Featured Post

Recommended

Cinta Hanyalah Sebuah Kata

Kisah ini diadaptasi dari cerita tentang sepasang kekasih yang saling mencintai dengan tulus. Mereka telah menjalin hubungan selama hampir s...

Cinta Hanyalah Sebuah Kata

Cinta Hanyalah Sebuah Kata


Kisah ini diadaptasi dari cerita tentang sepasang kekasih yang saling mencintai dengan tulus. Mereka telah menjalin hubungan selama hampir sepuluh tahun. Pada awalnya, hubungan mereka berjalan mulus tanpa masalah. Seolah-olah kebersamaan mereka tidak pernah diwarnai cekcok atau pertengkaran.

Pasangan itu bernama Arya dan Ira, yang dikenal sebagai dua insan yang berani dalam menjalani kisah cinta mereka. Hubungan mereka yang telah berlangsung cukup lama ternyata tidak mudah untuk disatukan. Hal ini disebabkan oleh ketidakrestuan dari kedua belah pihak keluarga, baik dari pihak Arya maupun Ira.

Banyak yang mengatakan bahwa mereka tidak diizinkan bersatu karena konflik lama antara keluarga masing-masing yang belum teratasi. Pertikaian tersebut berdampak pada keputusan keluarga untuk tidak merestui hubungan anak-anak mereka. Meski begitu, Arya dan Ira tidak pernah menyerah. Mereka terus mencari cara dan berjuang demi cinta mereka.

Arya, yang sangat mencintai Ira, tidak sedikit pun gentar dengan larangan dari keluarganya. Begitu pula Ira yang tetap teguh mendampingi Arya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menjalani hubungan secara diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua mereka. Meski begitu, mungkin saja kedua keluarga sebenarnya menyadari adanya hubungan ini, namun memilih untuk diam karena merasa tidak lagi mampu mengendalikan keputusan anak-anak mereka yang telah dewasa.

Arya dan Ira menjalani hubungan mereka dengan penuh cinta dan keromantisan. Arya, yang sangat menyayangi dan mencintai Ira, menjadi sosok pria yang benar-benar bertanggung jawab serta menjaga kekasihnya dengan sepenuh hati. Hal ini membuat Ira merasa sangat nyaman dan diperlakukan istimewa oleh Arya.

Namun, seiring berjalannya waktu, dalam hubungan yang telah berlangsung cukup lama itu, Arya mulai menunjukkan sifat posesif. Ira sering dilarang melakukan hal-hal tertentu, dan pertengkaran mulai kerap terjadi di antara mereka. Hubungan yang dulunya harmonis perlahan berubah menjadi penuh perselisihan, sehingga keduanya beberapa kali membicarakan kemungkinan mengakhiri hubungan. Meski begitu, Ira yang sangat mencintai Arya dan menghargai segala kenangan mereka tetap berusaha mempertahankan hubungan tersebut.

Ira sering kali mengalah dengan meminta maaf demi memperbaiki keadaan. Namun, di lubuk hatinya, ia merasa Arya telah berubah menjadi pribadi yang berbeda, tidak seperti dulu ketika memberikan kebebasan kepadanya. Hal ini membuat Ira penasaran tentang apa yang diinginkan pasangannya. Dengan perasaan galau, Ira memberanikan diri untuk menemui Arya, mencari kejelasan agar keduanya dapat kembali memperbaiki hubungan tanpa adanya amarah atau keinginan untuk saling menjauh.

Ira datang menghampiri Arya dan bertanya dengan lembut, "Sayang...".

Arya dengan nada datar menjawab, "Kenapa? Tumben kamu datang?"

Ira sedikit terkejut mendengar tanggapan Arya yang terasa dingin, berbeda dari biasanya. Meski begitu, ia mencoba mengesampingkan pikirannya dan melanjutkan pertanyaan yang sudah ia pikirkan sejak tadi. "Aku ganggu waktumu nggak? Aku mau ngobrol serius sama kamu," tuturnya dengan lembut dan sedikit manja.

"Sampaikan saja," jawab Arya singkat.

"Kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Kok berubah, bahkan sering kali marah padaku? Apa aku ada salah sampai kamu jadi seperti ini?" tanya Ira dengan suara penuh kesedihan.

Arya tampak kaget mendengar pertanyaan tersebut. Ia terdiam cukup lama, tak langsung memberikan jawaban.

"Sayang, kenapa diam? Kamu marah sama aku, ya?" desak Ira, mencoba mencari kepastian.

Akhirnya, karena Ira terus mendesak, Arya dengan berat hati menjawab, "Baiklah... Kalau kamu memang ingin tahu apa masalahku selama ini hingga aku bisa berubah seperti ini padamu."

Ira yang sepenuh hati menyimak jawaban Arya, justru makin dibuat penasaran dengan semua yang diutarakan kekasihnya. Hingga akhirnya, Arya pun perlahan mengungkapkan apa yang selama ini mengganjal di hatinya.

"Aku sudah menjalani hubungan ini bersamamu selama sepuluh tahun. Tapi kamu tidak pernah sekalipun menunjukkan makna cinta yang membuatku percaya sepenuhnya..."

Kata-kata Arya menghentak Ira, membekukan hatinya. Ia terkejut mendengar celah begitu besar dalam pandangan Arya tentang cinta mereka. Tak ingin kesalahpahaman terus berkembang, Ira, yang sebetulnya merasa dirinya telah memberikan segalanya, akhirnya membuka suara dengan nada penuh keyakinan.

"Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu? Kalau aku tidak cinta, kenapa aku tetap di sini, menjalani hubungan bertahun-tahun bersamamu? Aku tidak pernah sekalipun mengurangi rasa cintaku padamu!" ucap Ira tegas, sesekali menahan emosi.

Namun respons Arya justru memperkeruh suasana. Suaranya meninggi, membawa luka yang sempat tersimpan.

"Kalau kamu sadar kita sudah bersama selama ini, kenapa kamu tidak pernah membuktikan cinta itu kepadaku? Kenapa kamu tidak membuatku yakin bahwa kamu tidak akan meninggalkanku?"

Kata-kata Arya seperti tamparan bagi Ira. Ia terdiam sejenak, mencoba memahami maksud sang kekasih. Tapi alih-alih menemukan jawaban, ia malah tenggelam dalam kebingungan.

"Bukti? Bukti apa lagi yang kamu butuhkan dariku?" gumam Ira dalam hati, bernada getir.

Perdebatan mulai tak terelakkan. Ira merasa apa yang selama ini ia lakukan sudah cukup untuk membuktikan cintanya. Tapi untuk Arya, masih ada kekosongan yang belum terisi. Keduanya terjebak dalam jurang miskomunikasi, saling mencari keseimbangan di tengah cinta yang terasa goyah. Kadang, cinta memang bukan soal lamanya waktu bersama, melainkan bagaimana masing-masing memahami bahasa cinta pasangannya.

Arya, yang merasa frustrasi karena Ira tidak memahami maksud dan keinginannya, akhirnya marah dan pergi meninggalkan Ira. Namun, Ira yang bingung berusaha mengejarnya, meminta Arya untuk menjelaskan dengan jelas bentuk bukti cinta yang ia inginkan darinya. Arya berhenti dan tidak pergi lebih jauh, sementara Ira terus memohon agar Arya memberi jawaban.

Arya kemudian berbicara, menyampaikan bahwa bukti cinta yang ia inginkan adalah kedekatan fisik dengan Ira. Mendengar hal itu, Ira terkejut dan merespons dengan nada tegas. Ia dengan tegas menolak permintaan tersebut karena merasa hal itu terlarang dan sangat menakutkan baginya, terlebih ia belum pernah melakukan hal serupa sebelumnya. Meskipun Ira mencoba menjelaskan dan memberikan pengertian pada Arya, keinginan kuat Arya membuatnya enggan mendengar nasihat dari Ira.

Arya akhirnya menyerah dan berkata bahwa ia tidak akan memaksa Ira. Namun, ia juga menuduh hubungan mereka hanya didasarkan pada kata-kata kosong dan penuh kebohongan. Dengan kecewa, Arya pergi meninggalkan Ira.

Ira yang mendengar pernyataan Arya merasa terguncang dan menangis. Ia berada dalam dilema besar, takut kehilangan Arya namun juga takut mengambil risiko besar yang bertentangan dengan prinsip dan rasa hormatnya terhadap orang tua. Ketidakpastian ini membuat Ira sangat gelisah.

Hari-hari berlalu tanpa kabar dari Arya. Dua minggu lamanya, Arya tidak menemui atau menghubungi Ira sama sekali. Merasa takut kehilangan pria yang telah lama bersamanya, Ira akhirnya mengambil keputusan untuk memberikan apa yang diinginkan Arya demi menjaga hubungan mereka.

Ira menemui Arya dan menyatakan persetujuannya atas permintaan sang kekasih. Mendengar keputusan itu, Arya merasa senang dan menjadi kembali seperti sosok yang perhatian dan baik layaknya di awal hubungan mereka. Dengan hati yang masih ragu tetapi yakin akan pilihannya, Ira akhirnya menyerah pada keinginan Arya dan melakukannya demi mempertahankan hubungan mereka.

Setelah kejadian itu, hubungan keduanya tampak membaik. Arya tak lagi menunjukkan sikap marah atau posesif terhadap Ira. Namun, seiring berjalannya waktu, Ira mulai merasa ada perubahan aneh pada tubuhnya. Ia sering merasa pusing, mual, dan menyadari bahwa sudah cukup lama ia tidak mengalami menstruasi. Diliputi kekhawatiran, Ira memutuskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya.

Pada akhirnya, ketakutan Ira benar-benar menjadi kenyataan. Ia dinyatakan positif hamil, dan kabar itu membuatnya menangis karena bingung dan takut menghadapi situasi tersebut. Ketakutannya terhadap reaksi orang tua membuat Ira memutuskan untuk memberitahu Arya, kekasihnya. Dengan gemetar, ia mengirimkan foto hasil tes kehamilan melalui ponselnya kepada Arya.

Tidak lama setelah itu, Arya membalas pesannya, "Apa kamu benar-benar hamil? Itu anakku, kan?"

Mendapat respon seperti itu, Ira merasa marah dan kecewa. Ia langsung membalas pesan Arya dengan emosi, "Kamu pikir aku hamil dengan orang lain? Memangnya aku ini wanita seperti apa? Jelas-jelas aku hanya pernah bersama kamu, dan itu pun pertama kali!"

Air mata kembali membasahi wajah Ira. Jawaban Arya yang menyakitinya membuatnya menangis dan penuh kekecewaan. Namun, setelah merespons pesannya dengan marah, Arya justru tidak lagi membalas. Hal itu membuat Ira semakin bingung dan panik. Ia terus mencoba menghubungi Arya berulang kali, tetapi tidak ada satu pun jawaban. Karena tak tahan dengan ketidakpastian ini, ia memutuskan untuk menemui Arya langsung untuk mencari jalan keluar—semua itu dilakukan sebisa mungkin agar orang tuanya tidak mengetahui masalah ini.

Ketika Ira tiba di tempat biasa ia dan Arya sering bertemu, Arya tidak ada di sana. Merasa putus asa, Ira akhirnya memberanikan diri untuk mendatangi rumah Arya secara langsung. Pada titik ini, rasa takut terhadap orang tuanya mulai terkalahkan oleh kegelisahannya menyelesaikan masalah ini.

Setibanya di rumah Arya, Ira mengetuk pintu perlahan sambil mengucap salam, "Assalamualaikum..." Pintu kemudian terbuka, dan yang muncul adalah ibu Arya. Wajah sang ibu menampilkan ketidaksenangan yang jelas.

"Ada apa kamu datang ke rumah saya?" tanya ibu Arya dengan nada dingin.

"Saya hanya ingin bertemu dengan Arya," jawab Ira dengan sopan.

"Tidak ada Arya di sini! Lagipula, untuk apa kamu masih cari-cari anak saya? Bukankah sudah saya bilang, jangan ganggu dia lagi?" balas ibu Arya dengan nada penuh sinis.

Ira, yang keras kepala dan penuh tekad, sangat ingin bertemu Arya saat itu. Ia bahkan memaksa masuk ke rumah Arya untuk mencarinya. Namun, ia tidak menemukan Arya di sana. Ibunya mengatakan bahwa Arya telah pergi ke luar negeri untuk bekerja dan melanjutkan pendidikannya.

Ira sulit mempercayai perkataan ibu Arya. Ia menangis dan merasa lemah, gemetar karena tak percaya bahwa laki-laki yang dicintainya telah membohonginya dan bahkan menipunya. Dalam keputusasaannya, Ira hanya bisa menangis sambil kebingungan tentang bagaimana menghadapi kehamilannya yang kini menjadi beban berat di pundaknya.

Perasaan kecewa dan kekacauan yang menghancurkan dirinya mendorong Ira untuk mengambil keputusan tragis. Ia merasa tak memiliki siapa pun lagi untuk bergantung. Membesarkan anak seorang diri adalah hal yang tidak mungkin baginya, dan ia takut menghadapi amarah orang tuanya jika mereka mengetahui ia hamil di luar nikah. 

Dalam keadaan buntu, Ira memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara melompat ke laut. Tak lama kemudian, tubuhnya ditemukan oleh seorang warga, yang segera memberi tahu keluarganya bahwa Ira telah meninggal dunia dengan cara bunuh diri. Keluarga Ira yang terkejut dan tak percaya menyesali kehilangan itu. Mereka menangis seraya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi hingga putri mereka memilih jalan sedih tersebut.

Sementara itu, Arya, yang sebenarnya tidak pergi ke luar negeri, akhirnya mendengar kabar tentang bunuh dirinya Ira. Ia terhenyak, dipenuhi rasa penyesalan atas kebohongannya, atas ketidakmauannya bertanggung jawab kepada Ira yang ternyata sedang mengandung anaknya. Perasaan bersalah itu terus memburunya dan perlahan menghancurkan dirinya sendiri, hingga akhirnya Arya mengalami gangguan jiwa yang kian parah seiring waktu.
Kisah Padepokan Jawa

Kisah Padepokan Jawa


Ada kisah tentang seorang putri kerajaan yang diusir oleh orang tuanya. Ia dikenal sebagai sosok cantik dan ramah, selalu rendah hati meski berasal dari kerajaan terkenal di tempatnya.

Berbeda dengan adik-adiknya, mereka justru menunjukkan sifat arogan dan menuntut penghormatan dari warga. Sikap sombong ini membuat mereka dibandingkan dengan sang kakak, yang jauh lebih disukai karena kepribadiannya.

Kerajaan tersebut dipimpin Raja Fadrikha dan Ratu Ayunda, pasangan yang mendambakan anak laki-laki untuk melanjutkan takhta. Meski lama menanti, mereka tak pernah dikaruniai anak laki-laki.

Dari ketiga anaknya, yang semuanya adalah perempuan, Raja Fardikha pernah merasa kecewa pada istrinya karena belum juga dikaruniai seorang anak laki-laki. Karena itu, Raja Fardikha meminta izin kepada istrinya untuk menikahi wanita lain demi mendapatkan anak laki-laki. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh istrinya, Ayunda, yang bersikeras dan berjanji bahwa jika ia hamil lagi, anak keempat mereka pasti akan laki-laki.

Meskipun begitu, Raja Fardikha tetap merasa ragu pada janji istrinya. Ia meminta kepastian darinya bahwa anak berikutnya benar-benar akan berjenis kelamin laki-laki. Istrinya lalu berucap bahwa jika anak keempat mereka ternyata masih perempuan, ia akan merelakan suaminya menikahi wanita lain. Mendengar janji tersebut, Raja Fardikha memutuskan mengikuti perkataan istrinya.

Tanpa disadari oleh keduanya, putri pertama mereka, Dewi Sri, mendengar percakapan tersebut. Perkataan sang ayah membuat Dewi Sri terkejut sekaligus sedih. Ia merasa hancur mengetahui ayahnya ingin mencari wanita lain hanya karena menginginkan anak laki-laki. 

Perasaan itu terus membekas di hati Dewi Sri, hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya langsung pada ibunya. Dewi Sri mendekati ibunya dengan rasa penasaran bercampur kesedihan. Ia mempertanyakan mengapa ayahnya sangat terobsesi memiliki anak laki-laki sampai rela menyakiti hati ibunya dengan keinginan untuk menduakan pernikahan mereka.

Biyung, bolehkah aku bertanya sesuatu? tanya Dewi dengan suara lembut sembari duduk di belakang ibunya.

Ada apa, Dewi? Tumben kamu masuk ke kamar Biung, jawab ibunya dengan nada penasaran.

Dewi, sebagai anak sulung, merasa cemas dan gelisah oleh apa yang ia lihat dan dengar tentang orang tuanya belakangan ini. Akhirnya, ia memberanikan diri untuk berbicara dengan ibunya demi menghapus keraguan dan rasa was-was yang menghantui.

Maaf, Biung, jika Dewi lancang... Kemarin tanpa sengaja aku melihat Biung dan Ayahanda bertengkar... Namun, ada sesuatu yang Ayahanda katakan yang membuatku susah tidur, jadi aku nekat bertanya ini pada Biung, ucapnya dengan suara gemetar.

Ayunda, sang ibu, terkejut mengetahui anaknya menyadari adanya perselisihan dengan sang suami. Kebingungan melingkupinya—jujur terhadap anak sulungnya bisa membuat Dewi kehilangan rasa hormat terhadap ayahnya, namun berbohong pun berisiko mengecewakan anaknya.

Itu hanya salah paham saja, nak, ujar Ayunda dengan raut wajah yang berusaha menutupi kebohongannya.

Jangan bohong, Biung. Aku mendengar semuanya dengan jelas. Benarkah Ayahanda meminta anak laki-laki dan istri baru? tanya Dewi dengan penuh keseriusan.

Terdesak oleh desakan Dewi yang terus menerus meminta kejujuran, Ayunda akhirnya memberanikan diri untuk menjelaskan alasan di balik keinginan suaminya kala itu.

Pada akhirnya, singkat cerita, Dewi Sri—anak perempuan pertama—menyadari bahwa ayahnya memerlukan sosok pewaris takhta kerajaan. Kesadaran itu membuatnya semakin gigih dan bertekad untuk berubah. Ia berupaya menjadi seorang putri yang kuat, tangguh, dan memiliki keberanian seperti seorang prajurit. Dalam pikirannya, seorang pewaris takhta tak selalu harus laki-laki. Wanita pun mampu meneruskan titah kerajaan jika memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuannya.

Dewi Sri juga tidak ingin melihat ibunya terluka atau ayahnya menikah lagi demi mendapatkan keturunan laki-laki. Dengan penuh keberanian, ia memutuskan untuk menjadi seorang putri kerajaan yang tegas dan pantang menyerah dalam menghadapi segala tantangan. Ia selalu hadir di tengah berbagai persoalan, bahkan kericuhan, meskipun tindakannya tersebut akhirnya diketahui oleh ayahnya. Sang raja, yang merasa tidak nyaman melihat putrinya bertindak seperti pemimpin, marah besar. Baginya, wanita hanya pantas menjadi permaisuri dan tinggal di istana, bukan melibatkan diri dalam bahaya atau urusan seperti seorang raja.

Ayahnya bersikeras bahwa hanya anak laki-laki yang layak mewarisi takhta dan melanjutkan kepemimpinan. Rasa kecewa pun menyelimuti Dewi Sri. Ia tenggelam dalam kebingungan, memikirkan cara untuk meyakinkan ayahnya agar berhenti mencari seorang pewaris laki-laki. Dalam usahanya itu, ia harus melihat kenyataan bahwa kedua adiknya justru berbeda jauh darinya. Kedua adik perempuannya hanya sibuk mempercantik diri dan menghabiskan harta orang tua tanpa peduli dengan keadaan kerajaan.

Tidak hanya hidup bermewah-mewahan dan manja, mereka juga dikenal sombong dan sama sekali tidak menghargai orang lain. Sikap ini membuat banyak orang di kerajaan tidak menyukai mereka. Bahkan, tingkah laku mereka sering kali menimbulkan masalah dan memicu keributan di sekitarnya. Dewi Sri pun semakin merasa tanggung jawab besar berada di pundaknya.
Kepercayaan Berujung Kecewa

Kepercayaan Berujung Kecewa


Kisah ini diambil dari cerita tentang sepasang suami istri yang menjalani kehidupan penuh kebahagiaan. Hubungan mereka dapat dikatakan sangat harmonis, dibangun dengan sentuhan romantis yang membuat banyak orang mengagumi cara mereka berumah tangga. Pasangan ini sering dijadikan teladan oleh banyak orang. Selain romantis, mereka juga dikenal ramah terhadap para tetangga, bahkan disebut sebagai pasangan yang rukun dan kompak dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

Awalnya, pasangan ini menjalin hubungan meskipun berasal dari latar belakang agama dan kepercayaan yang berbeda. Namun, cinta yang tulus di antara mereka mampu mengatasi perbedaan tersebut hingga akhirnya mereka bersatu dan menikah. Perbedaan keyakinan dan agama tidak menjadi penghalang; sebaliknya, mereka berhasil menyelaraskan semuanya hingga menjadi satu kesatuan.

Jerry merupakan anak dari keluarga non-Muslim, sementara Velisa berasal dari keluarga Muslim yang kuat memegang nilai-nilai keagamaan. Cinta Jerry kepada Velisa begitu dalam sehingga ia rela berkorban demi bersama wanita yang dicintainya. Dengan tekad yang mantap, Jerry memutuskan untuk menjadi seorang mualaf demi kekasih hatinya, meski keputusan itu belum ia utarakan kepada keluarganya.

Didorong oleh rasa cintanya yang besar dan ketakutannya kehilangan sosok yang dicintainya, Jerry akhirnya mengajak Velisa untuk diperkenalkan kepada kedua orang tuanya. Ia juga berharap orang tuanya dapat memberikan restu atas hubungan mereka, sekaligus menerima keputusannya untuk berpindah agama demi Velisa. Namun, Velisa merasa belum siap dan menolak ajakan Jerry. 

Velisa khawatir jika pertemuan ini justru akan membawa jawaban atau reaksi yang tidak menyenangkan. Ketakutan akan kekecewaan membuatnya ragu-ragu untuk melangkah lebih jauh. Namun, Jerry terus membujuk dengan kesabaran dan keyakinan yang kuat hingga akhirnya Velisa setuju untuk bertemu dengan kedua orang tua Jerry.

Jerry dan Velisa akhirnya melangkah menuju rumah orang tua Jerry. Setibanya di sana, Velisa tiba-tiba merasa gugup, seolah jantungnya berdegup kencang. Rasa tidak percaya diri terhadap ide Jerry membuat Velisa terlintas ingin pulang kembali tanpa bertemu dengan keluarganya. Namun, dengan dorongan dan keyakinan dari Jerry, Velisa akhirnya memberanikan diri melangkah untuk bertemu calon mertuanya.

Dengan hati yang diliputi kecemasan dan pikiran yang tak menentu, Velisa menginjakkan kaki di ruang tamu keluarga Jerry. Di sana, ia bertemu kedua orang tua Jerry. Saat bersalaman dengan mereka, Velisa duduk di kursi ruang tamu dengan wajah yang memancarkan kegugupan dan sedikit gemetar. Tak lama duduk, salah satu orang tua Jerry mulai berbicara dengan lembut.

Velisa terkejut mendengar suara tersebut, mencoba merespons dengan sopan saat sang ibu berkata, "Jadi ini, Velisa, yang Jerry maksudkan mau dikenalkan ke ibu, ya?"

"Ya, Bu... Maaf saya lancang datang ke sini tanpa membawa apa-apa..." jawab Velisa terbata-bata.

Sang ibu segera menenangkan, "Tidak perlu minta maaf. Ibu tidak minta apa-apa kok. Ibu justru senang kalau anak ibu sudah ada yang menjaga."

Mendengar jawaban ramah dan penuh perhatian dari calon mertuanya, rasa gugup Velisa perlahan memudar. Ia mulai merasa lebih nyaman karena kehangatan yang terpancar dari kedua orang tua Jerry. Tak lama kemudian, Jerry yang duduk di samping Velisa meminta izin kepada keluarganya untuk menikah dengan Velisa sekaligus ingin berpindah agama.

Mendengar permintaan Jerry, Velisa kembali merasa gugup. Ia khawatir bagaimana tanggapan orang tuanya terhadap niat tersebut. Namun, tanpa ragu, ayah dan ibunya menjawab dengan lembut, "Ibu dan bapak tidak akan pernah menghalangi kamu, Jerry. Jika itu memang yang terbaik untukmu dan kamu yakin, jalani saja. Ibu dan bapak akan mendukung kalian demi kebahagiaan bersama."

Jawaban penuh kasih tersebut memberi ketenangan bagi Velisa. Perlahan, ia tersenyum bahagia dan merasa lega karena kekhawatirannya telah teratasi. Dengan penuh syukur, Velisa berterima kasih kepada calon mertuanya atas kebaikan hati mereka. Jerry, yang mantap dengan keputusannya, akhirnya langsung memutuskan untuk berpindah agama dan mengikuti keyakinan agama muslim sesuai permintaan Velisa.

Jerry akhirnya memutuskan untuk melamar Velisa, dan tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk melangsungkan pernikahan. Kehidupan pernikahan mereka dipenuhi kebahagiaan dan gelak tawa, menjalani hari-hari bersama dengan penuh cinta. Jerry, yang telah memeluk agama baru, semakin mendalami kepercayaannya. Perubahan positif dalam dirinya membawa kebahagiaan tidak hanya bagi Velisa, tetapi juga untuk kedua orang tuanya.

Waktu berlalu, hari berganti menjadi bulan, dan bulan menjadi tahun. Selama tiga tahun menjalani rumah tangga, Jerry tumbuh menjadi pria yang dikenal sebagai pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Dedikasinya membuat Velisa semakin mencintai dan mempercayainya. Hingga pada tahun ketiga pernikahan mereka, kabar besar datang: Velisa mengandung anak pertama mereka. 

Kabar kehamilan Velisa disambut dengan kegembiraan oleh Jerry serta seluruh keluarganya. Mereka begitu menantikan kehadiran anggota baru dalam keluarga kecil mereka. Kehamilan ini membawa perhatian lebih dari Jerry kepada Velisa, membuatnya merasa semakin disayangi. Jerry dan orang tuanya sangat bersyukur atas karunia tersebut, memperlakukan Velisa dengan penuh kasih sayang.

Tak lama kemudian, Velisa melahirkan seorang bayi laki-laki yang menjadi buah hati pertama mereka. Perasaan bahagia memenuhi hati Jerry karena untuk pertama kalinya ia merasakan menjadi seorang ayah. Sejak saat itu, ia semakin giat bekerja demi keluarga, menunjukkan tanggung jawabnya secara nyata. Bahkan sepulang bekerja, meski lelah, Jerry kerap membantu istrinya mengurus rumah tangga tanpa keluhan.

Namun, kebahagiaan itu perlahan mulai memudar ketika perhatian Jerry terhadap Velisa tidak lagi seperti sebelumnya. Belakangan, Velisa merasa ada sesuatu yang berubah dari suaminya. Jerry sering pulang terlambat, bahkan kadang tidak pulang ke rumah tanpa memberikan penjelasan atau kabar. Kecemasan mulai menghantui Velisa, dan pertanyaan demi pertanyaan muncul di benaknya tentang ke mana suaminya sebenarnya pergi.

Ketegangan makin terasa di rumah tangga mereka, yang sebelumnya harmonis penuh tawa kini sering kali diwarnai dengan perselisihan. Pertengkaran semakin kerap terjadi hingga terdengar pula oleh orang tua dari kedua belah pihak, menggambarkan situasi rumah tangga yang mulai tak lagi seindah dulu.

Orang tua Velisa mulai merasa aneh karena kedua anak mereka, yang sebelumnya terlihat damai dan bahagia dalam rumah tangga, kini sering bertengkar. Situasi itu kerap membuat Velisa dan suaminya kembali ke rumah orang tua untuk membahas masalah mereka. Orang tua mereka sering bertanya, apa yang sebenarnya terjadi hingga hubungan yang harmonis berubah menjadi penuh cekcok.

Velisa, yang mulai curiga dengan perubahan sikap suaminya, merasa bahwa Jerry mungkin berselingkuh. Namun, ia memilih untuk menahan diri dan menyimpan semua kecurigaan itu karena belum memiliki bukti konkret untuk mengungkapkannya.

Hingga akhirnya, pada hari libur Jerry, yang biasanya suka membantu dan mengurus anak mereka tanpa diminta, tampak acuh tak acuh. Bahkan ketika anaknya menangis di depannya, Jerry tetap tidak peduli. Hal ini membuat Velisa marah dan emosinya memuncak. Dia semakin kehilangan kesabaran terhadap Jerry.

Di suatu malam saat Jerry tertidur, rasa penasaran Velisa mengalahkan dirinya. Ia pun memberanikan diri untuk memeriksa ponsel suaminya, sesuatu yang sebelumnya tak pernah dilakukannya. Dengan hati-hati, ia membuka ponsel itu, mencari tahu penyebab perubahan sikap Jerry.

Dugaan Velisa ternyata benar. Ia menemukan bukti bahwa suaminya tengah menjalin hubungan dengan wanita lain, seorang rekan kerja yang tampaknya sering berinteraksi dengan Jerry. Fakta ini membuat Velisa hancur hati. Ia memutuskan untuk menunggu waktu yang tepat untuk mengonfrontasi suaminya.

Namun, suatu hari, Jerry dengan emosi tinggi meluapkan kemarahannya kepada Velisa. Ia menyebutkan bahwa Velisa tidak mampu menjadi istri yang baik, hanya karena Velisa kelelahan dan lupa menyiapkan pakaian kerja untuknya. Tuduhan itu begitu menyakitkan bagi Velisa yang selama ini sudah bekerja keras mengurus rumah dan anak mereka.

Rasa lelah dan sakit hati yang menumpuk akhirnya membuat Velisa tidak bisa lagi menahan diri. Ia langsung mengonfrontasi Jerry tentang perselingkuhannya. Alih-alih merasa bersalah, Jerry dengan sombong mengakui hubungannya dengan wanita lain. Ia bahkan berkata bahwa wanita itu lebih cantik dan mampu melayaninya dengan baik dibanding Velisa.

Mendengar ucapan tersebut, hati Velisa remuk. Tanpa ingin memperpanjang perbincangan, ia mengambil keputusan besar untuk meninggalkan Jerry. Dengan membawa anaknya, ia kembali ke rumah orang tuanya. Sementara itu, Jerry justru merasa lega dengan kepergian Velisa. Ia bahkan berencana menceraikannya demi bisa bersama wanita lain, tanpa sedikit pun memedulikan perasaan dan nasib istrinya.

Akhirnya, Jerry menikah dengan wanita baru tanpa meminta izin atau melibatkan Velisa dalam keputusannya. Sementara itu, Velisa menjalani hidup berdua dengan anak hasil pernikahannya bersama Jerry. Dengan kerja keras, ia berhasil membesarkan anaknya tanpa bantuan sedikit pun dari Jerry. Meskipun Jerry memiliki pekerjaan yang mapan dengan gaji besar, kebahagiaannya bersama istri barunya tidak berlangsung lama. Istrinya, yang jauh berbeda dari Velisa, hanya menghabiskan uang Jerry untuk hal-hal tidak penting, hingga membuat keuangan Jerry menjadi semakin boros.

Situasi menjadi semakin sulit ketika Jerry mulai terlilit banyak utang akibat kebiasaan istrinya yang gemar berbelanja dan bepergian. Beban finansial yang semakin besar membuat Jerry tertekan, hingga ia mulai menyesali keputusannya meninggalkan Velisa demi istri barunya. Dia menyadari bahwa selama bersama Velisa, kehidupannya lebih teratur. Velisa mampu mengelola uang yang diberikan dengan baik, bahkan menabung, sehingga keluarga mereka tidak pernah berutang.

Di sisi lain, istri barunya, yang hidup dalam kemewahan tanpa mau berusaha, hanya menambah beban bagi Jerry. Selain itu, sifatnya yang tidak tahu bersyukur membuat Jerry merasa tidak dihargai sebagai suami. Penyesalan yang mendalam muncul dalam diri Jerry, dan ia mulai berpikir untuk kembali menemui Velisa dan memperbaiki hubungan mereka.

Namun, Velisa yang sudah terluka dan kecewa tidak ingin lagi berurusan dengan Jerry. Ia bahkan menolak untuk mempertemukannya dengan anak mereka. Bagi Velisa, anaknya tumbuh besar karena hasil kerja keras dirinya sendiri, bukan dari kontribusi Jerry. Dengan keteguhan hati Velisa untuk tidak memberi Jerry kesempatan lagi, Jerry pun merasa hidupnya berantakan. Penyesalan dan kekecewaan atas keputusan yang telah dibuatnya membawa Jerry pada kebimbangan dan jalan buntu dalam hidupnya.
Boneka Arwah

Boneka Arwah


Ada sebuah kisah tentang seorang anak perempuan bernama Lola yang memiliki hobi unik, yaitu mengoleksi boneka di rumahnya. Sejak kecil, Lola sangat menyukai bermain dan mengumpulkan berbagai jenis boneka. Baginya, boneka bukan sekadar mainan, melainkan teman bermain sekaligus teman sehari-hari yang selalu menemaninya.

Lola sangat jarang berinteraksi atau berteman dengan anak-anak sebayanya. Setiap hari, dia lebih suka menghabiskan waktu bermain hanya dengan boneka-boneka kesayangannya. Meskipun ia memilih bermain sendiri dengan boneka, hal itu tidak membuatnya merasa kesepian. Sebaliknya, Lola merasa nyaman dan bahagia, seolah-olah boneka-bonekanya adalah teman-teman sungguhan yang selalu ada untuknya. Orang tuanya pun memandang kebiasaan ini sebagai hal yang wajar. Mereka melihat hobi Lola sebagai sesuatu yang normal untuk gadis seusianya yang gemar bermain dan bahkan mengoleksi boneka.

Ibunya berpikir bahwa anak perempuan pada umumnya memang sering menunjukkan ketertarikan pada boneka, sehingga ia dan suaminya mendukung hobi Lola tanpa mempertanyakan lebih jauh. Mereka selalu berusaha memenuhi keinginan Lola untuk menambah koleksi bonekanya. Namun, seiring berjalannya waktu, ibu Lola mulai menyadari ada sesuatu yang berbeda pada anaknya.

Ia mulai memperhatikan bahwa Lola tidak hanya bermain dengan boneka, tetapi juga berbicara kepada mereka seolah-olah boneka itu hidup. Bahkan, terkadang Lola terlihat seperti mendapatkan respons dari bonekanya, meski hal tersebut tampak tidak masuk akal. Kejadian ini membuat ibunya mulai khawatir dan memutuskan untuk lebih intens mengamati perilaku Lola saat bermain.

Namun, Lola tidak suka jika dirinya terlalu diawasi ketika sedang asyik bermain dengan boneka-boneka kesayangannya. Perasaan khawatir sang ibu semakin besar hingga akhirnya ia membicarakan hal ini kepada suaminya. Ia menceritakan segala keanehan yang ia perhatikan pada perilaku Lola belakangan ini dan berbagi ketakutannya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada anak mereka.

Ayah, sini, aku ingin bicara, ujar sang ibu dengan nada penuh kegelisahan. Ayahnya yang terkejut segera mendekat, melihat sang istri yang tampak tergesa-gesa. 

Ada apa, Bu? Kenapa kelihatannya seperti ketakutan? tanya sang ayah dengan heran.

Lola, Yah. Ibu perhatikan, akhir-akhir ini dia semakin aneh. Ibu khawatir ada sesuatu yang salah dengan mental anak kita. Karena dari apa yang ibu lihat, Lola bukan sekadar bermain biasa, ungkap sang ibu dengan nada panik.

Maksudnya bagaimana, Bu? Kamu bilang anak kita gila? Tidak mungkin! jawab ayahnya dengan nada tak percaya. Lola hanya suka bermain boneka, itu wajar. Memangnya apa yang aneh dari itu? ujar sang ayah, mencoba menenangkan.

Bukan itu maksud ibu. Ibu sering melihat Lola berbicara sendiri. Dia rapi-rapikan bonekanya setiap hari, bahkan memandikan dan mengganti bajunya sambil berbicara seperti sedang berdialog. Yang membuat ibu takut, dia tampak benar-benar menikmati percakapan itu, seakan ada sosok lain yang benar-benar menjawabnya, kata sang ibu dengan nada penuh kekhawatiran.

Melihat istrinya yang diliputi rasa cemas, sang ayah akhirnya memutuskan untuk mencari solusi. Ia mengajak istrinya membawa Lola ke seorang "orang pintar". Harapannya adalah memastikan tidak ada yang salah dengan kesehatan pikiran anak mereka, atau mencari jawaban atas perilaku Lola. Setelah berdiskusi, pasangan itu pun sepakat membawa anak mereka ke orang pintar tersebut.

Sesampainya di rumah orang pintar, sesuatu yang tak terduga terjadi. Saat orang pintar membuka pintu, Lola tiba-tiba berlari masuk ke dalam rumah tanpa henti. Ayah dan ibunya sontak terkejut, begitu pula orang pintar itu yang tampak sedikit terperanjat melihat tingkah Lola. Namun kemudian, yang lebih aneh lagi terjadi—Lola terlihat menyapa seseorang di dalam rumah tersebut. Namun anehnya, ayah dan ibunya tidak melihat siapa pun yang dia sapa.

Berbeda dengan ayah dan ibunya, orang pintar tersebut tampak mengerti apa yang sedang terjadi. Dengan suara dingin, ia berkata: Anak kalian memiliki kemampuan untuk melihat makhluk lain. Di rumah ini, aku tidak bekerja sendirian. Ada makhluk-makhluk lain di sini yang juga membantuku. Dan makhluk itulah yang sedang disapa oleh anak kalian.

Penjelasan itu membuat ayah dan ibunya terdiam kaku, mencoba mencerna situasi yang tak masuk akal di depan mereka.

Ayah dan ibu Lola yang mendengarkan penjelasan dari orang pintar itu semakin yakin bahwa anak mereka memiliki kemampuan yang tidak biasa, bahkan terasa aneh. Akibatnya, ibunya menjadi ketakutan dan panik setelah mengetahui bahwa keanehan Lola begitu mengkhawatirkan. Dalam kegelisahan, ayah Lola bertanya pada orang pintar tersebut apakah anaknya bisa disembuhkan.

Namun, jawaban yang mereka terima terasa mengejutkan. Orang pintar itu mengatakan bahwa Lola tidak dapat disembuhkan karena sejak lahir ia sudah memiliki kemampuan semacam itu. Ditambah lagi, kondisi Lola diperburuk dengan fakta bahwa ia sudah terlalu dekat dengan sosok makhluk halus yang kini menetap di dalam tubuhnya. Mendengar hal tersebut, sang ibu semakin kalut. Ia memohon agar orang pintar tersebut membantu mengusir sosok tersebut dari tubuh anaknya. Sang ibu bahkan mengatakan bahwa apa pun yang dibutuhkan akan ia penuhi asalkan Lola bisa sembuh.

Sayangnya, orang pintar itu menolak untuk membantu karena mengetahui bahwa makhluk halus yang berada dalam tubuh Lola adalah sosok anak kecil yang memiliki hubungan sangat erat dengan Lola. Menurutnya, memisahkan mereka tidak hanya membahayakan nyawa Lola tetapi juga dirinya sendiri.

Kedua orang tua Lola pun merasa putus asa. Mereka menangis dengan penuh rasa sedih, bingung harus melakukan apa untuk melepaskan makhluk tersebut dari kehidupan anaknya. Sang ibu berharap agar Lola bisa kembali hidup normal dan bermain dengan anak-anak manusia lainnya seperti anak seusianya pada umumnya.

Makhluk halus yang ada di tubuh Lola ternyata adalah boneka arwah yang telah bersamanya sejak kecil. Boneka ini begitu menyayangi Lola karena kasih sayang yang telah diberikan padanya. Lola sering merawat dan membersihkan boneka itu dengan penuh perhatian, sehingga membuat boneka arwah tersebut merasa nyaman dan semakin menyayangi Lola.

Ketika sang ibu terus-terusan menangis tanpa henti karena tidak mampu menyembuhkan anaknya, boneka arwah itu merasa iba melihat penderitaan ibu Lola. Sedih mendengar kenyataan bahwa Lola tidak akan pernah hidup normal seperti anak-anak lainnya, makhluk itu akhirnya memutuskan untuk berbicara kepada sang ibu. Karena kedua orang tua Lola tidak bisa melihatnya secara langsung, boneka arwah itu mendekati orang pintar tersebut dan meminta tolong dengan suara penuh tekad agar ia menyampaikan pesannya kepada mereka. Makhluk itu menyatakan bahwa ia ingin berbicara dengan ibu dan ayah Lola melalui perantara orang pintar tersebut.

Sosok orang pintar itu akhirnya berkata dengan nada serius, "Makhluk yang ada di dalam tubuh anakmu ingin berbicara dengan kalian berdua." Kedua orang tua Lola terkejut mendengar hal tersebut. Mereka merasa ragu, antara percaya atau tidak, namun dengan sedikit gugup dan rasa takut, mereka akhirnya mencoba menerima permintaan itu.

Tiba-tiba, Lola yang saat itu sedang dirasuki oleh makhluk penjaganya menjadi sosok yang berbeda dari biasanya. Sikapnya berubah drastis, tidak seperti Lola kecil yang dikenal lembut dan ceria. Dengan tatapan tajam penuh keseriusan, ia melangkah mendekati kedua orang tuanya. Tanpa berkata apa-apa terlebih dahulu, ia berlutut langsung di depan ibunya, duduk dalam posisi bersimpuh di dekat kakinya.

Ibunya yang mulai gemetar melihat perubahan tidak biasa pada Lola, merasa takut sekaligus cemas. Tetapi demi kebaikan anak tercinta, kedua orang tua Lola memutuskan untuk mencoba berani menghadapi situasi ini. Makhluk yang merasuki tubuh Lola kemudian memegang tangan ibunya erat-erat sambil berbicara dengan nada penuh penyesalan.

"Ibu, maafkan aku... Jika keberadaanku mengganggumu, menakutimu, atau membuatmu cemas pada anakmu. Aku bukan makhluk jahat. Aku hanya menjaga anakmu agar dia tidak merasa sendirian. Anakmu sangat baik kepadaku—mengasihiku dengan ketulusan dan kasih sayang," ucap makhluk itu penuh perasaan.

Meski diliputi ketakutan, ibu Lola mendengarkan dengan saksama sambil berusaha mengendalikan gejolak di hatinya. Keringat dingin bercucuran, dan lidahnya nyaris kelu. Namun setelah hening yang cukup lama, sang ibu akhirnya memberanikan diri berbicara. Dengan suara bergetar namun penuh ketegasan, ia berkata, "Tidak apa-apa... Aku hanya memohon kepadamu untuk menjauhi anakku. Jika kamu ingin menjaganya, lakukanlah dari kejauhan. Jangan berkomunikasi, apalagi bermain langsung dengannya. Aku ingin anakku hidup normal seperti anak-anak lainnya…"

Makhluk itu pun tampak terdiam beberapa saat sebelum merespons dengan nada sedih. "Baik... jika itu permintaanmu. Aku akan meninggalkan anakmu dan menjauhinya. Aku tidak akan mengganggu lagi," jawabnya sambil melepaskan genggaman tangan sang ibu dengan penuh haru.

Di balik keputusannya, ibu Lola bukan berniat sepenuhnya melarang makhluk itu menjaga anaknya. Ia hanya khawatir jika keberadaan makhluk itu akan membuat Lola dijauhi atau di-bully oleh teman-temannya. Ibu mana yang bisa tenang melihat anaknya dianggap aneh atau bahkan digosipkan gila oleh lingkungan sekitar? Dia hanya menginginkan masa depan yang lebih baik bagi buah hatinya.

Setelah percakapan itu, makhluk tersebut benar-benar memenuhi janjinya untuk menjauh. Dia tetap menjaga Lola dari jauh tanpa menunjukkan diri lagi. Sejak saat itu, Lola mulai menjalani kehidupan yang lebih normal. Dengan berbagai usaha dari kedua orang tuanya, perlahan tapi pasti Lola bisa bermain dengan teman-temannya yang sebaya seperti anak-anak lain pada umumnya. Butuh waktu dan kesabaran, namun akhirnya Lola mulai terbiasa dengan kehidupan barunya bersama manusia sejati di sekitarnya.
Anak yang di larang

Anak yang di larang


Rasya merupakan anak tunggal dari sebuah keluarga konglomerat yang sangat dihormati oleh masyarakat di sekitarnya. Keluarga Rasya berasal dari garis keturunan bangsawan yang memiliki kekayaan melimpah serta kedudukan tinggi. Tidak heran, keluarganya dikenal sangat tertutup dan hampir tidak pernah terlihat mengalami masalah apapun di mata orang lain.

Sebagai anak semata wayang, Rasya menjadi sosok yang begitu disayangi oleh kedua orang tuanya. Namun, statusnya tersebut membuatnya kerap terkungkung dengan batasan-batasan yang diberikan, hingga sulit baginya untuk mendapatkan kebebasan mencari teman. Rasya sering menghabiskan waktu hanya di dalam atau sekitaran rumahnya, yang lambat laun membuatnya merasa jenuh dan bosan.

Rasya beberapa kali memohon kepada orang tuanya agar diizinkan mencari teman dan bermain di tempat-tempat yang ia inginkan. Namun, permintaan itu selalu ditolak. Orang tuanya berpendapat bahwa Rasya bukan anak sembarangan, melainkan berasal dari keluarga bangsawan yang harus menjaga martabat. Mereka merasa tidak semua tempat atau teman sesuai dengan standar keluarga mereka.

Seiring bertambahnya usia, rasa bosan dalam diri Rasya semakin besar. Ia pun mulai memberontak dan sering kali tidak lagi mendengarkan ucapan orang tuanya. Dengan tekad kuat, Rasya menjalin pertemanan dengan siapa pun yang ia kehendaki, meskipun dianggap tidak pantas oleh sang ayah dan ibu. Tindakan ini sempat memicu kemarahan orang tuanya hingga berujung pada hukuman berat—Rasya dilarang keluar rumah untuk alasan apa pun.

Perlahan-lahan Rasya terpaksa menuruti keinginan keluarganya, menjalani hidup sesuai aturan mereka. Namun, orang tuanya mulai menyadari adanya perubahan pada sikap anak semata wayangnya. Rasya kerap terlihat tertawa sendirian, lalu di lain waktu menangis tanpa alasan yang jelas. Hal ini memunculkan kekhawatiran mendalam bagi kedua orang tuanya. Mereka merasa Rasya menyimpan beban yang tidak pernah ia ungkapkan, menyebabkan perilaku aneh yang semakin terlihat dari hari ke hari.

Orang tua Rasya semakin khawatir melihat perubahan perilaku anak mereka yang semakin aneh setiap hari. Suatu malam, mereka memutuskan mengunjungi kamar Rasya. Ibunya mengetuk pintu dan mencoba berbicara dengan lembut saat melihat Rasya duduk termenung sambil menatap jendela.

Ibunya bertanya dengan penuh perhatian, "Rasya, kenapa kamu sering diam dan terlihat sedih belakangan ini? Jika ada masalah, ceritakan ke Ibu." Namun, Rasya hanya terdiam. Setelah didesak, dengan nada tegas ia menjawab, "Ibu, Ayah ingin tahu kenapa aku begini? Karena kalian! Kalian tidak pernah membiarkan aku hidup bebas. Aku ingin berteman dengan siapa saja, tanpa dibatasi hanya karena perbedaan mayoritas."

Mendengar itu, ayahnya naik pitam. "Apa-apaan kamu bicara seperti itu kepada orang tuamu? Semua ini demi kebaikanmu supaya kamu dihargai!" Rasya justru tertawa sinis, lalu meninggalkan mereka tanpa rasa takut. Ibunya semakin resah melihat perubahan sikap anaknya.

Ayahnya, alih-alih menyadari kesalahan, tetap keras kepala. Sementara itu, kondisi Rasya kian memburuk. Ia mulai merusak barang-barang di kamarnya, berteriak-teriak tak jelas, bahkan sering mengucapkan hal-hal kasar tentang ayahnya. Ketika akhirnya diperiksa oleh profesional, mereka terkejut mengetahui Rasya mengalami gangguan jiwa yang cukup parah. Dengan berat hati, kedua orang tua itu harus merawatnya demi pemulihan.

Penyesalan datang terlambat. Mereka menyadari bahwa perlakuan mereka terhadap Rasya telah menyebabkan trauma yang mengganggu mental anaknya, merusak kehidupannya secara mendalam.
Lukisan Luar Nalar

Lukisan Luar Nalar


Azhar, seorang pemuda dengan kemampuan unik sejak lahir, diberi kelebihan oleh Tuhan untuk melihat keberadaan makhluk halus dan kejadian yang tak bisa dilihat manusia normal. Kemampuan ini mulai ia rasakan sejak usia 5 tahun, dan keluarganya mulai menyadari keanehan pada perilaku Azhar, yang berbeda dari balita lain.

Azhar sering terlihat tertawa dan bermain sendiri, seakan banyak yang menemaninya. Hal ini membuat kedua orang tuanya bingung dan curiga anaknya memiliki keistimewaan. Hari demi hari, tanda-tanda kemampuannya makin jelas. Sang ayah yang mengamati tingkah laku Azhar saat bermain akhirnya menyadari bahwa anaknya tidak hanya aktif secara fisik, tetapi juga memiliki kemampuan melihat makhluk lain.

Mereka meyakini Azhar bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata, karena ia tampak bahagia ketika bermain sendiri, seolah ada sosok yang menemaninya. Orang tuanya sering menyaksikan Azhar tertawa geli, berlari seperti dikejar, bahkan melompat-lompat seolah diajari sesuatu. 

Suatu ketika, sang ibu penasaran dan dengan lembut bertanya kepada Azhar, “Azhar, lagi main sama siapa kok ketawa sendiri?” Azhar yang masih polos menjawab bahwa ia sedang bermain dengan dua temannya. Setelah menjawab, Azhar langsung kembali bermain, tampak seperti ditarik kembali oleh sesuatu untuk melanjutkan keseruan itu.

Mendengar jawaban tersebut, ibunya bergegas masuk ke rumah untuk memberi tahu suaminya. Dengan rasa khawatir yang mendalam, mereka pun membicarakan kondisi Azhar dan keunikan yang dimilikinya.

Ayah, Ayah... sang ibu tergesa-gesa mencari suaminya. Ia sudah tidak sabar untuk memberitahukan hal yang baru saja ia ketahui. Keresahan menghinggapinya karena ia khawatir jika anaknya yang masih kecil terus-menerus bermain dengan makhluk halus, sesuatu yang ia takuti bisa membawa dampak buruk. Anak kecil itu, tentu saja, belum memahami apa itu makhluk halus atau dunia tak kasat mata.

"Ada apa, Bu? Kenapa?" jawab sang suami, terkejut melihat istrinya begitu cemas.

"Itu, Yah... anak kita. Tadi aku tanya Azhar, dia sedang bermain dengan siapa sampai tertawa geli seperti itu. Dia bilang sedang bermain dengan dua temannya. Aku takut kalau benar anak kita punya kelebihan seperti ini dan itu bisa mencelakainya," kata sang ibu dengan nada penuh kekalutan.

Mendengar ucapan istrinya, sang suami mulai merasa khawatir atas kejadian tersebut. Setelah banyak pertimbangan, akhirnya ia memutuskan untuk membawa anaknya ke orang pintar. Tujuannya adalah agar Azhar tidak lagi berinteraksi dengan makhluk-makhluk halus. Sang istri yang setuju dengan keputusan suaminya mengiyakan dengan penuh harap. Tak lama kemudian, mereka berdua berangkat membawa Azhar ke rumah orang pintar untuk mencari solusi.

Namun, setibanya di sana, sesuatu yang tak terduga terjadi. Azhar, yang baru saja masuk ke rumah orang pintar itu, langsung berlari ke sebuah kamar tertentu. Sesampainya di kamar itu, Azhar kembali menunjukkan perilaku aneh seperti berbicara dengan teman-temannya yang tak terlihat, seolah ada banyak teman yang bermain dengannya. Hal ini semakin membuat ibu dan ayahnya panik.

Orang pintar yang belum menemukan kesempatan untuk mendengar cerita lengkap dari orang tua Azhar justru ikut terkejut dengan tingkah sang anak. Setelah sedikit tenang, orang pintar itu berkata bahwa anak mereka sebenarnya sedang bermain bersama "anak-anak" dari dunia lain. Ia juga menjelaskan bahwa kemampuan Azhar melihat makhluk halus adalah bawaan lahir dan tidak bisa disembuhkan.

Orang tua Azhar pun harus menerima kenyataan tersebut dengan hati yang berat. Mereka pulang ke rumah dengan pasrah, mengikhlaskan bahwa putra mereka harus hidup dengan kelebihannya hingga dewasa. Seiring waktu, Azhar mulai terbiasa dengan kemampuannya dan tumbuh dewasa. Ia bahkan kerap membantu banyak orang melalui kemampuan uniknya ini.

Suatu hari, usaha ayah Azhar—sebuah toko barang antik—mulai menghadapi masalah yang besar. Tokonya yang dahulu ramai pembeli tiba-tiba menjadi sepi, seperti kehilangan pelanggan secara drastis. Kebangkrutan pun mengancam bisnis keluarga itu. Ayah dan ibu Azhar dibuat kebingungan; mereka tidak tahu alasan kenapa belakangan ini tak seorang pun tertarik untuk memasuki toko tersebut.

Kabar burung beredar di masyarakat bahwa toko tersebut menyeramkan. Banyak yang mengaku melihat makhluk besar berbulu sering berdiri di depan toko, sehingga pelanggan merasa takut dan menghindari tempat itu. Cerita ini menyebabkan pelanggan-pelanggan setia mereka memutuskan untuk berpindah ke toko lain.

Merasa putus asa, sang ayah akhirnya memutuskan meminta bantuan Azhar. Ia berharap putranya bisa menggunakan kemampuannya untuk memeriksa toko itu dan mengetahui kebenaran isu yang beredar. Setelah mendengar permintaan ayahnya, Azhar segera pergi ke toko untuk menyelidiki masalah ini secara langsung. Isu-isu tentang toko ayahnya pun sudah sampai di telinganya sejak beberapa waktu lalu.

Ketika akhirnya ia memeriksa toko tersebut secara mendalam, Azhar menemukan sumber dari permasalahan itu: sebuah lukisan yang digantung di dalam toko telah diberi susuk atau guna-guna oleh seseorang. Energi negatif dari benda itulah yang membuat orang-orang enggan memasuki toko karena terasa menyeramkan dan penuh aura buruk.

Masalah pun akhirnya terungkap, namun cerita itu belum selesai...

Makhluk yang dilihat Azhar ternyata benar sesuai dengan isu yang beredar di antara orang-orang. Akhirnya, Azhar meminta makhluk tersebut untuk kembali ke tempat asalnya dan tidak lagi mengganggu usaha ayahnya. Sang ayah, yang mengetahui bahwa makhluk itu berasal dari sebuah lukisan, langsung teringat pada seseorang yang pernah memberikan lukisan tersebut.

Ternyata, salah satu temannya yang juga memiliki profesi serupa dan memiliki toko telah memberikan lukisan itu. Teman tersebut mengklaim bahwa lukisan itu akan membawa keberuntungan dan menarik banyak pembeli. Namun, sejak lukisan tersebut berada di toko, tidak ada satu pun pelanggan yang datang. Bahkan, orang-orang yang melintas di depan toko ayah Azhar seolah-olah tidak bisa melihat keberadaannya.

Hal yang lebih aneh adalah toko milik temannya yang biasanya sepi justru menjadi ramai. Banyak pelanggan, termasuk langganan tetap ayah Azhar, beralih ke sana. Setiap hari tokonya penuh sesak, berbeda drastis dari biasanya. Ketika Azhar memberitahukan hal ini kepada sang ayah, barulah ia sadar bahwa dirinya terkena kiriman guna-guna oleh temannya sendiri. Hal ini dilakukan karena kecemburuan akan pendapatannya yang selama ini lebih baik.

Meskipun menyadari hal tersebut, ayah Azhar memilih untuk berhati-hati dengan semua temannya ke depannya. Ia tidak menyimpan dendam, bahkan menganggap kejadian itu sebagai pelajaran berharga, dan memutuskan untuk tidak membalas perbuatan buruk tersebut.
Gelandangan Bermoral

Gelandangan Bermoral

ilustrasi

Hidupku memang jauh dari kata layak, dan pekerjaan yang kulakukan sering kali dianggap sebelah mata, bahkan terkesan dipandang hina. Aku memang bukan berasal dari keluarga kaya raya, tapi aku begitu bangga karena aku mampu bekerja dan bertahan hidup tanpa harus menggantungkan diri dengan meminta belas kasihan orang lain. Meski pekerjaan ini hanya memilah barang-barang bekas yang dibuang mayoritas orang, aku tetap bersyukur dapat menghidupi keluargaku dari hasil kerja keras sendiri.

Aku tak pernah menyimpan dendam atau marah pada orang-orang berada yang kerap mengusirku. Aku juga tak marah ketika ada yang meremehkan atau bahkan melempariku dengan sampah yang mereka anggap pantas untukku. Aku tahu posisiku di masyarakat. Meski begitu, aku dan keluargaku tidak pernah merasa malu akan pekerjaan yang kulakukan, selama usahaku tidak merugikan orang lain.

Sering kali, aku harus menerima kenyataan diusir dari tempat di mana aku berteduh dan bekerja oleh aparat yang datang atas perintah pejabat yang lebih tinggi. Alasannya demi "ketertiban" dan agar tempat tersebut terlihat bersih karena akan digunakan untuk acara politik. Ironisnya, saat mereka menganggap kami kotor atau pekerjaan kami tak layak, tak ada satu pun yang memikirkan bagaimana jika sampah-sampah itu tetap berserakan tanpa kami yang memilahnya. Mereka sibuk mengutamakan estetika agar lingkungan tampak indah di depan mata, tapi hanya saat itu saja—pada momen-momen penting bagi mereka.

Kami para pemulung memang bukan siapa-siapa, tetapi sedikit banyak kami membantu mengurangi tumpukan sampah di sudut-sudut kota. Meski begitu, kami terus dipandang rendah, seakan-akan keberadaan kami tak berarti apa-apa, seperti sampah yang tak pantas dihargai. Menyedihkan rasanya, saat ada acara besar semua langsung diatur dan dibersihkan demi kepentingan tertentu. Tetapi ketika acara selesai, sampah kembali menumpuk tanpa ada yang memberikan perhatian.

Walaupun disebut gelandangan, kami masih memiliki moral dan rasa kepedulian terhadap sesama dan lingkungan. Aku tetap berusaha bertahan di antara gedung-gedung besar yang menaungi para orang kaya itu. Aku sering kali harus menahan kantuk, menghadapi dinginnya malam yang menusuk dan panasnya matahari yang membakar. Semua itu kulakukan demi sesuap nasi untuk keluargaku—tanpa harus meminta-minta dengan menjual kesedihan. Aku bertahan dengan harga diriku.

Berjalan dengan kaki penuh luka akibat kerikil setiap hari tentu berbeda dengan para pejabat yang memiliki kaki bersih, wangi, terawat, memakai sepatu kilat serta pakaian mewah. Berbeda dengan diriku, yang kau anggap manusia tak berguna, tanpa pernah merasakan hidup nyaman atau memakai jas, dasi, dan sepatu rapi berkilat.

Kau hidup enak, hanya duduk santai tanpa perlu mencari makan atau membawa karung berat puluhan kilogram di punggung seperti kami.

Pejabat tinggi hanya duduk di ruangan nyaman namun masih sering mengeluh lelah, tunjangan kecil, atau uang makan yang dianggap kurang layak. Coba rasakan hidupku sebagai gelandangan. Untuk makan saja, kami tak bisa mengeluh lelah. Tidak ada waktu bersantai atau tidur nyenyak. Kami terus berjuang demi sebungkus nasi, tanpa tahu rasa makanan yang bagi kalian "tidak enak."

Jangan menjadi pejabat yang menghancurkan hati rakyat kecil. Tugasmu adalah melindungi, bukan mengabaikan mereka yang berada di bawah. Jabatan bukan alasan untuk merendahkan. Jangan lupa, gaji yang kau terima berasal dari kerja keras mereka yang mungkin kau anggap tak berarti.
Gali Lobang Tutup Lobang

Gali Lobang Tutup Lobang

ilustrasi

Cerita ini mengisahkan tentang sepasang suami istri yang menjalani kehidupan rumah tangga dipenuhi gaya hidup penuh gengsi dan jauh dari kesederhanaan. Keduanya terbiasa hidup boros, selalu ingin terlihat lebih di mata orang lain, tanpa mempertimbangkan kemampuan mereka. Kebiasaan ini membuat hubungan rumah tangga mereka sering diliputi amarah dan konflik.

Kehidupan yang enggan untuk hidup sederhana membawa mereka pada kondisi penuh kebingungan dan rasa gelisah. Tidak ada di antara mereka yang berinisiatif memberikan contoh hidup apa adanya. Sebaliknya, mereka mencoba meniru gaya hidup orang-orang yang lebih berada, meski sebenarnya tidak sesuai dengan situasi mereka. 

Mereka kerap menghabiskan uang untuk menikmati makanan mahal dan membeli pakaian dengan harga fantastis. Tak jarang, pasangan ini juga terlihat berlibur hanya demi menunjukkan bahwa mereka adalah keluarga yang mampu. Namun, gaya hidup memaksakan diri seperti ini perlahan membuat keuangan mereka semakin sulit, hingga akhirnya menyulitkan mereka sendiri.

Reza, sang suami, memiliki sifat tidak ingin dianggap miskin atau tidak mampu. Ia bekerja di sebuah perusahaan yang dikenal bergengsi, yang menurut banyak orang memberikan gaji besar. Meski begitu, posisi Reza hanyalah sebagai pegawai biasa di perusahaan tersebut, ia sebenarnya berhasil bekerja di sana berkat bantuan salah satu anggota keluarganya.

Gajinya pun tidak sebesar yang orang-orang bayangkan, namun ia dan istrinya terus berusaha menciptakan citra sebagai pasangan kaya demi mendapatkan pengakuan dari lingkungan sekitar. Kebiasaan mereka memaksakan diri untuk hidup bergelimang kemewahan tak hanya membuat situasi ekonomi mereka semakin berat, tapi juga menjauhkan mereka dari ketenangan yang seharusnya bisa dirasakan dalam kehidupan rumah tangga.

Hidup yang sudah menjadi rutinitas akhirnya berubah menjadi hidup tanpa rasa syukur, penuh ketidakpuasan. Istri Reza sejak awal terbiasa dengan kemewahan karena berasal dari keluarga kaya. Gaya hidup borosnya pun menjadi hal yang wajar baginya. Demi membahagiakan istrinya, Reza rela berjuang keras, hingga banyak berutang untuk memenuhi keinginannya. Namun, rumah tangga mereka semakin rumit karena hidup tak pernah sederhana.

Ketegangan mulai muncul ketika penagih utang sering datang ke rumah saat Reza tidak ada di sana, membuat istrinya harus menanggung malu. Kondisi ini memicu pertengkaran. Istrinya yang lelah dan malu terus-menerus didatangi kolektor akhirnya sering kembali ke rumah orang tuanya. Bahkan, di luar rumah, ia kerap dihampiri oleh orang tak dikenal yang menagih utang, menciptakan perasaan tidak nyaman dan stres.

Pada puncaknya, sang istri meminta cerai. Mendengar itu, Reza marah besar. "Setelah semua yang aku lakukan untukmu, kamu malah mau cerai?" katanya dengan nada tinggi. Namun, istrinya yang sudah jenuh tidak peduli. Ia tetap bersikeras ingin berpisah karena merasa lelah dan dipermalukan.

Amarah Reza memuncak hingga membuatnya kasar terhadap istrinya. Di tengah kemarahannya, ia berkata, "Aku gali lubang utang ini hanya demi mengikuti gaya hidupmu, karena aku sayang padamu dan tak ingin kamu kecewa. Tapi kini, setelah utang menumpuk, dengan mudahnya kamu minta cerai!"

Namun istrinya tak menggubris. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengemas barang-barangnya lalu meninggalkan Reza untuk kembali ke rumah orang tuanya. Rumah tangga yang dulunya penuh canda tawa kini berubah menjadi penyesalan mendalam. Reza harus menerima kenyataan menjalani hidupnya sendiri tanpa sosok yang ia cintai.