Tragedi Supir Ambulance

Tragedi Supir Ambulance


Kisah ini mengupas perjalanan hidup seorang sopir ambulans yang menjadi korban dari kondisi mobil ambulans tua yang ia kemudikan. Meski ia sepenuhnya sadar akan kekurangan dan kerusakan mobil tersebut, dedikasinya untuk tetap menjalankan tugas berakhir dengan tragedi. Pada suatu hari, insiden tak terduga terjadi, menewaskan sang sopir di dalam ambulans itu sendiri.

Di sebuah rumah sakit besar, ada seorang sopir ambulans bernama Pak Budi. Ia dikenal sebagai sosok pekerja senior yang telah lama mengabdikan diri di sana. Dedikasinya begitu besar meski ia sering menghadapi tantangan kerja yang melelahkan. Tak jarang, keletihan yang ia alami berujung pada tertidur saat bertugas karena beban kerja yang berat. Pak Budi mengemban tugas tersebut sendirian selama bertahun-tahun, membuat fisiknya makin terkuras seiring bertambahnya usia.

Kondisi ini tentu tak luput dari perhatian pihak manajemen rumah sakit. Atasan Pak Budi menyadari bahwa sosoknya yang sudah lanjut usia sering kewalahan menjalani pekerjaannya. Terutama dengan meningkatnya jumlah jenazah yang harus diantar setiap harinya, mereka memutuskan untuk merekrut dua sopir baru guna meringankan pekerjaan Pak Budi.

Dua orang tersebut adalah Tama dan Rama, sosok muda yang penuh semangat. Keduanya diperkenalkan secara langsung kepada Pak Budi, sang senior di bidang tersebut. Dengan senyuman ramah, Tama dan Rama menyapa Pak Budi untuk memperkenalkan diri.

“Pak, perkenalkan, saya Tama, dan ini Rama. Kami adalah sopir ambulans baru yang akan bertugas di rumah sakit ini,” ujar keduanya. 

Mendengar itu, Pak Budi menyambut mereka dengan antusias. "Oh, salam kenal ya, Tama dan Rama. Mudah-mudahan kalian betah bekerja di sini. Akhirnya setelah sekian lama saya punya teman juga sebagai sopir ambulans!" ucapnya dengan nada gembira.

Begitulah awal pertemuan mereka, membawa secercah harapan baru bagi Pak Budi yang selama ini menjalani tugas berat sendirian. Bagaimana hubungan mereka bertiga berkembang selanjutnya? Kisah ini masih akan terus bergulir, penuh dinamika kerja di balik roda ambulans tua yang telah menjadi saksi bisu perjuangan dan pengabdian mereka.

Tama dan Rama awalnya adalah dua pekerja yang cukup disiplin di rumah sakit. Setiap hari mereka menjalankan tugas dengan baik, mendengarkan arahan, dan membantu tanpa keluhan. Namun, hari-hari berlalu dan rasa malas mulai menggerogoti keduanya. Tama dan Rama tak lagi seproduktif dulu. Mereka bahkan kerap menghindari pekerjaan dengan berbagai alasan yang terkesan dibuat-buat, meninggalkan tanggung jawab mereka di pundak Pak Budi. Salah satu tugas yang sering mereka hindari adalah mengantar jenazah ke rumah duka, sebuah tugas yang seharusnya menjadi bagian dari tanggung jawab mereka.

Pak Budi, seorang pria yang penuh kesabaran dan rendah hati, selalu mengalah. Meski bukan tugas utamanya, ia ikhlas mengambil alih tanggung jawab tersebut demi memastikan semuanya berjalan lancar. Pak Budi tetap bekerja tanpa mengeluh, bahkan ketika merasa dirinya sedang dimanfaatkan oleh Tama dan Rama. Namun, seiring berjalannya waktu, perlakuan kedua rekan kerjanya ini semakin tidak bisa diterima, hingga suatu saat Pak Budi memutuskan untuk berhenti menuruti permintaan mereka yang tak adil.

Keputusan Pak Budi untuk menolak tampaknya membuat Tama dan Rama sedikit tersadar. Dalam kemarahan kecil, mereka akhirnya menjalankan tugas mereka sendiri. Tetapi masalah tidak berhenti sampai di situ. Mobil tua yang digunakan Pak Budi untuk berbagai tugas sering kali bermasalah—mogok di tengah jalan atau remnya macet. Mobil itu sudah sangat tua karena memang sudah dipakai sejak dia mulai bekerja di rumah sakit, tanpa pernah diperbaiki secara menyeluruh.

Suatu waktu, ketika mobil Pak Budi kembali bermasalah, ia meminta bantuan Tama dan Rama untuk mengantar jenazah ke rumah duka dengan mobil mereka. Pak Budi berpikir bahwa setelah beberapa kali membantu Tama dan Rama menyelesaikan pekerjaan mereka, kali ini tentu mereka mau membantunya sebagai bentuk balas budi. Sayangnya, keduanya menolak dengan berbagai alasan. Mereka mengeluh sedang lelah dan butuh istirahat, bahkan enggan meminjamkan mobil mereka kepada Pak Budi. Mereka berdalih bahwa mobil mereka terlalu bersih untuk digunakan.

Pak Budi akhirnya tak punya pilihan lain kecuali memakai mobil tuanya untuk melaksanakan tugas sore itu. Awalnya perjalanan berjalan lancar. Jenazah berhasil diantar ke rumah keluarga almarhum tanpa hambatan berarti. Namun, saat dalam perjalanan pulang ke rumah sakit, hal yang tak terduga terjadi. Mobil yang dikendarai Pak Budi tiba-tiba kehilangan kendali. Rem mobil tak berfungsi, dan kendaraan melaju semakin kencang tanpa bisa dihentikan.

Di tengah kepanikannya, Pak Budi mencoba berbagai cara untuk menghentikan mobil tersebut, namun semua usahanya gagal. Mobil terus melaju liar hingga akhirnya terjun bebas dari jalan layang. Hantaman keras itu membuat mobil hancur berkeping-keping dan terbakar hebat. Api menjalar dengan cepat, memunculkan kepanikan di lokasi kejadian.

Pengemudi lain yang melihat insiden ini segera berkumpul di pusat kejadian kecelakaan. Mereka dibuat kaget sekaligus sedih dengan apa yang baru saja terjadi. Kejadian ini tidak hanya menjadi pelajaran berat bagi Pak Budi—jika ia selamat—tapi juga seharusnya menjadi bahan renungan bagi Tama dan Rama atas sikap mereka selama ini. Kecerobohan dan ketidakpedulian terkadang bisa berujung pada tragedi besar yang semestinya bisa dihindari jika semua pihak berbagi tanggung jawab dengan bijak.

Ketika ditemukan, Pak Budi sudah tidak bernyawa dengan luka yang sangat parah. Bahkan, kaki dan tangan Pak Budi hancur terjepit bodi mobil yang rusak parah. Proses evakuasi berlangsung dramatis, banyak orang yang tidak sanggup menyaksikan kondisinya karena rasa iba. Sementara itu, pihak rumah sakit yang menunggu kedatangan Pak Budi mulai khawatir karena ia tak kunjung kembali. Mereka mencoba menghubunginya, tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya, mereka melakukan panggilan kedua hingga mendapatkan kabar mengejutkan bahwa Pak Budi mengalami kecelakaan dan berada dalam kondisi tragis.

Dengan penuh kepanikan, pihak rumah sakit segera menuju lokasi kecelakaan. Di sisi lain, Tama dan Rama yang mendengar kabar tersebut merasa kaget dan gemetar. Mereka menyadari apa yang sebenarnya menjadi penyebab kecelakaan Pak Budi, yang membuat Rama semakin terpukul oleh rasa bersalah.

Keduanya lantas pergi ke lokasi kejadian untuk membantu mengangkut jenazah Pak Budi. Saat tiba di sana, mereka melihat kondisi jasad Pak Budi yang begitu mengenaskan dengan tubuh berlumuran darah serta kaki dan tangan yang hancur. Pemandangan tersebut membuat Tama dan Rama tak sanggup menahan diri. Rama bahkan terus menangis tak henti dan diliputi ketakutan hingga sulit mengendalikan dirinya, membuatnya tidak berani melihat langsung jenazah Pak Budi saat dimasukkan ke dalam mobil.

Setelah itu, jenazah Pak Budi dibawa ke rumah sakit untuk dimandikan. Pihak rumah sakit meminta Tama dan Rama mengantarkan jenazah ke rumah duka. Namun, keduanya tak sanggup melakukannya karena diliputi rasa trauma dan penyesalan yang mendalam. Mereka merasa sangat bersalah, hingga seolah-olah mengalami tekanan batin yang menyiksa. Akhirnya, Tama dan Rama mengakui kesalahan besar mereka.

Mereka memberitahu bahwa sebenarnya mereka adalah penyebab tidak langsung dari kecelakaan Pak Budi. Mobil yang digunakan oleh Pak Budi mengalami kerusakan berat, tetapi saat itu mereka sengaja tidak meminjamkan mobil milik mereka kepada Pak Budi. Alasannya karena mereka menyimpan rasa kesal terhadap Pak Budi yang sering memberikan banyak tugas kepada mereka di tempat kerja. Keduanya akhirnya menyesali keputusannya yang egois itu.

Dengan rasa bersalah yang mendalam, Tama dan Rama menyatakan kesediaan untuk bertanggung jawab penuh atas kejadian tersebut, bahkan rela dipenjara demi menebus penyesalan mereka dan memberikan keadilan bagi almarhum Pak Budi.
Load comments