Sial
CerpenDari panas terik pasti akan datang hujan, dari siang berganti malam. Dari kebahagiaan hadir kesedihan, dari keberuntungan muncul kesialan. Kesialan sering dianggap banyak orang sebagai hal yang paling menakutkan dan menjengkelkan. Tidak ada yang tahu kapan hari sial itu tiba, terlebih diri sendiri.
Saat itu, aku tengah dilanda kesedihan besar yang membuatku kehilangan rasa percaya diri dalam menjalani hidup. Setiap kali bercermin, aku seolah melihat sosok yang tidak mampu memberikan alasan untuk bahagia atau bangga terhadap dirinya sendiri. Pernah, aku membuka jendela kamar dan melihat burung-burung berkicau riang bersama kawanannya.
Mereka tampak bahagia, memiliki banyak teman, dan menjalani hidup tanpa beban. Pemandangan itu membuatku iri pada burung-burung tersebut, yang setiap hari menikmati hidup tanpa perlu resah memikirkan apa pun. Ditambah lagi, dengan banyaknya teman yang mendekat ke mereka, burung-burung itu tak perlu bersusah payah mencari perhatian atau pengakuan.
Aku, di sisi lain, semakin merasa malas dan tak punya semangat untuk menghadapi kehidupan sehari-hari. Rasanya berat melalui hari tanpa kehadiran seseorang yang menemani. Aku adalah anak dengan banyak kekurangan, hingga kerap kali orang-orang menjauh atau bahkan tidak menyukai diriku karena apa adanya aku saat ini. Jika ada satu atau dua teman yang mau mendekat, aku sering merasa sulit untuk percaya bahwa aku layak berteman dengan mereka. Melihat diri sendiri dibandingkan dengan orang lain hanya membuatku semakin malu dengan tubuhku yang aku anggap penuh kesialan.
Aku lahir dalam keadaan jauh dari sempurna. Tidak seperti mereka yang tampak normal dan bebas menjalani hidup. Rasa itu membuatku lebih memilih mengurung diri, diam di balik pintu kamar dan hanya menemukan ketenangan saat tidur. Saat tidur, setidaknya tidak ada suara-suara hinaan atau omongan tak menyenangkan yang menyakiti pendengaranku. Namun pagi selalu datang, membangunkanku dari tidur dan memaksaku kembali menatap kenyataan yang suram.
Ada kalanya aku bahkan enggan membuka mata dan menghadapi hari yang terus mengingatkan pada masa depan yang penuh rasa sial menurutku. Orang lain tampak bebas bermain-main tanpa harus menghadapi tatapan sinis, hinaan, atau gelak tawa yang menyakitkan. Sementara aku keluar rumah hanya untuk mencari udara segar, mencoba mendinginkan hati dan pikiran, tapi tetap saja rasa tidak nyaman dan ketidakpercayaan diri itu tidak pernah hilang.
Kesialan seperti bayangan yang mengikuti langkahku, meski orang-orang mungkin sudah memahami kondisiku. Sering kali aku berpikir bahwa hidupku tidak seharusnya bermula jika hanya untuk dilihat sebagai seseorang yang sial oleh mata orang lain.
