Cinta jadi Benci

Cinta jadi Benci


Ada seorang wanita bernama Febri yang dikenal memiliki sifat galak dan jutek. Pada masa itu, ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Di lingkungan sekolahnya, Febri terkenal dengan kejutekan dan kegalakannya. Banyak teman-temannya yang enggan berteman atau bekerja sama dengannya saat ada tugas kelompok di sekolah.

Febri adalah gadis yang sulit bergaul dengan banyak orang di lingkungannya. Bahkan, ketika ada teman yang mencoba mendekatinya untuk berteman, Febri seringkali menolak dengan sikap jutek karena ia merasa tidak membutuhkan teman. Hal ini membuat banyak teman sekelasnya menjauh darinya dan enggan mendekat karena citranya yang sudah melekat sebagai sosok yang galak dan jutek.

Meskipun begitu, Febri juga dikenal sebagai siswa yang pintar di sekolahnya. Kepintarannya membuat banyak orang kagum kepadanya, ditambah lagi dengan pesonanya yang cantik. Para siswa laki-laki di sekolahnya pun banyak yang menyukai Febri, tetapi tidak ada satu pun yang berhasil mendapatkan hatinya.

Febri sering mengabaikan perhatian atau usaha para laki-laki yang mencoba mendekatinya. Ia menganggap mereka tidak serius dan hanya main-main saja. Dalam pikirannya, tidak ada satu pun sosok yang menarik atau pantas untuk menjadi teman apalagi pacarnya di sekolah tersebut.

Febri merasa nyaman dengan kesendiriannya. Ia tidak pernah merasa penting untuk memiliki teman atau pasangan. Dengan kemampuan dan keterampilannya, Febri mampu menjalani hari-harinya tanpa membutuhkan kehadiran orang lain. Dari kelas satu hingga kelas tiga, sifat jutek dan galaknya tidak pernah berubah. Tidak ada yang mampu mengubah dirinya untuk menjadi berbeda dari apa adanya.

Pada suatu hari, sekolah itu kedatangan murid baru yang baru saja pindah dari kota. Anak laki-laki tersebut belum lama tinggal di desa itu, sekitar seminggu, dan memutuskan untuk bersekolah di sekolah yang cukup dekat dengan rumah barunya. Ketika ia masuk ke kelas, ternyata ia ditempatkan di kelas yang sama dengan Febri.  

Febri dikenal sebagai anak yang selama ini tidak pernah duduk sebangku dengan orang lain sejak kelas satu. Namun, guru memutuskan agar murid baru itu duduk sebangku dengan Febri karena tempat duduk lainnya sudah penuh. Meskipun sempat menolak, Febri akhirnya hanya bisa pasrah memenuhi permintaan gurunya.  

Murid baru itu pun duduk di sebelah Febri, dan guru meminta anak laki-laki tersebut untuk memperkenalkan diri di depan kelas. Saat sedang memperkenalkan dirinya, Febri secara diam-diam mencoba mengganggu bangku anak baru itu dengan harapan ia merasa tidak nyaman dan tidak betah di sekolah tersebut.  

Namun, tindakan Febri diketahui oleh anak baru itu, sehingga rencana usilnya gagal total. Hal ini membuat Febri kesal dan merasa tak berdaya. Anak baru yang bernama Angga pun melanjutkan pelajaran pertamanya tanpa gangguan apapun. Ia merasa lingkungan sekolah tersebut tenang dan nyaman, hingga membuatnya semakin betah.  

Keesokan harinya, Angga tiba lebih dulu di kelas dan menunggu di tempat duduknya. Tiba-tiba, keheningan itu buyar ketika Febri datang dengan melemparkan tasnya hingga mengenai kepala Angga.  

“Hei, hati-hati dong kalau naruh tas! Kamu nggak lihat ada orang di sini?” ujar Angga kesal.  

“Mmmm... maaf! Aku kira nggak ada orang di bangkuku... soalnya nggak kelihatan kayak setan sih,” balas Febri dengan nada sinis.  

“Dasar cewek nggak punya pikiran!” teriak Angga keras-keras, menahan emosi.  

Febri, yang mendengar sebuah komentar dari Angga, langsung mendekatinya dengan penuh emosi. Ia memarahinya dengan nada tegas, tetapi sikap Angga yang santai dan tidak gentar justru semakin membuat Febri kesal. Saat itu, Febri merasa untuk pertama kalinya ia benar-benar dibuat frustrasi oleh seorang laki-laki. Sejak saat itu, hubungan mereka di dalam kelas semakin rumit; keduanya sering kali beradu argumen hingga terkadang ribut karena Febri enggan dekat dengan Angga. Dalam satu bangku yang mereka tempati, suasana harmonis hampir tak pernah tercipta.

Namun, seiring waktu ada hal lain yang juga menjadi sumber kekesalan Febri; Angga ternyata memiliki kemampuan akademis yang tidak kalah hebat. Sebelum Angga muncul di kelas, Febri dikenal sebagai salah satu siswa terpintar dengan nilai yang selalu tinggi. Tapi sejak kedatangan Angga, prestasi Febri mulai terasa tertandingi. Berkali-kali Angga berhasil memperoleh nilai lebih baik dalam ujian, menggeser posisi Febri yang sebelumnya tak tergoyahkan. Situasi ini membuat hubungan mereka semakin tegang, hingga perbandingan nilai menjadi topik yang terus menerus memanaskan suasana hati Febri.

Meskipun keduanya sering berselisih paham, teman-teman mereka mulai melihat ada sesuatu yang berbeda dalam ketidakakuran tersebut. Kadang kala, mereka terlihat saling bekerja sama dengan baik, terutama saat mengerjakan tugas kelompok. Dari sinilah muncul guyonan di antara teman-teman bahwa Febri dan Angga sebenarnya cocok bersama. Meski begitu, sifat jutek dan egois Febri membuatnya selalu menolak gurauan tersebut. Ia bahkan sering merasa jijik dengan gagasan tersebut dan memastikan setiap orang tahu bahwa ia tidak punya sedikit pun rasa simpatik terhadap Angga.

Suasana berubah ketika pihak sekolah mengumumkan perlombaan cerdas cermat antar sekolah. Lomba ini dirancang khusus untuk siswa berprestasi dengan kemampuan akademik luar biasa. Tanpa diduga, Febri dan Angga terpilih sebagai wakil dari sekolah mereka. Keputusan tersebut mau tak mau memaksa dua individu yang sering berseteru ini untuk bekerja sama demi membawa nama baik sekolah dalam kompetisi bergengsi tersebut.

Keduanya akhirnya didaftarkan untuk mengikuti perlombaan. Saat itulah Febri, yang biasanya memiliki sifat jutek dan galak, tiba-tiba berubah. Perubahan itu membuat Angga merasa heran dengan sikap Febri yang berbeda dari biasanya. Angga sering kali bertanya kepada Febri, apakah dia sedang tidak baik-baik saja.

Keanehan ini terasa karena sikap Febri mendadak menjadi lebih perhatian dan baik kepada Angga selama perlombaan berlangsung. Angga pun mulai berpikir bahwa Febri mungkin sedang sakit, sehingga sifatnya berubah seperti itu. Namun, setiap kali ditanya, Febri selalu menjawab bahwa dirinya baik-baik saja dan tidak mengalami masalah apa pun.

Meskipun begitu, Angga tetap merasa ada sesuatu yang aneh. Dia tak bisa memahami perubahan sikap Febri yang begitu tiba-tiba. Perlombaan akhirnya selesai, dan Febri serta Angga berhasil keluar sebagai pemenang. Seluruh murid dan guru di sekolah sangat bangga dengan kemenangan mereka, terlebih karena nilai yang mereka peroleh sangat tinggi.

Selain rasa bangga, Angga tetap merasa penasaran dengan perubahan sikap Febri saat perlombaan berlangsung. Dalam pikirannya, seolah-olah Febri sedang merencanakan sesuatu, hingga menjadi baik dan perhatian kepadanya.

Keesokan harinya, Febri yang sudah lebih dulu datang ke kelas menyambut kedatangan Angga dengan senyuman hangat, sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. "Angga, apa kabar? Baru datang ya?" sapa Febri sambil tersenyum ramah.

Angga yang semakin bingung dengan tingkah laku Febri, sempat melamun sesaat. Pasalnya, hari demi hari Febri menunjukkan perubahan yang membuatnya semakin aneh. Tidak seperti biasanya, Febri tiba-tiba menjadi sosok yang sopan, baik, bahkan bisa tersenyum. Padahal, Angga mengenal Febri sebagai orang yang galak, jarang senyum, dan bahkan hampir tak pernah menyapa. Perubahan ini membuat Angga semakin bertanya-tanya apa sebenarnya maksud Febri.

"Eh, iya, Feb. Aku baru datang. Tumben kamu udah sampai duluan," ujar Angga dengan gugup.

Febri tersipu malu dan menjawab sambil tersenyum kecil, "Aku kan pengen cepet-cepet ketemu sama kamu."

Namun, bukannya merasa senang, Angga justru merasa risih dengan perubahan sikap Febri. Febri semakin menunjukkan perilakunya yang centil dan terus berusaha merayu Angga. Alih-alih terpesona, Angga malah merasa terganggu dan mulai mencoba menjauhinya. Sikap Febri yang seperti itu dianggap mengganggu fokus Angga saat belajar di sekolah.

Tidak hanya kepada Angga, perilaku Febri juga berubah terhadap teman-teman lainnya. Ia mulai bisa diajak bicara dan mencoba menjalin pertemanan dengan orang-orang di sekitarnya. Padahal sebelumnya, Febri dikenal sebagai siswa yang tertutup dan jarang bergaul. Bahkan teman-temannya sempat merasa aneh dengan perubahan sikap Febri yang terlihat begitu drastis.

Hari-hari yang dilalui Angga semakin tak nyaman. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminta kepada guru agar dipindahkan tempat duduknya ke tempat lain. Angga merasa terganggu dengan perlakuan Febri yang terus-menerus mengusiknya di kelas. Ia merasa belajarnya menjadi tidak fokus, nilainya menurun, dan semua itu mengganggu performanya di sekolah. Febri sendiri tidak segan-segan terus memperhatikan dan memuji Angga di segala kesempatan dengan alasan bahwa ia telah jatuh cinta kepada Angga.

Angga, yang menyadari bahwa Febri memiliki perasaan terhadapnya, akhirnya memutuskan untuk menjaga jarak. Angga merasa belum siap untuk menjalani hubungan asmara; ia ingin tetap fokus pada mengejar cita-citanya di tempat ia menimba ilmu. Tak lama setelah itu, gurunya memindahkan tempat duduk Angga sehingga ia kini tidak lagi sebangku dengan Febri.

Mengetahui keputusan tersebut, Febri merasa marah dan kecewa. Ia segera mengonfrontasi Angga, bertanya mengapa Angga memilih untuk memindahkan tempat duduk. Dengan nada tegas, Angga menjawab bahwa ia hanya ingin berkonsentrasi belajar tanpa terganggu oleh orang-orang yang sering mengalihkan perhatiannya.

Jawaban Angga tersebut membuat Febri semakin kecewa. Perubahan sikap yang selama ini Febri usahakan demi menarik perhatian Angga mendadak sirna. Sifat arogansi dan kegalakannya yang dulu ia coba atasi mulai kembali muncul. Febri merasa terluka karena menurutnya, Angga tidak menghargai perjuangannya untuk berubah, meskipun ini adalah kali pertama ia merasakan perasaan suka terhadap seseorang.

Rasa kecewa itu berkembang menjadi kebencian. Febri memutuskan untuk tak lagi peduli atau menoleh kepada Angga. Bahkan teman-temannya, yang sebelumnya ingin mencoba berteman dengan Febri, kini menjauh karena Febri kembali menjadi pribadi yang judes, jutek, dan pemarah. Ia menjadi anak yang sulit diajak bergaul dan jarang berbicara dengan orang lain. Akibatnya, fokus belajarnya yang sempat menurun kembali meningkat. Namun, di balik itu semua, Febri justru memotivasi dirinya untuk melawan Angga karena rasa dendam dan amarah yang ia pendam dalam hati.
Load comments