Cinta Hanyalah Sebuah Kata
PercintaanKisah ini diadaptasi dari cerita tentang sepasang kekasih yang saling mencintai dengan tulus. Mereka telah menjalin hubungan selama hampir sepuluh tahun. Pada awalnya, hubungan mereka berjalan mulus tanpa masalah. Seolah-olah kebersamaan mereka tidak pernah diwarnai cekcok atau pertengkaran.
Pasangan itu bernama Arya dan Ira, yang dikenal sebagai dua insan yang berani dalam menjalani kisah cinta mereka. Hubungan mereka yang telah berlangsung cukup lama ternyata tidak mudah untuk disatukan. Hal ini disebabkan oleh ketidakrestuan dari kedua belah pihak keluarga, baik dari pihak Arya maupun Ira.
Banyak yang mengatakan bahwa mereka tidak diizinkan bersatu karena konflik lama antara keluarga masing-masing yang belum teratasi. Pertikaian tersebut berdampak pada keputusan keluarga untuk tidak merestui hubungan anak-anak mereka. Meski begitu, Arya dan Ira tidak pernah menyerah. Mereka terus mencari cara dan berjuang demi cinta mereka.
Arya, yang sangat mencintai Ira, tidak sedikit pun gentar dengan larangan dari keluarganya. Begitu pula Ira yang tetap teguh mendampingi Arya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menjalani hubungan secara diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua mereka. Meski begitu, mungkin saja kedua keluarga sebenarnya menyadari adanya hubungan ini, namun memilih untuk diam karena merasa tidak lagi mampu mengendalikan keputusan anak-anak mereka yang telah dewasa.
Arya dan Ira menjalani hubungan mereka dengan penuh cinta dan keromantisan. Arya, yang sangat menyayangi dan mencintai Ira, menjadi sosok pria yang benar-benar bertanggung jawab serta menjaga kekasihnya dengan sepenuh hati. Hal ini membuat Ira merasa sangat nyaman dan diperlakukan istimewa oleh Arya.
Namun, seiring berjalannya waktu, dalam hubungan yang telah berlangsung cukup lama itu, Arya mulai menunjukkan sifat posesif. Ira sering dilarang melakukan hal-hal tertentu, dan pertengkaran mulai kerap terjadi di antara mereka. Hubungan yang dulunya harmonis perlahan berubah menjadi penuh perselisihan, sehingga keduanya beberapa kali membicarakan kemungkinan mengakhiri hubungan. Meski begitu, Ira yang sangat mencintai Arya dan menghargai segala kenangan mereka tetap berusaha mempertahankan hubungan tersebut.
Ira sering kali mengalah dengan meminta maaf demi memperbaiki keadaan. Namun, di lubuk hatinya, ia merasa Arya telah berubah menjadi pribadi yang berbeda, tidak seperti dulu ketika memberikan kebebasan kepadanya. Hal ini membuat Ira penasaran tentang apa yang diinginkan pasangannya. Dengan perasaan galau, Ira memberanikan diri untuk menemui Arya, mencari kejelasan agar keduanya dapat kembali memperbaiki hubungan tanpa adanya amarah atau keinginan untuk saling menjauh.
Ira datang menghampiri Arya dan bertanya dengan lembut, "Sayang...".
Arya dengan nada datar menjawab, "Kenapa? Tumben kamu datang?"
Ira sedikit terkejut mendengar tanggapan Arya yang terasa dingin, berbeda dari biasanya. Meski begitu, ia mencoba mengesampingkan pikirannya dan melanjutkan pertanyaan yang sudah ia pikirkan sejak tadi. "Aku ganggu waktumu nggak? Aku mau ngobrol serius sama kamu," tuturnya dengan lembut dan sedikit manja.
"Sampaikan saja," jawab Arya singkat.
"Kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Kok berubah, bahkan sering kali marah padaku? Apa aku ada salah sampai kamu jadi seperti ini?" tanya Ira dengan suara penuh kesedihan.
Arya tampak kaget mendengar pertanyaan tersebut. Ia terdiam cukup lama, tak langsung memberikan jawaban.
"Sayang, kenapa diam? Kamu marah sama aku, ya?" desak Ira, mencoba mencari kepastian.
Akhirnya, karena Ira terus mendesak, Arya dengan berat hati menjawab, "Baiklah... Kalau kamu memang ingin tahu apa masalahku selama ini hingga aku bisa berubah seperti ini padamu."
Ira yang sepenuh hati menyimak jawaban Arya, justru makin dibuat penasaran dengan semua yang diutarakan kekasihnya. Hingga akhirnya, Arya pun perlahan mengungkapkan apa yang selama ini mengganjal di hatinya.
"Aku sudah menjalani hubungan ini bersamamu selama sepuluh tahun. Tapi kamu tidak pernah sekalipun menunjukkan makna cinta yang membuatku percaya sepenuhnya..."
Kata-kata Arya menghentak Ira, membekukan hatinya. Ia terkejut mendengar celah begitu besar dalam pandangan Arya tentang cinta mereka. Tak ingin kesalahpahaman terus berkembang, Ira, yang sebetulnya merasa dirinya telah memberikan segalanya, akhirnya membuka suara dengan nada penuh keyakinan.
"Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu? Kalau aku tidak cinta, kenapa aku tetap di sini, menjalani hubungan bertahun-tahun bersamamu? Aku tidak pernah sekalipun mengurangi rasa cintaku padamu!" ucap Ira tegas, sesekali menahan emosi.
Namun respons Arya justru memperkeruh suasana. Suaranya meninggi, membawa luka yang sempat tersimpan.
"Kalau kamu sadar kita sudah bersama selama ini, kenapa kamu tidak pernah membuktikan cinta itu kepadaku? Kenapa kamu tidak membuatku yakin bahwa kamu tidak akan meninggalkanku?"
Kata-kata Arya seperti tamparan bagi Ira. Ia terdiam sejenak, mencoba memahami maksud sang kekasih. Tapi alih-alih menemukan jawaban, ia malah tenggelam dalam kebingungan.
"Bukti? Bukti apa lagi yang kamu butuhkan dariku?" gumam Ira dalam hati, bernada getir.
Perdebatan mulai tak terelakkan. Ira merasa apa yang selama ini ia lakukan sudah cukup untuk membuktikan cintanya. Tapi untuk Arya, masih ada kekosongan yang belum terisi. Keduanya terjebak dalam jurang miskomunikasi, saling mencari keseimbangan di tengah cinta yang terasa goyah. Kadang, cinta memang bukan soal lamanya waktu bersama, melainkan bagaimana masing-masing memahami bahasa cinta pasangannya.
Arya, yang merasa frustrasi karena Ira tidak memahami maksud dan keinginannya, akhirnya marah dan pergi meninggalkan Ira. Namun, Ira yang bingung berusaha mengejarnya, meminta Arya untuk menjelaskan dengan jelas bentuk bukti cinta yang ia inginkan darinya. Arya berhenti dan tidak pergi lebih jauh, sementara Ira terus memohon agar Arya memberi jawaban.
Arya kemudian berbicara, menyampaikan bahwa bukti cinta yang ia inginkan adalah kedekatan fisik dengan Ira. Mendengar hal itu, Ira terkejut dan merespons dengan nada tegas. Ia dengan tegas menolak permintaan tersebut karena merasa hal itu terlarang dan sangat menakutkan baginya, terlebih ia belum pernah melakukan hal serupa sebelumnya. Meskipun Ira mencoba menjelaskan dan memberikan pengertian pada Arya, keinginan kuat Arya membuatnya enggan mendengar nasihat dari Ira.
Arya akhirnya menyerah dan berkata bahwa ia tidak akan memaksa Ira. Namun, ia juga menuduh hubungan mereka hanya didasarkan pada kata-kata kosong dan penuh kebohongan. Dengan kecewa, Arya pergi meninggalkan Ira.
Ira yang mendengar pernyataan Arya merasa terguncang dan menangis. Ia berada dalam dilema besar, takut kehilangan Arya namun juga takut mengambil risiko besar yang bertentangan dengan prinsip dan rasa hormatnya terhadap orang tua. Ketidakpastian ini membuat Ira sangat gelisah.
Hari-hari berlalu tanpa kabar dari Arya. Dua minggu lamanya, Arya tidak menemui atau menghubungi Ira sama sekali. Merasa takut kehilangan pria yang telah lama bersamanya, Ira akhirnya mengambil keputusan untuk memberikan apa yang diinginkan Arya demi menjaga hubungan mereka.
Ira menemui Arya dan menyatakan persetujuannya atas permintaan sang kekasih. Mendengar keputusan itu, Arya merasa senang dan menjadi kembali seperti sosok yang perhatian dan baik layaknya di awal hubungan mereka. Dengan hati yang masih ragu tetapi yakin akan pilihannya, Ira akhirnya menyerah pada keinginan Arya dan melakukannya demi mempertahankan hubungan mereka.
Setelah kejadian itu, hubungan keduanya tampak membaik. Arya tak lagi menunjukkan sikap marah atau posesif terhadap Ira. Namun, seiring berjalannya waktu, Ira mulai merasa ada perubahan aneh pada tubuhnya. Ia sering merasa pusing, mual, dan menyadari bahwa sudah cukup lama ia tidak mengalami menstruasi. Diliputi kekhawatiran, Ira memutuskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya.
Pada akhirnya, ketakutan Ira benar-benar menjadi kenyataan. Ia dinyatakan positif hamil, dan kabar itu membuatnya menangis karena bingung dan takut menghadapi situasi tersebut. Ketakutannya terhadap reaksi orang tua membuat Ira memutuskan untuk memberitahu Arya, kekasihnya. Dengan gemetar, ia mengirimkan foto hasil tes kehamilan melalui ponselnya kepada Arya.
Tidak lama setelah itu, Arya membalas pesannya, "Apa kamu benar-benar hamil? Itu anakku, kan?"
Mendapat respon seperti itu, Ira merasa marah dan kecewa. Ia langsung membalas pesan Arya dengan emosi, "Kamu pikir aku hamil dengan orang lain? Memangnya aku ini wanita seperti apa? Jelas-jelas aku hanya pernah bersama kamu, dan itu pun pertama kali!"
Air mata kembali membasahi wajah Ira. Jawaban Arya yang menyakitinya membuatnya menangis dan penuh kekecewaan. Namun, setelah merespons pesannya dengan marah, Arya justru tidak lagi membalas. Hal itu membuat Ira semakin bingung dan panik. Ia terus mencoba menghubungi Arya berulang kali, tetapi tidak ada satu pun jawaban. Karena tak tahan dengan ketidakpastian ini, ia memutuskan untuk menemui Arya langsung untuk mencari jalan keluar—semua itu dilakukan sebisa mungkin agar orang tuanya tidak mengetahui masalah ini.
Ketika Ira tiba di tempat biasa ia dan Arya sering bertemu, Arya tidak ada di sana. Merasa putus asa, Ira akhirnya memberanikan diri untuk mendatangi rumah Arya secara langsung. Pada titik ini, rasa takut terhadap orang tuanya mulai terkalahkan oleh kegelisahannya menyelesaikan masalah ini.
Setibanya di rumah Arya, Ira mengetuk pintu perlahan sambil mengucap salam, "Assalamualaikum..." Pintu kemudian terbuka, dan yang muncul adalah ibu Arya. Wajah sang ibu menampilkan ketidaksenangan yang jelas.
"Ada apa kamu datang ke rumah saya?" tanya ibu Arya dengan nada dingin.
"Saya hanya ingin bertemu dengan Arya," jawab Ira dengan sopan.
"Tidak ada Arya di sini! Lagipula, untuk apa kamu masih cari-cari anak saya? Bukankah sudah saya bilang, jangan ganggu dia lagi?" balas ibu Arya dengan nada penuh sinis.
Ira, yang keras kepala dan penuh tekad, sangat ingin bertemu Arya saat itu. Ia bahkan memaksa masuk ke rumah Arya untuk mencarinya. Namun, ia tidak menemukan Arya di sana. Ibunya mengatakan bahwa Arya telah pergi ke luar negeri untuk bekerja dan melanjutkan pendidikannya.
Ira sulit mempercayai perkataan ibu Arya. Ia menangis dan merasa lemah, gemetar karena tak percaya bahwa laki-laki yang dicintainya telah membohonginya dan bahkan menipunya. Dalam keputusasaannya, Ira hanya bisa menangis sambil kebingungan tentang bagaimana menghadapi kehamilannya yang kini menjadi beban berat di pundaknya.
Perasaan kecewa dan kekacauan yang menghancurkan dirinya mendorong Ira untuk mengambil keputusan tragis. Ia merasa tak memiliki siapa pun lagi untuk bergantung. Membesarkan anak seorang diri adalah hal yang tidak mungkin baginya, dan ia takut menghadapi amarah orang tuanya jika mereka mengetahui ia hamil di luar nikah.
Dalam keadaan buntu, Ira memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara melompat ke laut. Tak lama kemudian, tubuhnya ditemukan oleh seorang warga, yang segera memberi tahu keluarganya bahwa Ira telah meninggal dunia dengan cara bunuh diri. Keluarga Ira yang terkejut dan tak percaya menyesali kehilangan itu. Mereka menangis seraya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi hingga putri mereka memilih jalan sedih tersebut.
Sementara itu, Arya, yang sebenarnya tidak pergi ke luar negeri, akhirnya mendengar kabar tentang bunuh dirinya Ira. Ia terhenyak, dipenuhi rasa penyesalan atas kebohongannya, atas ketidakmauannya bertanggung jawab kepada Ira yang ternyata sedang mengandung anaknya. Perasaan bersalah itu terus memburunya dan perlahan menghancurkan dirinya sendiri, hingga akhirnya Arya mengalami gangguan jiwa yang kian parah seiring waktu.







