki sebuah usaha kecil di kota yang dikelola oleh pamannya. Ia menawarkan pekerjaan kepada Pak Joyo agar tidak perlu jauh-jauh pergi mencari rezeki.

Mendengar tawaran tersebut, hati Pak Joyo berbinar penuh harap. Dengan penuh antusiasme, ia mengiyakan tawaran pekerjaan itu dan bertanya lebih lanjut tentang detailnya. Wanita itu menjelaskan bahwa hingga saat ini simboknya masih berada di kota bersama pamannya untuk berbelanja kebutuhan pribadi. Untuk sementara waktu, ia mempersilakan Pak Joyo tinggal di rumahnya sampai pamannya kembali.

Kegembiraan menyelimuti hati Pak Joyo. Ia merasa lega karena tidak harus berkelana jauh ke kota hanya untuk mencari pekerjaan. Tawaran ini menjadi peluang emas bagi dirinya dan keluarga yang sedang membutuhkan. Setuju dengan rencana wanita tersebut, keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju rumah sang wanita di ujung hutan. Segalanya terasa penuh harapan baru bagi kehidupan Pak Joyo ke depannya.

Tak lama berjalan, akhirnya pak Joyo sampai di tempat tujuan, sebuah rumah besar dan megah yang disebut-sebut oleh wanita itu. Dia terpana melihat ukuran dan keindahan rumah tersebut. 

"Walah, mbak, jadi ini toh rumahnya? Gusti... aku baru tahu ternyata di tengah hutan begini ada rumah sebesar ini. Jadi simbak ini orang kaya ya?" tanya pak Joyo dengan nada penuh rasa takjub.

Wanita itu hanya tersenyum malu sembari menjawab, "Ah, mas bisa saja. Saya ini cuma orang biasa kok, tidak jauh beda dengan mas. Saya hanya bosan tinggal di kota yang terlalu ramai. Kebetulan punya tanah di sini, jadi saya coba bikin rumah yang ternyata nyaman dan udaranya segar sekali, apalagi di pagi hari."

Pak Joyo mengangguk kagum, merasa senang sekaligus hormat dengan kerendahan hati wanita itu. "Oh ya, mbak, dari tadi saya panggil panjenengan terus 'mbak... mbak...', tapi saya belum tahu nama panjenengan siapa?"

Wanita itu tertawa kecil. "Oh iya, saya tadi lupa. Nama saya Seruni, mas. Kalau mas sendiri siapa?"

"Walah, nama yang bagus sekali! Saya Joyo, mbak," jawab pak Joyo.

Seruni pun mengajak pak Joyo masuk ke dalam rumah untuk menjamunya, mengingat pak Joyo tampak kehausan dan kelaparan setelah perjalanan panjang dari pagi hingga siang.

"Ayo, mas, masuk saja. Nggak usah sungkan, anggap saja seperti rumah sendiri," kata Seruni ramah.

"Iya, mbak, terima kasih banyak... tapi nggak usah repot-repot ya, mbak," ujar pak Joyo dengan sopan.

Tanpa banyak menunggu waktu, Seruni segera menyajikan hidangan makanan dan kopi untuk pak Joyo, yang kebetulan sudah dua hari tidak makan. Pak Joyo pun menyantapnya dengan lahap tanpa ragu karena semua makanan yang disajikan terlihat lezat dan menggugah selera.

"Wah, terima kasih banyak ya, mbak. Saya benar-benar kekenyangan. Maaf kalau saya makan terlalu cepat," kata pak Joyo sambil tersipu malu.

Seruni hanya tersenyum lembut dan menjawab, "Iya nggak apa-apa kok, mas. Kenapa harus malu? Saya malah senang kalau makanan yang saya buat habis dimakan."

Keceriaan yang ada berubah menjadi sesuatu yang tak diduga-duga. Apa yang dikonsumsi oleh pak Joyo ternyata bukanlah makanan seperti yang dia kira. Tanpa menyadari sepenuhnya siapa sebenarnya Seruni, tubuh pak Joyo mulai terasa lemas dan kantuk pun perlahan menghampiri. Melihat kondisi itu, Seruni menawarkan pak Joyo untuk beristirahat di kamar.

"Sepertinya mas kelelahan ya. Mari saya antar ke kamar supaya bisa istirahat biar nanti badan kembali segar kalau mau kembali ke kota," ucap Seruni dengan lembut.

Tanpa berkata apa-apa, pak Joyo mengikuti Seruni menuju kamar. Sesampainya di sana, dia menurut saja ketika tasnya dilepaskan dari pundaknya dan bajunya dibuka karena merasa gerah setelah perjalanannya yang panjang. Seruni yang memperhatikan penampilan pak Joyo merasa dirinya semakin terpikat. Dia pun berusaha menggoda dan membujuk hingga akhirnya pak Joyo jatuh ke dalam pelukannya. Hubungan terlarang tak terhindarkan terjadi malam itu, entah pak Joyo melakukannya dalam keadaan sadar atau tidak.

Keesokan harinya, pak Joyo terbangun dengan perasaan tak karuan. Dia baru menyadari bahwa dia tidur di kamar tersebut dan tak ingat bagaimana bisa sampai di sana. Dengan raut wajah gelisah, dia bertanya pada Seruni.

"Mbak... saya tertidur di kamar ini sejak kapan ya? Kok saya nggak ingat sama sekali..." tanya pak Joyo dengan nada bingung.

"Oh mas, kemarin sore mas terlihat sangat lelah dan mengantuk. Jadi saya bantu pindahkan ke kamar supaya lebih nyaman istirahatnya. Nggak apa-apa kok, sekarang bagaimana? Badannya sudah enakan?" jawab Seruni sambil tersenyum menenangkan.

Pak Joyo mengangguk pelan sambil tersenyum getir. "Oh begitu ya... ya sudah, terima kasih ya mbak. Sekarang badan saya sudah lebih enakan."

Namun dalam hatinya masih ada rasa ganjil tentang apa yang sebenarnya terjadi semalam di rumah besar milik Seruni itu.

Syukurlah, kalau begitu. Seruni kemudian membuatkan kopi dan sarapan untuk Pak Joyo pagi itu. Sambil menyajikan, ia bertanya dengan sopan, "Mas, mau mandi dulu atau saya buatkan kopi dulu?" Ucapnya dengan nada lembut.

Pak Joyo menjawab sambil tersenyum, "Aku mandi dulu saja, biar segar."

Setelah mandi, Pak Joyo menerima sajian sarapan lengkap dengan kopi serta beragam buah di meja. Ia menikmati makanan yang telah disiapkan oleh Seruni, merasa puas dan kenyang.

Sambil menggaruk kepala dengan kebingungan, Pak Joyo kemudian bertanya kepada Seruni, "Oh iya, Mbak, tadi pas aku bangun, kok baju-bajuku sudah tidak ada ya? Aku tidak ingat kalau aku membuka baju."

Seruni tertawa kecil dan menjawab dengan santai, "Hahaha... Mas ini becanda ya? Bukannya tadi malam Mas sendiri yang suruh aku melepas bajunya. Kok sekarang malah bingung."

Dengan wajah kaget, Pak Joyo berkata, "Ya Allah, sejak kapan aku meminta itu? Aku benar-benar tidak ingat! Maafkan aku kalau aku tidak sopan."

Seruni menenangkan Pak Joyo sambil berbisik pelan, "Sudahlah, tidak apa-apa. Malah aku menikmatinya kok. Terima kasih ya, Mas. Kamu benar-benar membuatku puas semalam."

Pak Joyo semakin bingung dan bertanya panik, "Apa maksudmu, Mbak? Apa yang sudah aku lakukan?"

Seruni menggoda Pak Joyo lebih jauh dengan belaian di tubuhnya sembari berkata, "Sudah jangan banyak tanya. Yang penting kita berdua menikmatinya. Tidak perlu saling menyalahkan. Kalau kamu tetap ingin berhubungan denganku dan terus memuaskanku, aku berjanji akan memberi kamu uang dan kekayaan melimpah untuk hidup bahagia bersama istri dan anakmu."

Pak Joyo dengan gugup menjawab, "Tapi, Mbak... Saya kan sudah punya istri?"

Namun, Seruni menutup pembicaraan dengan senyuman menggoda dan langsung mengajak Pak Joyo kembali masuk ke kamar untuk melanjutkan keinginannya.

Di dalam kamar tersebut, mereka kembali melanjutkan hubungan hingga Seruni merasa sangat puas. Sebagai balasan, ia memberi Pak Joyo dua gepok uang serta tiga balok emas agar dibawa pulang.

Seruni kemudian berkata, "Mas, ini cukup untuk memenuhi kebutuhanmu, membangun rumah agar istri dan anakmu tidak menderita lagi. Sehingga kamu tak perlu kerja jauh cari uang. Kalau butuh uang lagi, datang saja ke sini dan layani aku seperti tadi. Aku akan berikan berapapun yang kamu mau."

Pak Joyo menerima pemberian itu dengan tangan gemetar sambil berkata penuh rasa tidak percaya, "Apakah ini benar untukku? Aku janji akan datang lagi ke sini kalau Mbak memintaku. Terima kasih... Terima kasih banyak!"

Ia masih tampak bingung sekaligus bahagia melihat uang dan emas yang kini ada di tangannya.

Baiklah, kamu pulang saja ke rumah. Kasihan istri dan anakmu belum makan. Bawa semua uang dan emas ini. Ingat, jangan sampai ada yang tahu tentang ini, hanya kita berdua yang tahu. Jika melanggar, aku akan marah, kata Seruni.

Iya, Mbak, aku janji akan menjaga rahasia ini. Baiklah Mbak, aku pamit pulang menemui anak dan istriku, jawab Pak Joyo.

Pak Joyo pun segera pulang hendak memberikan uang dan emas itu kepada istrinya. Dengan semangat, ia melewati jalanan yang sebelumnya terasa berat dan sulit dilalui, kini terasa ringan. Tak lama kemudian, ia tiba di rumahnya dan mendapati istrinya sedang memasak jagung di belakang rumah.

Assalamualaikum! Bu! Bu! Bapak pulang? teriak Pak Joyo bersemangat.

Martiem menoleh sambil tersenyum bahagia. Waalaikumsalam, ya Allah Bapak! Sudah pulang? ucapnya dengan penuh kegembiraan. Kedua anaknya pun langsung menyambut hangat kedatangan sang ayah dengan riang.

Bu, sehat, Bu? Maaf ya, Bapak baru bisa pulang dan menemui kalian ujar Pak Joyo.

Oh iya Pak, tidak apa-apa. Ibu tahu kok Bapak sedang bekerja di kota. Jadi meskipun berbulan-bulan Bapak tak pulang, Ibu paham, jawab Martiem.

Namun, Pak Joyo merasakan keanehan dengan ucapan istrinya yang mengatakan dirinya telah pergi berbulan-bulan. Padahal, menurut pikirannya sendiri, ia hanya pergi beberapa hari. Namun ia memilih tidak ambil pusing dengan hal itu karena ada sesuatu yang lebih penting yang ingin ia tunjukkan kepada istrinya.

Bu, sini Bu. Bapak punya kejutan buat Ibu, kata Pak Joyo dengan wajah berbinar.

Martiem tersenyum melihat antusiasme suaminya. Apa sih Mas segala kejutan? Aku tidak perlu kejutan apa-apa, kamu sudah pulang saja aku sudah senang, ujar Martiem.

Nah ini dia, buat kamu. Beli baju bagus, emas, dan makanan enak buat anak-anak kita. Bangun rumah yang bagus biar kita tidak diejek orang lagi, ucap Pak Joyo sambil menunjukkan uang dan emas tersebut.

Martiem gemetar dan sulit percaya melihat uang dan emas sebanyak itu di hadapannya. Ya Allah Mas... Apa ini Mas? Banyak sekali... Jangan-jangan ini hasil mencuri ya? Aku tidak mau kalau uang ini hasil mencuri! ungkap Martiem dengan nada khawatir.

Walah Bu... Bapak ini baru pulang bekerja kok malah dibilang mencuri? Sudah jelas ini hasil kerja Bapak. Tidak usah khawatir, uang ini aman kok Bu, jawab Pak Joyo meyakinkan.

Alhamdulillah kalau memang ini hasil kerja ya Mas. Terima kasih banyak Mas, jawab Martiem dengan wajah cerah penuh syukur.

Keesokan harinya, Martiem bersama anak-anaknya mulai berbelanja kebutuhan dan membeli bahan untuk membangun rumah. Tetangganya merasa heran melihat perubahan drastis keluarga Pak Joyo yang dulu hidup serba kekurangan tetapi sekarang mampu membangun rumah besar dan indah. Saat itu juga mereka menyadari bahwa kehidupan Pak Joyo telah berubah jauh sejak ia pergi bekerja di kota.

Rumah Pak Joyo dibangun menjadi lebih bagus dan luas. Martiem pun terlihat lebih terurus serta tampil cantik karena kehidupan mereka kini penuh kecukupan. Anak-anak mereka tak lagi merasa kelaparan atau kesusahan seperti dulu. Pak Joyo merasa bersyukur bahwa keadaan mereka telah membaik dan ia tidak perlu lagi menghadapi hinaan dari tetangganya karena kemiskinan mereka di masa lalu.

Martiem dan Pak Joyo menjadi lebih sombong pada masa itu. Hal ini terjadi karena mereka pernah merasa sakit hati akibat perlakuan tetangga yang sering memberikan hinaan dan ejekan selama tinggal di desa tersebut. Pak Joyo, di sisi lain, dikenal sangat memanjakan istrinya dan anak-anaknya. Apapun kebutuhan mereka, pasti dipenuhinya. 

Tetangga dari desa sebelah sering datang ke rumah Pak Joyo dan Martiem untuk meminta bantuan. Namun, Pak Joyo kerap menolak membantu mereka, dengan alasan teringat masa lalunya. Pada masa itu, tidak pernah sekalipun ia mendapatkan bantuan dari tetangganya, malah hanya menerima hinaan dan ejekan.

Seiring waktu yang terus berjalan, Pak Joyo merasa perlu kembali menemui Seruni. Ia percaya bahwa jika terus bertemu Seruni, kekayaannya akan bertambah banyak dan tidak pernah habis. Pemikiran itu membuatnya memutuskan untuk meminta izin kepada istrinya agar bisa kembali bekerja ke kota pada keesokan hari, dengan alasan masa liburnya telah usai. 

Martiem mengizinkan Pak Joyo untuk kembali bekerja setelah setahun berada di rumah bersama keluarga. Keesokan paginya, sebelum berangkat, Pak Joyo berpamitan kepada istri dan anak-anaknya, berjanji akan kembali seperti biasa setelah mendapatkan uang. 

Pak Joyo pun berkata, "Bu, Nawi, Nawang, Bapak pamit kerja ya. Hati-hati di rumah, jangan pernah keluar rumah sembarangan, kunci pintunya ya kalau pergi. Takut ada orang jahat. Bapak sedang kerja." 

Martiem menjawab dengan lembut bahwa ia akan menjaga diri di rumah dan menunggu Pak Joyo pulang. Ia juga mengingatkan suaminya untuk tetap menjalankan ibadah selama berada di kota.

Setelah berpamitan dan berjalan menuju tempat kerjanya, Pak Joyo akhirnya tiba di rumah Seruni. Seruni menyambut kedatangan Pak Joyo dengan wajah penuh senyum serta pakaian yang memesona.

"Aku rindu mas! Kenapa nggak cepat-cepat datang ke sini? Lama sekali kamu pergi menemui istrimu di desa," ujar Seruni dengan manja sambil menciumi Pak Joyo.

Pak Joyo menanggapi dengan santai, "Kamu rindu ya sama aku? Maaf ya baru sempat ke sini. Mas baru selesai membangun rumah di kampung, supaya lebih tenang meninggalkan istri dan anak mas."

Seruni kemudian menggoda Pak Joyo dengan sikap penuh kasih dan canda. "Ya sudah, ayo mas. Aku sudah nggak tahan. Aku sangat ingin bermesraan sama kamu," ucapnya sambil tertawa kecil dan menyentuh pipinya dengan lembut, membuat suasana semakin intim di antara keduanya.

Pak Joyo tertawa terpingkal-pingkal sembari menggendong Seruni, melangkah menuju kamar dengan langkah ringan. Malam itu, Seruni mengungkapkan keinginannya yang sudah lama terpendam. Rindu yang membara akhirnya terwujud, dan Pak Joyo pun memberinya perhatian penuh tanpa ragu. 

Setelah momen itu, kelelahan membuat Seruni bahagia sekaligus tertidur lelap di sisi Pak Joyo. Keesokan harinya, saat membuka mata, Pak Joyo dibuat terkejut oleh pemandangan di kasur: tumpukan uang menghiasi tempat tidurnya. Seruni ternyata telah menyiapkannya untuk Pak Joyo, sebagai bentuk penghargaan.

Seruni tiba-tiba masuk ke kamar dengan senyum manis yang khas. Ia menghampiri Pak Joyo, mencium dan memeluknya hangat sambil berkata, “Ambillah uang itu, mas. Gunakanlah untuk istrimu dan keluargamu.” Meski demikian, percakapan mereka dipenuhi keintiman. Seruni tampak puas dengan perhatian dari Pak Joyo dan menyentuh hatinya dengan caranya yang menggoda.

Pak Joyo sendiri merasa sangat bahagia. Namun tanpa disadarinya, ia mulai terbuai oleh pesona Seruni yang berbeda dari istrinya. Baginya, Seruni adalah sosok wanita yang tahu benar bagaimana memperlakukannya dengan sempurna, sehingga ia merasa tak bisa begitu saja melupakan pengalaman itu.

Setelah suasana kembali tenang, Pak Joyo memutuskan untuk membersihkan diri. Saat mandi, ia meminta Seruni memasak sesuatu untuknya karena hidangan buatan Seruni selalu mampu memuaskan seleranya. Bahkan dalam hal masakan, diam-diam Pak Joyo terus membandingkan Seruni dengan istrinya. Pikiran itu semakin membuatnya sadar akan ketertarikannya pada Seruni.

Seruni menyambut permintaan itu dengan canda ringan. Tak lama kemudian, harum masakan memenuhi udara. Setelah selesai mandi, Pak Joyo langsung menyantap hidangan yang telah disiapkan Seruni tanpa sisa—seperti seseorang yang begitu kelaparan. Rasa nikmat dari makanan itu membuatnya benar-benar terpikat.

Usai makan, Pak Joyo memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Dengan tas berisi uang pemberian Seruni, ia berpamitan dengan senyuman dan langkah pasti menuju kehidupannya yang lain—bersama sang istri di rumah.

Sesampainya di rumah, Pak Joyo menyerahkan uang itu kepada istrinya seperti kebiasaannya belakangan ini. Sang istri merasa senang melihat rezeki keluarga terus mengalir deras tanpa tahu dari mana asal semua itu. Tanpa disadari oleh siapapun, kisah antara Pak Joyo dan Seruni menjadi rahasia yang memperumit hati serta pikirannya setiap waktu.

Pak Joyo hidup dalam kemewahan yang membuat istrinya semakin bahagia, begitu juga anak mereka, yang kini menikmati kehidupan serba berkecukupan. Nama Pak Joyo tak henti-hentinya disebut di desa kecilnya, menyandang julukan "orang kaya baru". Kekayaannya yang melimpah menjadikan ia sosok yang dikagumi sekaligus dihormati oleh banyak warga. Tidak sedikit yang datang ke rumahnya, membawa harapan bisa meminjam uang untuk mengatasi kesulitan mereka. Namun, Pak Joyo dan istrinya selalu tegas menolak membantu orang-orang yang pernah meremehkan mereka di masa lalu.

Ternyata, hal itu didorong oleh rasa dendam yang tersimpan dalam hati Pak Joyo. Di masa lampau, ia sering diperlakukan dengan buruk oleh sebagian warga desa. Kini, kekayaan menjadi alat untuk "membayar kembali" semua luka lamanya. Meski sesekali ia bersedia memberikan pinjaman, bunga tinggi adalah syarat utamanya. Tanpa belas kasih, Pak Joyo menjadi terkenal sebagai pribadi keras yang kerap memanfaatkan kelemahan orang lain. Jika ada yang tidak mampu melunasi hutangnya berikut bunga, Pak Joyo pun tak segan-segan menyita barang berharga milik mereka, termasuk surat tanah.

Kekayaannya kian bertambah seiring waktu, tapi bukan hanya sekadar materi yang memotivasi Pak Joyo. Ia sering mengunjungi seorang wanita bernama Seruni—seorang yang diyakininya memiliki "daya tarik" tertentu yang dapat menjaga hartanya tetap mengalir tanpa habis. Hubungan dengan Seruni pada awalnya mungkin punya tujuan spiritual atau mistis bagi Pak Joyo, namun lama-kelamaan muncul dimensi lain dalam hubungan tersebut.

Pada suatu malam, di saat yang tak biasa, dorongan kuat dalam dirinya membuat Pak Joyo meninggalkan rumah tanpa pamit kepada istrinya. Ia merasa ada kekosongan yang istrinya tidak lagi mampu isi. Seruni, di matanya, adalah simbol dari gairah dan kepuasan yang telah lama ia cari.

Sesampainya di depan rumah Seruni, Pak Joyo memanggil dengan lantang, penuh harap agar pintunya segera dibuka. Mengabaikan segala norma yang biasanya ia jaga, malam itu segalanya terasa berbeda. Pak Joyo hanya ingin bertemu Seruni.

Seruni... Mas datang! Apa kamu dengar? ujarnya tanpa ragu. Teriakannya menggema di tengah malam yang hening, membawa cerita bahwa manusia dengan segala kekayaannya tetap saja bisa dipecundangi oleh hasrat yang tak pernah padam.

Seruni merasa gelisah di tengah malam yang sunyi. Rahasia besar yang selalu ia sembunyikan seolah terpampang jelas tanpa bisa ia hindari—Seruni bukanlah manusia biasa. Ia adalah penjaga gunung yang legendaris, makhluk mistis yang dikenal karena pesugihannya. Di siang hari, ia tampak anggun dan menarik, namun saat malam tiba, wujudnya bertransformasi menjadi nenek tua dengan rupa yang menyeramkan.

Malam itu, tidak ada yang istimewa, hingga Pak Joyo, yang sudah lama mengenal Seruni, merasa ada yang berbeda. Usai mengetuk pintu dan meneriakkan nama Seruni berulang kali tanpa balasan, ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah tanpa izin. Ia mencoba membangunkannya dengan lembut, melangkah menuju kamar Seruni dengan perasaan sedikit khawatir.

Ketika pintu kamar terbuka, suara derit kayu menyambut langkah Pak Joyo dan matanya menangkap sosok Seruni sedang berbaring. Mengira Seruni tertidur pulas, ia mendekatinya lalu berbaring di sebelahnya. Namun, sesaat setelah ia meraba tangan Seruni, hatinya dipenuhi rasa curiga. Kulit lembut dan halus yang biasanya ia kenal kini berganti tekstur kasar seperti permukaan kayu tua.

Dugaannya semakin nyata ketika Seruni berbalik badan. Sosok yang dihadapinya bukanlah Seruni yang ia kenal—wajahnya tua dan penuh keriput, memancarkan aura menyeramkan yang langsung membuat darahnya berdesir. Pak Joyo terperanjat mundur sambil memekik ketakutan, "Hantu! Siapa kau? Kemana Seruni? Jangan mendekat!"

Namun alih-alih menjawab dengan tenang, sosok itu malah tertawa keras—suara tawa seperti retakan api di tungku kayu membuncah memenuhi ruangan. Dengan muka menyeramkan, ia mendekati Pak Joyo sambil berujar dengan suara parau, "Mas, ini aku… Seruni… Jangan takut, ayolah kemari. Kamu pasti ingin tidur denganku kan?"

Pak Joyo hanya bisa mundur terpojok, gemetaran oleh rasa takut yang tak terkendali. "Tidak! Jangan mendekat! Kau bukan Seruni! Seruni itu cantik! Bukan seperti ini—jelek, tua, dan bau!" Suaranya bergetar hebat sambil menjauhkan diri sejauh mungkin dari sosok mengerikan di depannya.

Malam itu menjadi malam penuh teror bagi Pak Joyo. Sementara sosok Seruni yang ia kenal telah berubah menjadi mimpi buruk yang nyata.

Seruni meluapkan amarah kepada Pak Joyo. Dalam kemarahan yang membara, ia berkata, "Berani sekali kau berbicara seperti itu padaku. Aku akan menghancurkanmu! Jika kau tak lagi mau melayaniku, aku akan mengambil segalanya—harta bendamu, bahkan nyawamu. Kau telah melanggar perjanjianmu sendiri!"

Kisah ini bermula dari perjanjian lama antara Pak Joyo dan Seruni. Perjanjian tersebut melarang Pak Joyo untuk menemui Seruni pada malam hari. Namun, hawa nafsu yang tak terkendali membuat Pak Joyo melupakan kesepakatan itu dan melanggarnya begitu saja.

Akibatnya, Seruni tak bisa menahan kemarahannya. Ia menghabisi nyawa Pak Joyo dan merampas semua harta miliknya. Namun, tragedi ini tidak berhenti di situ. Istri dan anak-anak Pak Joyo pun menjadi korban berikutnya. Ironinya, meskipun kekayaan mereka telah direnggut, Seruni tidak pernah benar-benar menikmati hasilnya. Kejadian ini membuat gempar warga desa, karena istri dan anak-anak Pak Joyo meninggal dalam kondisi yang tak wajar.

Keesokan harinya, tubuh Pak Joyo ditemukan dalam keadaan mengenaskan di tengah hutan oleh seorang petani desa yang kebetulan adalah tetangga dekatnya. Berita kematiannya menyebar dengan cepat, membuat seluruh desa tercengang.

Akhir cerita ini mengajarkan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Kekayaan, ambisi, dan nafsu semuanya fana. Hanya melalui kerja keras dan upaya tulus kita lah hidup memiliki makna. Kisah kelam yang menyelimuti cerita Gunung Kelud menjadi pengingat bagi kita semua untuk tidak pernah terjebak dalam godaan yang dapat membawa kehancuran.
Load comments