Anak sombong Penikmat Harta
CerpenRiska adalah seorang anak yang sulit diatur, baik oleh orang tua maupun orang lain. Kehidupan mewah membuatnya manja, sombong, dan tinggi hati. Ia enggan berteman dengan anak-anak lain yang dianggapnya tidak sebanding. Banyak yang mengenalnya sebagai sosok sombong dan terlalu muluk dalam bersikap.
Ia tak pernah mendengarkan perkataan orang tuanya, sehingga tumbuh menjadi pribadi yang kurang peduli terhadap sekitarnya. Sejak kecil hingga dewasa, hidupnya dipenuhi kebohongan dan kebencian yang ia pelihara dalam dirinya. Kekayaan keluarganya justru memperburuk sifat manja dan angkuhnya, tanpa pernah mengajarkannya menghargai orang lain. Ia kerap memilih-milih teman dan memandang rendah orang yang dianggapnya di bawah kelasnya.
Seiring bertambah usia, sifat buruk Riska malah semakin parah. Tingkah lakunya kerap melukai hati banyak orang. Ia suka meremehkan anak-anak lain yang dianggap tidak setara secara materi. Hal ini membuatnya dijauhi oleh teman-temannya, yang merasa tidak nyaman dengan sifat pilih-pilih dan kebiasaan membanding-bandingkan miliknya.
Suatu waktu, Riska bersekolah di tempat mewah yang mayoritas siswanya berasal dari keluarga kaya. Namun, ada satu siswa bernama Berlian yang bisa bersekolah di sana berkat beasiswa. Berlian sering menjadi sasaran ejekan, termasuk dari Riska yang merupakan teman sekelasnya. Riska kerap membully Berlian, memaksanya mengerjakan tugas, dan mempermalukannya di depan siswa lain.
Berlian hanya bisa pasrah dan mengikuti perintah Riska serta teman-temannya. Meski sering dikucilkan, ia tetap berbaik hati dan membantu orang lain tanpa mengharap balasan. Namun, perlakuan tidak adil ini sering membuatnya sedih dan malu, terutama ketika Riska memamerkan uang jajannya yang besar sementara ia hanya mendapatkan sedikit. Berlian merasa iri, tetapi tetap menyimpan emosinya dalam diam.
Suatu hari, Riska sedang menunggu jemputan di luar gerbang sekolah. Berlian yang melihatnya mendekat dan menawarkan tumpangan dengan sepeda listriknya. Namun, Riska diam saja dan mengalihkan pandangan. Menyadari takkan mendapat balasan, Berlian pun pamit dengan tenang, tanpa marah.
Ketika akhirnya jemputan Riska, sebuah mobil mewah, tiba, ia sempat membuka kaca. Melihat Berlian yang masih dengan sepeda listriknya, Riska meminta sopir melambatkan mobil. Tanpa alasan jelas, Riska menyiramkan air dari botolnya ke arah wajah Berlian sambil mengejek, "Dasar anak miskin." Ia tampak puas meski Berlian tidak menunjukkan amarah sedikit pun, melanjutkan perjalanan pulang dengan tenang.
Keesokan harinya, Riska terus membully Berlian. Namun tak disangka, saat Riska mengalami kecelakaan dalam perjalanannya dengan mobil, Berlian adalah sosok yang berada di lokasi dan langsung menolong Riska ke rumah sakit. Dalam kondisi koma, Riska membutuhkan transfusi darah dengan golongan spesifik, tetapi pihak rumah sakit kesulitan mencarinya. Orang tua Riska pun panik.
Berlian yang mengetahui itu memberanikan diri bertanya pada orang tua Riska tentang golongan darah yang dibutuhkan. Awalnya mereka mengabaikannya, tetapi akhirnya memberi tahu bahwa darah yang diperlukan bergolongan B. Mendengar itu, Berlian langsung mengambil inisiatif mendonorkan darahnya, meskipun hubungan mereka sebelumnya buruk.
Tak lama kemudian, pihak rumah sakit memberitahu bahwa darah untuk Riska sudah tersedia berkat seorang pendonor yang datang tepat waktu: Berlian.
Orang tua Riska merasa sangat bahagia ketika mendengar kabar bahwa anak mereka akhirnya mendapatkan donor darah yang sangat dibutuhkan. Berkat pendonor tersebut, nyawa Riska yang saat itu tengah koma berhasil diselamatkan. Tak lama, Riska pun sadar dari komanya. Orang tuanya langsung menceritakan bahwa ia mengalami kecelakaan dan koma dalam waktu cukup lama. Mereka juga mengungkapkan bahwa nyawanya terbantu oleh seseorang yang dengan sukarela mendonorkan darah demi dirinya, sehingga ia bisa kembali sadar.
Setelah mengingat kejadian tersebut, Riska mulai bertanya kepada orang tuanya tentang sosok yang telah membantunya, Berlian. Ia merasa yakin bahwa Berlianlah yang membawanya ke rumah sakit. Riska mengatakan bahwa jika bukan karena Berlian, mungkin nyawanya tidak bisa diselamatkan. Ia pun meminta orang tuanya untuk memanggil Berlian ke ruangannya. Namun, saat dicari, Berlian tidak ditemukan. Tak ada seorang pun di rumah sakit yang melihatnya.
Tiba-tiba Riska menangis tersedu-sedu. Ia mengaku kepada orang tuanya bahwa selama ini ia sering bersikap jahat dan membuat banyak kesalahan terhadap Berlian. Meskipun begitu, Berlian tidak pernah marah kepadanya dan bahkan selalu membantu dalam situasi sulit hingga kecelakaan terjadi. Tidak lama kemudian, seorang suster yang sebelumnya membawa darah donor masuk ke ruangan untuk memeriksa kondisi Riska.
Setelah selesai memeriksa, ibu Riska menanyakan kepada suster tentang siapa yang mendonorkan darah tersebut. Dengan lembut, suster menjawab bahwa donor darah itu dilakukan oleh pasien atas nama Berlian, yang kini tengah dirawat di ruang bawah karena kondisinya melemah pasca mendonor.
Mendengar hal itu, Riska dan kedua orang tuanya merasa sangat terkejut sekaligus tidak percaya. Berlian rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan nyawa Riska. Dipenuhi rasa bersalah, Riska mulai menangis dan melepaskan semua alat infus dari tubuhnya. Ia memaksa ingin segera melihat kondisi Berlian yang tengah lemah. Bersama orang tuanya, Riska buru-buru menuju ruang tempat Berlian dirawat.
Namun, sesampainya di ruangan tersebut, tidak ada siapa pun di sana. Penuh kebingungan, Riska bertanya kepada seorang suster di dekat ruangan itu tentang keberadaan Berlian. Suster menjawab dengan nada pelan bahwa pasien atas nama Berlian baru saja dipindahkan ke ruang jenazah.
Riska gemetar mendengar kabar itu. Dengan penuh ketidakpercayaan, ia mencoba menyangkal kenyataan tersebut, mengatakan bahwa Berlian hanya kekurangan darah dan tidak mungkin meninggal dunia. Namun suster menjelaskan bahwa Berlian sebenarnya mengidap penyakit serius yang membuatnya tidak bisa kehilangan darah sedikit pun. Akibat terlalu banyak kehilangan darah saat mendonor, nyawanya tak terselamatkan.
Kabar duka itu benar-benar menghancurkan hati Riska. Ia tidak sanggup berdiri dan menangis tersedu-sedu di tempat. Dalam tangisannya, ia menyadari betapa baiknya Berlian selama ini, meskipun ia sering menjadi korban perlakuan buruknya. Berlian bahkan rela mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkannya. Penyesalan mendalam menghantui Riska yang merasa kejam terhadap sosok sebaik itu.
Sejak kejadian tersebut, hidup Riska berubah sepenuhnya. Ia tidak lagi menjadi pribadi yang sombong dan berhenti membully siapa pun. Pengorbanan Berlian menjadi pelajaran terbesar dalam hidupnya untuk menjadi manusia yang lebih baik dan menghargai orang lain.
